Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Keesokan Harinya
Ina sudah bersiap untuk pergi sekolah dan Izhar pun sudah siap untuk pergi ke rumah sakit tempatnya bekerja.
Pria itu tengah memasang arlojinya, penampilan Izhar sudah sangat keren.
"Ini uang jajan kamu," Izhar memberikan beberapa lembar uang pada Ina untuk bekal sekolahnya.
"Nggak usah deh, uang hasil penjualan barang juga masih di aku, masih banyak banget, aku gak perlu dikasih uang lagi." Ina menolak.
"Uang itu sebaiknya kamu tabung kalau memang gak akan kamu pakai, supaya kamu bisa punya uang tabungan buat masa depan. Kamu istri saya dan kamu tanggung jawab saya, soal nafkah akan tetap saya tunaikan sebagai mana mestinya. Karena itu uang pribadi kamu, jadi simpan saja dan jangan di ganggu untuk sesuatu yang gak begitu penting".
"Om ini terlalu baik ya, pantesan aja mudah di kabulin Tante Ratih!" ejek Ina.
Izhar langsung menatapnya dengan tatapan tajam, "Bukankah saya pernah bilang, jangan sebut nama itu lagi di depan saya?" tanya Izhar, tatapannya menakutkan.
"Eh... Ma-maaf, Om, aku lupa!" Ina gelagapan, karena tatapan Izhar seperti itu selalu membuatnya takut.
Izhar kembali bersikap tenang, pria itu memasukkan uang ke dalam saku seragam Ina, lalu keluar dari kamar lebih dulu.
"Manusia kulkas nyebelin! Cuma sebut nama aja kagak boleh!" umpat Ina.
Ina mengambil tas nya dan menyusul Izhar keluar.
Pagi itu, keluarga Izhar sudah berkumpul di ruang makan untuk sarapan, Ina juga di persilahkan bergabung oleh Bu Tara.
Ina duduk diantara dua orang lelaki yang semalam menjadi bayang-bayang nya.
Izhar dan Isha duduk di kedua sisinya, membuat Ina tak nyaman.
"Ina, kamu suka makan ikan?" tanya Bu Tara.
Ina menoleh dan tersenyum, "Suka, tapi agak bosan, Bu. Soalnya Mama saya juga penjual ikan di pasar, sejak dulu saya makan ikan terus, jadinya bosan."
"Oooh... Jadi, Bu Aminah itu penjual ikan di pasar ya? Kalau tahu begitu, kita nggak usah beli di tempat lain ya, belinya di Mama kamu saja."
Ina tersenyum lagi.
"Makan yang banyak ya, supaya kamu bisa konsentrasi di sekolah," Bu Tara sangat perhatian pada Ina.
"Ya."
Ina dengan malu-malu melahap makanannya, rasa masakan Bu Tara memang enak, tapi atmosfer disekitar Ina tidak enak, yang menjadikan makanan yang masuk ke mulut Ina terasa hambar.
Izhar dan Isha makan dengan tenang, keduanya sama-sama diam dan fokus pada makanan, tidak mengobrol dengan siapapun.
Tangan Ina bergetar memegang sendok di tangannya, rasanya Ina ingin pergi ke dapur dan makan dengan tenang di dapur, daripada makan seperti itu di tengah-tengah dua orang yang berkepribadian dingin.
"Sya benar 'kan, istrinya Abang Iz itu mirip pacarnya Abang Ish!" celetuk Isyana lagi, sama seperti semalam.
Semua orang kini beralih menatap Isyana, Ina dan Isha yang paling terkejut, takut jika semua orang tahu kalau mereka pernah berpacaran.
Izhar melirik istri dan adiknya dari sudut mata, ia dapat menangkap ekspresi terkejut dari keduanya.
'Apakah benar mereka pernah pacaran? Tapi kenapa Ina dan Isha tidak pernah jujur?' batin Izhar.
"Sya, sudahlah jangan bicara sembarangan terus, kita sedang makan loh, jangan buat suasana jadi gak nyaman." Bu Tara menegur Isyana yang sejak semalam membuat
suasana makan menjadi tak nyaman.
