Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
# BAB 22: LAPORAN JEFRI
Jefri duduk di kamar hotel murah di Pangalengan—satu-satunya hotel yang ada di kota kecil ini, dengan kasur keras dan tembok tipis yang bikin suara tetangga kedengeran jelas. Tapi dia gak peduli soal kenyamanan. Otaknya lagi penuh dengan apa yang dia lihat tadi pagi di warung Mbok Ijah.
Cowok bernama Galang itu... ada sesuatu yang gak beres. Tinggi cocok—seratus tujuh puluh lima sentimeter, persis kayak data Elang. Postur tubuh mirip meskipun lebih kurus. Cara jalan sedikit hati-hati, mata yang selalu waspada—bukan cara orang biasa jalan, tapi cara orang yang pernah hidup dalam ancaman. Dan yang paling penting: bekas luka kecil di alis kiri. Samar, tapi ada.
Tapi rambut panjang sampai leher, jenggot yang lumayan tebal, kacamata—semua itu bikin wajahnya keliatan beda. Dan acting-nya bagus. Terlalu bagus. Cowok itu bisa kontrol ekspresi wajah dengan sempurna, bisa senyum natural meskipun Jefri lihat ada ketegangan di bahu dan tangan yang sedikit gemetar waktu naruh nampan.
Jefri buka laptop, transfer foto-foto yang dia ambil tadi dari kamera kecil—foto dari kejauhan, zoom in ke wajah, beberapa angle berbeda. Buka software perbandingan wajah yang biasa dia pake buat investigasi. Masukin foto Galang di satu sisi, foto Elang yang lama di sisi lain.
Software itu analisis—bentuk wajah, jarak antar mata, bentuk hidung, garis rahang. Hasil keluar: kesamaan tujuh puluh lima persen. Gak seratus persen karena perbedaan rambut, jenggot, dan berat badan. Tapi tujuh puluh lima persen itu cukup tinggi buat bikin Jefri yakin ada kemungkinan besar ini orang yang sama.
Dia ambil hape, telepon Brian. Sambungan nyambung setelah dua nada.
"Jefri?" suara Brian langsung—gak ada salam, langsung to the point. Kedengeran tegang, kayak orang yang udah nunggu telepon ini dari tadi.
"Pak Brian," Jefri mulai dengan nada profesional yang tenang, "aku udah ke Pangalengan. Ada pria bernama Galang Saputra yang tinggal di sana—ngekos di warung kecil, bantu-bantu jaga warung. Dia... dia mirip dengan deskripsi yang Bapak kasih, tapi ada perbedaan signifikan."
"Perbedaan apa?" Brian nanya cepat—terlalu cepat, kayak orang yang desperate pengen denger jawaban tapi juga takut jawaban itu.
"Tinggi dan postur tubuh cocok dengan data Elang Alghifari," Jefri jelasin sambil lihat catatan di laptopnya. "Tapi dia punya rambut panjang sampai leher, jenggot tebal, dan pakai kacamata. Penampilannya kayak orang lokal biasa—simple, gak mencolok. Cara bicaranya juga agak beda—lebih kasar, lebih... desa."
Ada jeda di seberang. Jefri bisa dengerin napas Brian yang berat, kayak orang lagi mikir keras dengan otak yang overload.
"Tapi lo curiga dia itu Elang?" akhirnya Brian nanya—pertanyaan yang udah jelas jawabannya dari nada suaranya.
"Aku curiga," Jefri akuin dengan jujur—dalam bisnis investigasi, jujur ke klien itu penting meskipun jawaban gak pasti. "Ada beberapa detail yang cocok. Cara dia bergerak, mata yang terlalu waspada buat orang biasa, dan—ini yang paling penting—bekas luka kecil di alis kiri. Samar, tapi ada."
"Bekas luka itu ciri khas Elang," Brian bisik—lebih ke dirinya sendiri kayaknya. "Dari kecelakaan waktu kecil. Dia gak bisa hilangin itu."
