Setelah pernikahan yang penuh kekerasan, Violet meninggalkan segala yang lama dan memulai hidup baru sebagai Irish, seorang desainer berbakat yang membesarkan putrinya, Lumi Seraphina, sendirian. Namun, ketika Ethan, mantan suaminya, kembali mengancam hidup mereka, Irish terpaksa menyembunyikan Lumi darinya. Ia takut jika Ethan mengetahui keberadaan Lumi, pria itu akan merebut anaknya dan menghancurkan hidup mereka yang telah ia bangun. Dalam ketakutan akan kehilangan putrinya, Irish harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang kembali menghantui.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 18
"Kenapa?" tanya Ethan dengan dahi berkerut, menatap Dion penuh heran. "Kalau aku memang salah, bukankah seharusnya aku jujur dan minta maaf langsung padanya?"
Dion menghela napas sambil menggeleng pelan. "Bro, kamu hebat dalam bisnis, aku akui. Tapi dalam hal menghadapi perempuan, kamu kalah jauh. Kamu harus sadar, perempuan itu tidak sesederhana yang kamu kira."
Ia melangkah mendekat dan menepuk bahu Ethan dengan gaya sok tahu. "Kamu cinta sama istrimu, dan dia juga cinta sama kamu. Tapi karena satu kesalahan kecil yang kamu buat dalam keadaan mabuk, hubungan kalian bisa hancur. Sekalipun dia memaafkanmu, rasa sakit itu tetap akan tertinggal. Luka di hati perempuan, tidak semudah itu sembuhnya."
"Tapi kalau kamu tidak bilang, dan justru memperbaiki sikapmu, memperlakukannya lebih baik, bukankah dia justru akan merasa lebih bahagia?" lanjut Dion, berusaha meyakinkan.
"Air yang terlalu jernih pun tak bisa dihuni ikan. Semua orang pasti punya rahasia kecil. Aku yakin, istrimu yang sangat kamu cintai itu juga menyembunyikan sesuatu darimu."
"Kamu mulai ngelantur." Ethan menggeleng dan menarik napas dalam. "Kalau memang salah, aku tetap harus mengaku. Dalam hubungan, kejujuran itu penting."
"Oke," Dion mengangkat bahu.
"Kalau kamu yakin, silakan bilang ke istrimu kalau semalam kamu mabuk dan tidak sadar tidur dengan perempuan lain. Coba lihat reaksinya. Aku yakin dia akan meledak."
Ethan mulai ragu. Kalau dia benar-benar jujur, apakah Carisa akan sanggup menerimanya? Dia memang sudah cukup merasa bersalah karena jarang pulang dan pekerjaan Carisa justru lebih stabil dibanding dirinya. Jika kejujurannya malah menyakiti Carisa dan memperburuk kondisinya, bukankah itu justru kesalahan yang lebih besar?
Ia ingin jujur. Tapi... kapan waktu yang tepat?
Ethan menatap kosong, larut dalam pikirannya.
"Ethan, tolong jangan pikir terlalu lama. Masalah yang bisa diselesaikan dalam tiga menit, kamu pikirkan setengah jam!" Dion tertawa geli melihat sahabatnya yang tangguh di dunia bisnis tapi gamang dalam urusan perasaan.
Ethan tidak menjawab. Ia tetap tenggelam dalam pikirannya.
"Pria setampan kamu, masih setia begini, itu saja sudah langka!" Dion menggeleng-geleng kepala sambil terkekeh. Lalu matanya berbinar seolah teringat sesuatu.
"Eh, hari ini ada pameran pertama dari Michael,. Kamu mau ikut tidak? Apalagi kita ada rencana kerja sama dengan perusahaannya."
"Kamu saja yang pergi." Ethan menjawab datar tanpa menoleh. Ia masih kesal karena kejadian semalam, saat Dion menyeretnya untuk minum dan berakhir dengan bencana.