"Loh, Sya 'kan cuma mengatakan apa yang pernah Sya lihat, Bu, bukan bicara sembarangan. Sya lihat banyak foto Kakak itu fi kamarnya Abang Ish!" Isyana tak mau di anggap mengada-ada, dia menunjuk Ina sebagai gadis yang ada di dalam foto di kamar kakaknya.
Ina semakin terpojok, tak tahu bagaimana harus menghadapi Izhar jika suaminya itu curiga akan hubungannya dengan Isha.
"Saya kenyang, saya pergi dulu, Bu, Pak." Izhar bangkit dari duduknya, setelah menghabiskan sarapan yang sedikit.
Izhar berpamitan pada orang tuanya dan melengos pergi tanpa mengajak Ina.
Ina tercengang karena Izhar sudah selesai makan dan
pergi lebih dulu meninggalkan Ina keluar dari rumahnya.
Hal itu membuat suasana menjadi tegang, Bu Tara
merasa tak enak hati pada Ina dan Izhar.
Ina meletakkan sendoknya dan berdiri.
"Ina juga pamit, Bu, Pak." Ucap Ina.
Gadis cantik yang memiliki kulit putih bening itu
menyalami kedua mertuanya dan pergi setelah mengucapkan salam.
Tersisa Isha yang masih makan dalam keadaan senyap sejak tadi.
Isha menatap tajam pada Isyana, karena bocah itu bicara tentang foto di kamarnya.
"Sya, lain kali kamu jangan bahas tentang hal seperti itu di depan Abang Iz. Kamu sudah menyinggung perasaan Abang kamu itu, jangan bicara omong kosong terus, Nak!"
Bu Tara sedikit memarahi Isyana.
"Sya bicara apa adanya, Bu. Memang Kak Ina itu mirip pacarnya Abang Ish, Sya melihat wajah di foto itu memang mirip sekali." Bocah berusia 11 tahun itu tetap kukuh bahwa Ina adalah gadis yang mirip dengan kekasih Isha.
"Ish, apa yang dikatakan Isyana benar, kalau Ina adalah pacar kamu?" Pak Ja'far akhirnya bertanya juga pada putranya yang terus diam.
Isha tidak langsung menjawab, pemuda dengan tindik di telinganya itu memilih bungkam.
"Isha Ramadhani Kaisar, jawab Bapak!" pinta Pak Ja'far tegas.
Bu Tara dan Isyana menatap Isha, menunggunya menjawab pertanyaan sang Ayah, untuk mendapatkan sebuah jawaban pasti dari orangnya.
"Bukan pacar, tapi mantan," jawab Isha.
Bu Tara tercengang, ternyata apa yang dikatakan Isyana memang benar, kalau anaknya pernah menjalin hubungan dengan menantunya itu.
Isha mengangkat wajah dan menatap kedua orang tuanya.
"Isha sama Ina hanya kisah lama, Bu, Pak. Hubungan kami udah lama berakhir, kami gak ada hubungan apapun lagi. Jadi please, jangan bahas soal hubungan kami di depan Abang, karena itu bisa menimbulkan masalah besar bagi kami." Isha meminta mereka untuk tidak membahas apapun tentang hubungannya dengan Ina.
"Terus kenapa kamu gak bilang sejak awal?" tanya Bu Tara.
"Ish gak tahu apapun tentang ini, Ish juga kaget semalam saat lihat Ina ada disini, kalian juga tahu kalau Ish gak datang di pernikahannya Abang, jadi Ish gak tahu siapa istrinya Abang."
"Apa Abang kamu sudah tahu?"
Isha menggeleng, "Sepertinya Abang nggak tahu tentang hubungan lama kami sebelumnya, tapi kalau Isyana terus bahas soal itu, kayaknya Abang juga pasti udah tahu sekarang dan kalau Abang tahu Ish sama Ina pernah pacaran, Abang pasti akan mengira kami masih punya hubungan dekat apalagi kami serumah."