"Exactly. Tapi aku gak bisa seratus persen yakin hanya dari observasi satu kali. Perubahannya cukup drastis—rambut, jenggot, berat badan turun banyak. Butuh konfirmasi lebih lanjut."
"Foto," Brian langsung perintah dengan nada yang gak bisa ditolak. "Ambil fotonya. Diam-diam. Jangan sampe dia sadar. Kirim ke aku sekarang juga. Aku mau bandingin sendiri dengan foto Elang yang aku punya."
"Aku udah foto tadi," Jefri jawab sambil buka gallery di laptop. "Dari kejauhan, tapi cukup jelas. Aku kirim sekarang lewat email terenkripsi—biar aman."
"Kirim sekarang," Brian ulangi—suaranya makin tegang, makin desperate. "Dan lo... lo pantau terus dia. Jangan kehilangan jejak. Kalau dia kabur, lo ikutin. Kalau dia kontak orang, lo catat siapa. Aku butuh tau semua gerak-geriknya."
"Siap, Pak," Jefri jawab profesional meskipun dalam hati dia mulai ngerasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar investigasi biasa. Ini bukan cuma cari orang hilang—ini kayak perang pribadi antara Brian dan target.
"Dan Jefri," Brian nambah dengan nada yang lebih rendah, lebih berbahaya, "kalau memang itu Elang... jangan kontak dia langsung. Jangan bikin dia curiga lebih dari ini. Cukup pantau dan laporin ke aku. Aku yang akan tentuin langkah selanjutnya."
"Mengerti."
Sambungan terputus. Jefri mulai attach foto-foto ke email, ketik pesan singkat dengan detail observasi, kirim ke alamat email Brian yang secure. Loading bar jalan pelan—koneksi internet Pangalengan lemah, tapi akhirnya semua foto terkirim.
Di Jakarta, di apartemen mewah lantai empat puluh, Brian duduk di depan laptop dengan tangan gemetar buka email dari Jefri. Download foto satu per satu—loading yang terasa kayak berjam-jam meskipun cuma beberapa menit.
Foto pertama muncul di layar. Cowok dari kejauhan, lagi bawa galon air. Kualitas lumayan bagus meskipun dari jauh. Brian zoom in ke wajah—rambut panjang, jenggot, kacamata. Tapi di balik semua itu...
"Elang," bisiknya dengan campuran amarah dan sesuatu yang kayak... takjub? Respect? Dia gak tau. "Lo brengsek pintar."
Zara keluar dari kamar mandi dengan kimono sutra—udah malam, hampir jam sebelas, tapi Brian belum tidur dari tadi sore. Dia lihat suaminya yang duduk dengan wajah tegang di depan laptop, jalan mendekat dengan langkah yang hati-hati.
"Sayang," katanya lembut sambil taruh tangan di bahu Brian, "ada apa? Kamu keliatan stress banget dari tadi."
Brian gak langsung jawab. Dia buka foto kedua—Galang lagi taruh nampan di meja, angle samping, wajah lebih jelas. Zoom in lagi ke mata, ke bentuk hidung, ke garis rahang yang meskipun lebih kurus tapi struktur tulangnya masih sama.
"Ini," akhirnya dia bilang sambil nunjuk layar, "ini Elang."
Zara ikut lihat dengan alis berkerut. Matanya menyipit, kepala miring—coba liat lebih jelas. "Sayang, ini orang lain. Rambutnya beda, jenggotnya—"
"Itu Elang," Brian potong dengan nada yang gak nerima bantahan. "Aku kenal dia sepuluh tahun. Aku tau cara dia berdiri, cara dia gerak, cara matanya lihat sesuatu dengan sedikit kewaspadaan meskipun dia lagi acting santai. Ini dia. Dia cuma samar-samarin penampilan."
Zara menatap foto lebih lama. Dan perlahan—sangat perlahan—dia mulai lihat. Bentuk mata itu familiar. Cara bibir sedikit miring waktu senyum—detail kecil yang dulu dia tau karena dia pacaran tiga tahun sama Elang. Tangan yang meskipun lebih kurus tapi jari-jarinya panjang dengan cara yang sama.