"Jangan begitulah, kita perlu tunjukkan itikad baik ke perusahaan Erick. Lagipula, Becca, model dari perusahaan kita, juga tampil di sana. Sekalian lihat potensi kerja sama dengan mereka."
Ethan mengangkat alis. "Aku dengar dari Felli soal itu. Kalau aku datang, kesannya malah seperti dukungan penuh ke acara mereka. Meskipun urusan cinta membuatku bingung, dalam hal bisnis pikiranku tetap tajam."
"Kamu memang cerdas," kata Dion sambil tertawa kecil.
Dion tetap terlihat antusias. Meski tak ada topik pribadi lain yang bisa dipakai untuk menggoda Ethan, ia tetap memutar otak.
"Jadi, kamu mau ikut atau tidak?" tanya Dion mulai tidak sabar. "Aku ajak kamu bukan cuma untuk lihat pamerannya, tapi juga buat pelajari perusahaan Apparel mode dari dekat."
"Projek mereka memang tidak terlalu besar, tapi juga tidak kecil. Kalau bukan karena aku tertarik masuk ke lini pakaian, aku tidak akan ambil pusing." jawab Ethan sambil membuka berkas di tangannya, terlihat enggan menanggapi lebih jauh.
Dion menarik napas panjang. Kakak Sahabatnya itu memang keras kepala. Mungkin satu-satunya cara buat bikin dia berubah pikiran cuma kalau ada sangkut pautnya dengan istrinya. gumamnya dalam hati. Pikir Dion.
Mendadak matanya berbinar.
"Eh,... kamu kan lagi merasa bersalah sama istrimu karena kejadian semalam, kan?"
"Pergi!" sahut Ethan datar tanpa menoleh. Anak ini benar-benar menyebalkan.
"Aduh, Ethan, jangan marah dong." Dion tertawa, lalu menambahkan, "Coba pikir, Erick itu kan desainer sangat top. Pasti akan ada banyak karya bagus di pamerannya. Kalau kamu lihat ada desain yang cocok, bisa kamu pesan buat hadiah Carisa. Baju eksklusif, cuma satu-satunya di dunia. Carisa pasti akan senang!"
Mendengar ucapan Dion, Ethan langsung mengangkat kepala. Ia berpikir sejenak, mengingat kembali para desainer yang pernah mendesain pakaian untuk Carisa, jumlahnya memang tak banyak.
Mungkin, mencoba gaya baru bukan ide buruk. Bisa saja hal itu membuat Carisa senang.
Semakin ia pikirkan, semakin masuk akal. Ethan pun mulai tertarik.
“Jadi, kalau kamu ikut, pasti ada untungnya juga!” ujar Dion antusias, memanfaatkan momen itu untuk membujuk lebih jauh.
Ethan tak langsung menjawab. Ia mengetuk meja dengan ujung jari telunjuk, menimbang jadwal harian yang padat, lalu akhirnya mengangguk pelan.
“Tenang! Aku yakin kamu akan puas,” kata Dion, menepuk dadanya dengan percaya diri.
Pukul sepuluh pagi. Matahari musim gugur menyinari kota Verdan, menelusup di antara gedung-gedung tinggi. Angin sejuk menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning, menerbangkannya ke udara sebelum kembali jatuh ke jalanan.
Sebuah mobil melintas, membelah guguran daun yang menari, sebelum akhirnya semua kembali diam, menunggu disapu petugas kebersihan.
Di bawah gedung megah milik perusahaan Apparel mode, berdiri seorang wanita dengan jas klasik. Irish.
Ia menengadah, menatap langit biru yang cerah. Tarikan napasnya dalam. “Akhirnya aku kembali...”
Sejak tiba di kota Verdan beberapa hari lalu, hidup Irish seperti roller coaster. Bertemu Ethan di pesta, kehilangan pekerjaan secara mendadak, sahabatnya berkonflik dengan mertua soal anaknya, lalu anehnya, berjumpa lagi dengan Ethan, dan bahkan… tidur bersamanya.