Semuanya terdiam, mereka menjadi bingung juga. Memang tidak masalah jika Ina dan Isha serumah karena tidak ada hubungan apapun lagi. Tapi masalahnya adalah mereka pernah memiliki hubungan khusus, jika Izhar tahu, sudah dipastikan Izhar akan terus mencurigai mereka.
***
Di Sekolah
Izhar mengantar Ina hingga ke depan gerbang sekolah dengan mobilnya.
Ina dan Izhar tidak membahas apapun selama perjalanan, keduanya saling diam.
"Apa Om marah?" tanya Ina.
"Cepat keluar, saya harus pergi sekarang ke rumah sakit, gak ada waktu untuk membahas sesuatu yang gak penting." Jawab Izhar datar.
Ina tidak mau membuat suaminya marah, jadi Ina memilih untuk keluar dari mobil Izhar.
Izhar langsung pergi setelah Ina keluar dari mobilnya, Ina hanya bisa menatap mobil itu menjauh.
Ina memasuki halaman sekolah dengan langkah gontai, semangatnya untuk hari ini sirna sudah gara-gara momen sarapan tadi.
"Na!" seseorang memanggil Ina.
Ina menoleh.
Ternyata Kinara lah yang memanggilnya, gadis berambut panjang se-bokong itu melambaikan tangan pada Ina.
Ina membalasnya, tapi tidak seceria biasa.
"Kok lemes sih? Lu sakit?" tanya Kinara, heran karena tak biasanya melihat Ina tak bersemangat.
"Gak sakit kok, cuma gak semangat aja," jawab Ina.
"Eh, gue tadi lihat lu datang di antar mobil, kok tumben? Biasanya lu datang naik sepeda, apa yang antar lu itu calon bapak tiri lu?" Kinara bertanya tentang mobil yang mengantar Ina tadi.
"Bukan... Mama gak niat nikah lagi kok!"
"Terus, itu mobil siapa? Selama ini yang gue kenal lu gak punya mobil deh! Apa itu mobilnya Bang Haris, suaminya Mbak Husna?"
"Em, anu... Itu sebenarnya mobil Om gue, lu tahu 'kan Tante Ratih baru aja menikah, kebetulan mereka nginep di rumah gue, jadinya suami Tante Ratih antar gue ke sekolah barengan sama dia yang mau pergi kerja." Ina cukup kesulitan mencari alasan untuk menjawab Kinara.
"Oooh... Kirain lu mau punya bapak baru, hehehe."
"Nggak lah, gue gak akan kasih izin Mama buat nikah lagi. Buat apaan juga udah tua, ngapain mikirin nikah!"
"Yeee... Umur emak lu itu masih muda, umur belum 40 tahun mah gak bisa dibilang tua, masih cocok kok emak lu nikah lagi!"
"Iya masih cocok, tapi gue gak setuju, gue gak mau punya bapak tiri, titik!"
Ina selama ini memang sangat menentang Ibunya jika ingin menikah lagi, Ina tidak mau memiliki Ayah sambung. Bukannya Ina tidak kasihan kepada Ibunya yang terus menjanda, tapi tentu saja karena tak banyak pria yang bisa menerima dan menyayangi anak tirinya.
Bu Aminah yang masih muda dan memiliki wajah cukup cantik, juga sepertinya tidak berminat untuk memiliki pasangan hidup lagi, ia betah menjanda dan selalu bersyukur akan statusnya sebagai orang tua tunggal bagi Ina.
Kurang lebih, sudah 5 orang pria yang datang padanya untuk melamar, tetapi tak ada satu pun yang diterima olehnya. Dikarenakan Bu Aminah juga harus memikirkan nasib Ina jika dirinya menikah lagi, ia tak mau anak gadisnya kekurangan kasih sayang karena kasih sayangnya terbagi kepada sang suami baru.
***
Ina dan Kinara duduk di bangku yang sama sejak masuk kelas X hingga hari ini, sudah 2 tahun mereka bersahabat.
Ina dan Kinara berasal dari keluarga dengan kasta berbeda.