"Gak mungkin," bisiknya—tapi suaranya gak yakin lagi, gak sekuat tadi. "Elang pasti udah... pasti udah mati di jalanan atau... atau di mana gitu. Dia gak punya uang, gak punya koneksi, gak punya—"
"Dia punya OTAK!" Brian bentak dengan suara yang naik—frustrasi yang udah ditahan dari tadi akhirnya meledak. "Dia punya otak yang lebih pinter dari aku kira! Dia ganti identitas, sembunyi di desa kecil yang gak akan ada yang mikir buat cari, hidup low profile kayak orang biasa. Dan dari sana—" Dia tunjuk laptop dengan jari yang gemetar, "—dari sana dia gerakkin Harris, Stella, semua pion-pionnya buat ngehancurkan aku!"
Zara duduk di sofa dengan kaki yang tiba-tiba lemes. Wajahnya pucat di bawah makeup yang masih sempurna. "Kalau... kalau itu beneran Elang, terus sekarang gimana?"
Brian menutup laptop dengan keras—bunyi yang bikin Zara tersentak. Dia berdiri, jalan bolak-balik dengan tangan diremas di belakang kepala—postur orang yang lagi panik tapi coba kontrol.
"Sekarang," katanya dengan suara yang pelan tapi penuh ancaman, "sekarang aku tau dimana dia. Aku tau siapa dia sekarang. Dan aku bisa—"
"Bisa apa?" Zara bertanya dengan nada yang mulai takut. "Sayang, kalau kamu langsung serang dia, itu malah konfirmasi semua yang dia tuduhkan. Itu malah bikin kamu keliatan bersalah."
"Aku GAK PEDULI!" Brian berteriak—benar-benar berteriak sekarang, kontrol yang tadi masih ada sekarang hilang total. "Aku gak peduli keliatan bersalah atau nggak! Yang penting Elang harus diam! Dia harus berhenti! Dia harus—"
Dia berhenti, napas terengah, sadar dia kehilangan kontrol. Zara menatapnya dengan mata yang mulai berkaca—bukan karena sedih, tapi karena takut. Takut sama situasi yang makin gak terkendali, takut sama suaminya yang makin keliatan desperate dan berbahaya.
"Maafin aku," Brian akhirnya bisik sambil duduk di sofa, kepala di tangan. "Maafin aku. Aku cuma... aku cuma gak tau harus gimana lagi. Semua yang aku bangun lagi runtuh. Dan sekarang tau bahwa Elang—orang yang aku jatuhkan—masih hidup dan lagi balas... itu..."
"Menakutkan," Zara nyelesaikan dengan suara yang juga gemetar. Dia duduk di samping Brian, pegang tangannya yang dingin. "Aku tau. Aku juga takut. Tapi sayang, kita harus mikir jernih. Jangan gegabah. Kalau kita gegabah, kita malah jatuh lebih dalam."
Brian diam lama. Lalu dia buka laptop lagi, lihat foto Elang—atau Galang, atau siapapun dia sekarang—dengan tatapan yang penuh dengan campuran amarah, takjub, dan sesuatu yang kayak... penyesalan? Gak. Bukan penyesalan. Brian gak bisa nyesel. Tapi mungkin pengakuan bahwa dia underestimate musuhnya.
"Aku kenal Elang," akhirnya dia bilang dengan suara yang lebih tenang tapi gak kalah berbahaya. "Aku kenal dia lebih dari siapapun. Dia keras kepala. Dia gak akan menyerah. Dia akan terus lawan sampai salah satu dari kita... sampai salah satu dari kita gak bisa lawan lagi."
"Terus kamu mau apa?" Zara nanya dengan suara yang nyaris bisikan.
Brian menatap layar dengan mata yang dingin—dingin dengan keputusan yang udah dibuat, meskipun keputusan itu mungkin salah, mungkin berbahaya, mungkin jadi awal dari kehancuran total.
"Aku akan ke Pangalengan," katanya pelan. "Aku akan ketemu dia. Face to face. Dan aku akan selesaikan ini sekali untuk selamanya."
---
**[Bersambung ke Bab