Semua berputar-putar, tapi takdir membawanya kembali ke titik awal, perusahaan Apparel mode.
“Irish, kamu harus kuat. Jalan hidup tetap harus dilalui,” bisiknya pada diri sendiri. Ia menegakkan badan dan melangkah masuk ke gedung dengan langkah mantap.
Satpam yang berjaga langsung mengenal wajahnya.
“Nona Irish kembali kerja lagi, ya?” sapanya ramah.
“Iya. Hari ini saya akan tanda tangan kontrak jadi karyawan tetap,” balas Irish dengan senyum berseri.
“Wah, selamat! Semoga cepat naik jabatan dan gaji, ya. Menuju hidup sukses!” ujar si satpam dengan semangat.
“Amin,” jawab Irish sambil melangkah masuk, hatinya terasa lebih ringan.
Di ruangannya, seorang pria paruh baya dengan rambut menipis dan postur agak pendek, salah satu staf senior perusahaan, sudah menunggu. Ia telah bekerja lama sejak era ayah direktur sekarang, dan setia pada perusahaan Handoko. Kini, ia bertugas menyambut dan mendampingi para pegawai baru yang berpotensi.
Melihat Irish masuk dengan senyum hangat, ada rasa canggung menyelinap. Ia tahu, dialah yang dulu memecat Irish, atas perintah atasan, tentu saja. Tapi Irish tampak tidak menyimpan dendam.
“Nona Irish, selamat datang kembali,” sapanya dengan senyum kikuk.
Irish mengangguk sopan. “Terima kasih sudah memberi saya kesempatan lagi. Saya akan bekerja sebaik mungkin.”
Ia mengangguk, lalu mengajak Irish masuk dan menyerahkan kontrak kerja. Prosesnya cepat, selesai hanya dalam hitungan menit.
Saat menatap tanda tangannya di atas kertas, Irish merasa seperti beban besar terangkat. Setidaknya, kini ia tak perlu lagi mengkhawatirkan biaya hidup dan sekolah anaknya.
“Saya antar ke ruang kerja kamu,” ucap pria itu ramah.
“Terima kasih,” balas Irish penuh hormat.
Lift membawa mereka menuju lantai 15, departemen desain. Pria itu mencoba mencairkan suasana.
“Suasana kerja di lantai ini cukup menyenangkan. Saya yakin waktu magang kemarin kamu juga sudah merasakannya.”
Irish tersenyum. “Iya, saya cukup nyaman di sini.”
Saat mereka tiba di depan lift, sekelompok orang datang tergesa-gesa. Irish menahan pintu agar mereka sempat masuk.
Pria itu tiba-tiba melangkah maju, menyapa salah satu pria. “Selamat pagi, Pak Erick.”
Irish terkejut. Pak Erick? Bukankah dia pria yang dulu mempromosikannya ke kota Verdan? Desainer muda berbakat dan pewaris Apparel mode.
Matanya langsung menoleh ke pria yang dimaksud.
Jackson mengenakan sweater abu-abu bermotif bunga halus di kerah dan lengan. Aura seninya terasa kuat, seolah ia adalah gabungan ketenangan dan daya tarik misterius. Rambutnya agak ikal, kulit putih bersih, dan bola matanya menyimpan kesan muda dan sulit didekati… namun justru membuat orang penasaran.
Wow... general manager kita ternyata... ganteng juga, pikir Irish dalam hati, mendadak berubah dari ibu beranak satu menjadi gadis muda yang terpikat.
“Hm,” Erick hanya mengangguk ringan. Sejak masuk lift, ia tampak sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Oh iya,” kata pria itu, baru teringat sesuatu. “Pak Erick, ini Irish. Anda pernah memuji hasil karyanya. Sekarang dia sudah resmi bergabung sebagai desainer tetap.”
Bersambung........