Kinara seorang anak yang terlahir dari keluarga kaya raya, anak tunggal dari Pak Zaid dan Bu Risma, yang memiliki bisnis properti terbesar di daerahnya. Kinara tidak sombong, bahkan sering datang ke sekolah dengan sepedanya, agar bisa sama dengan Ina. Kinara yang selalu hidup lebih dari cukup itu tak pernah menunjukkan bahwa dirinya kaya, dia sangat sederhana dan tidak gengsi untuk berteman dengan siapa saja.
Hal itulah yang membuat Ina nyaman berteman dengannya, karena walaupun Kinara kaya raya, tetapi Ina merasa dia tak berbeda dengannya.
Sedang asyik mengobrol berdua, tiba-tiba obrolan mereka teralihkan, ketika Isha yang sekelas dengan mereka memasuki kelas.
Ina dan Isha saling menghindari tatapan mata langsung, keduanya memiliki perasaan masing-masing terhadap satu sama lain. Terlebih, diantara mereka juga terjalin sebuah hubungan yang pastinya akan mengejutkan semua orang jika mereka tahu, yaitu saudara ipar.
Isha melewati bangku Ina dan Kinara, lalu di duduk di bangku pojokan seperti biasa.
"Lu belum mau maafin dia?" tanya Kinara.
"Buat apa? Dia 'kan gak butuh gue, ngapain juga harus maafin orang yang egois kayak dia? Si playing victim, si paling tersakiti padahal tukang selingkuh!"
"Tapi gue dengar-dengar, katanya dia sama si Vina putus loh setelah kejadian waktu itu, kayaknya Isha masih sayang sama lu, tapi gengsi buat ngakuin!"
"Bodo amat, cewek modelan si Vina itu memang cuma buat dipake doang, habis itu ya dibuang, gitu deh kalau cewek murahan!"
Ina masih sangat membenci gadis bernama Vina yang menjadi selingkuhan Isha itu, dia masih belum bisa memaafkan keduanya untuk semua yang terjadi.
Ina dan Kinara saling berbisik membicarakan Isha, tanpa mereka sadari kalau Isha tengah memperhatikan mereka dari belakang.
Di jam istirahat, Ina pamit kepada Kinara untuk pergi ke perpustakaan, karena ingin membaca buku, sedangkan Kinara tidak bisa menemani karena sedang mengerjakan sesuatu.
Ina pergi sendirian ke perpustakaan, melewati ruangan demi ruangan dengan santai.
Ketika tiba di depan ruangan OSIS, tiba-tiba tangan Ina ditarik oleh seseorang hingga masuk ke dalam ruangan yang sedang tidak dimasuki siapapun.
Ina terkejut, karena Isha lah yang melakukannya.
Isha mengunci pintunya, agar tidak ada siapapun yang membuka ruangan itu.
"Lu ngapain sih bawa gue ke tempat ini? Gue mau ke perpus!" Ina marah dan berusaha untuk keluar dari ruangan itu.
Isha menarik tangan Ina menjauh dari pintu dan menempelkan Ina ke dinding kelas, lalu menghalangi gadis itu dengan tubuhnya agar tidak bisa pergi.
"Sha, lu apa-apaan sih?!" Ina memarahinya lagi.
Isha menatapnya dengan tatapan tegas.
"Kenapa lu nikah sama Abang gue?" tanya Isha.
"Mana gue tahu kalau dia itu Abang lu!" jawab Ina tegas.
"Terus kenapa lu mau nikah sama orang yang udah dewasa dan lebih cocok jadi Om lu? Lu itu masih sekolah, kalau orang tahu tentang pernikahan lu, pasti lu bakal di keluarin!"
"Sha, gue juga terjebak! Gue terpaksa gantiin Tante gue buat nikah sama Kakak lu karena kita gak punya pilihan, keluarga Tante gue itu miskin, gak akan bisa ganti rugi semua yang pernah Kakak lu kasih ke Tante Ratih. Jalan satu-satunya cuma mencari pengantin pengganti, karena itu yang diminta Kakak lu, dia gak mau gagal menikah dan bikin malu keluarga kalian. Kalau gue tahu lu itu adiknya, pasti gue gak akan mau dan akan memilih buat kabur aja, karena gue juga gak mau terjebak dalam hubungan yang rumit!" Ina menjelaskan pada Isha alasan dirinya menikah dengan Izhar.
Isha mengepalkan tangannya, situasi ini sangat rumit sekarang. Isha masih mencintai Ina dan berniat untuk mengajak Ina 'balikan', tapi malah harus gagal karena Ina sudah menjadi istri dari kakaknya.
Isha menarik dirinya dari Ina, emosinya tak stabil, Isha tak terima Ina yang dicintainya harus menjadi kakak iparnya.
"Apa lu cinta sama Abang gue?" tanya Isha lagi.
Ina tidak menjawab, dia tak tahu seperti apa perasaannya untuk Izhar sekarang.
"Jawab gue, Na!" pinta Isha, dengan mengguncang bahu Ina.
"Gue gak tahu seperti apa perasaan yang gue punya buat Om Iz, tapi gue ngerasa kalau gue nyaman sama dia, walaupun dia sering marah, cuek dan dingin ke gue. Gue merasa dia itu seperti Kakak bagi gue, yang selalu bikin gue nyaman setiap kali ada di dekat dia. Mungkin saat ini gue memang gak punya rasa apapun sama dia, tapi gue gak tahu setelah ini, mungkin... Gue bakalan cinta sama dia."
Isha tercengang mendengar jawaban Ina, hatinya semakin tak rela jika Ina mencintai kakaknya. Dia pikir, Ina akan mengatakan bahwa dia tak akan pernah memiliki perasaan itu untuk Izhar, karena pernikahan mereka terjadi atas dasar keterpaksaan. Namun, Isha harus menelan pil pahit, ketika dia mendengar sendiri bahwa ada kemungkinan Ina akan mencintai Izhar.
"Nggak, lu gak boleh cinta sama dia, lu cuma milik gue, Na!" Isha menolak terang-terangan kemungkinan dari Ina.
"Hati manusia bisa berubah, Sha. Kalau Om Izhar lebih baik daripada lu, kenapa gue gak bisa mencintai dia? Dan kayaknya memang udah seharusnya gue mencintai dia sebagai suami gue, lu gak bisa cegah gue, lu jangan lupa kalau lu pernah sakiti gue!"
Isha semakin gelap mata, dia menekan tubuh Ina di dinding kelas dan mencium bibir gadis itu untuk pertama kalinya.
Ina terbelalak, ini pertama kalinya bagi Ina mendapatkan sebuah ciuman di bibirnya, matanya pun berkaca-kaca.
"Hmmmphhh!!!" Ina mendorong tubuh Isha untuk menjauh darinya, air mata Ina mengalir, hancur sudah harga dirinya oleh pemuda yang pernah bertahta di hatinya itu.
Kekuatan Ina tidak sebanding dengan kekuatan Isha yang lebih besar darinya, Ina terus memukulinya dengan air mata yang kian deras.
Isha melepaskan tautannya dari bibir Ina dan menatap gadis yang menangis di depannya.
'plakkk!'
'plakkk!'
'plakkk!'
Ina tanpa ragu menampar pipi Isha hingga tiga kali, sementara air matanya tak henti mengalir.
"Lu jahat, Sha. Selama ini gue mati-matian jaga harga diri gue, gue jaga seluruh anggota tubuh gue buat suami gue, tapi kenapa lu renggut sesuatu yang gue jaga baik-baik? Kenapa lu jahat?! Lu udah hancurin harga diri gue, gue ngerasa kotor!" Ina sangat marah dan kecewa pada Isha yang selama ini di sangkanya akan selalu menjaganya itu.
"Lu jahat, Sha! Jahat! Ini cukup buat yakinin gue, kalau lu itu gak pantas buat gue! Gue gak mau kenal lu lagi dan jangan pernah ganggu gue lagi!"
Setelah mengatakan itu, Ina berlari keluar dari ruang OSIS, dengan linangan air mata.
Isha mematung, pipinya memerah, meskipun telah berhasil mencium bibir gadis yang dicintainya, namun Isha tidak bahagia, malah hatinya pun tersayat mendengar penuturan Ina.
"Sorry, Na." Ucap Isha penuh sesal.
...***Bersambung***...