Satu malam yang kelam … mengubah segalanya.
Lidya Calista, 23 tahun, gadis polos, yang selama ini hanya bisa mengagumi pria yang mustahil dimilikinya—Arjuna Adiwongso, 32 tahun, suami dari kakaknya sendiri, sekaligus bos di kantornya—tak pernah membayangkan hidupnya akan hancur dalam sekejap. Sebuah jebakan licik dalam permainan bisnis menyeretnya ke ranjang yang salah, merenggut kehormatannya, dan meninggalkan luka yang tak bisa ia sembuhkan.
Arjuna Adiwongso, lelaki berkuasa yang terbiasa mengendalikan segalanya. Ia meminta adik iparnya untuk menyimpan rahasia satu malam, demi rumah tangganya dengan Eliza—kakaknya Lidya. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang tutup mulut. Tanpa Arjuna sadari, hati Lidya semakin sakit, walau ia tidak akan pernah minta pertanggung jawaban pada kakak iparnya.
Akhirnya, gadis itu memilih untuk berhenti kerja, dan menjauh pergi dari keluarga, demi menjaga dirinya sendiri. Namun, siapa sangka kepergiannya membawa rahasia besar milik kakak iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28. Kirain Pacar?
Rumah keluarga Lidya – 22.30 WIB
Hujan baru saja reda. Sisa-sisa air masih menetes dari ujung genting ketika mobil yang dikendarai Farel berhenti di depan pagar rumah. Lampu taman menyala redup, memantulkan cahaya ke daun basah yang berkilat lembut.
“Udah sampai, ya,” ucap Farel sambil mematikan mesin.
Lidya menoleh, menatapnya sambil tersenyum. “Makasih udah nganter. Harusnya aku naik taksi aja. Aku jadi ngerepotin kamu.”
Farel menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Udah malam, bahaya kalau perempuan pulang sendirian.”
Lidya mengangguk kecil. Hatinya hangat—entah karena perhatian Farel, atau karena suasana malam yang begitu tenang setelah seharian penuh kesibukan.
Begitu membuka pintu pagar, ia menoleh sebentar. “Hati-hati di jalan, Rel.”
Farel mengangguk sambil tersenyum, “Kabarin aku kalo udah di dalam, ya.”
Lidya sempat mengangkat tangan, memberi isyarat “ok”. Ia berjalan cepat ke teras, menutupi kepala dengan tas tangan kecilnya karena sisa rintik hujan masih turun. Namun baru hendak mengetuk pintu, pintu kayu itu terbuka dari dalam—menyambutnya dengan sosok yang tak ia sangka.
“Eh … Kak Eliza?” Lidya terkejut setengah berbisik.
Eliza berdiri di ambang pintu, mengenakan piyama satin berwarna pastel, rambutnya diikat asal-asalan. Tatapannya langsung terarah ke luar, ke arah mobil Farel yang baru saja menyalakan mesin untuk pergi.
“Itu siapa yang nganter kamu?” tanyanya, suaranya datar tapi nadanya mengandung selidik.
Lidya refleks tersenyum kaku. “Teman, Kak. Namanya Farel, teman kuliah dulu. Dia cuma nganterin karena udah malam.”
Eliza menaikkan sebelah alis, tatapannya tajam. “Teman?” gumamnya pelan. “Kirain pacar.”
Lidya tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Kakak ini, ada-ada aja.”
Ia kemudian melangkah masuk, menaruh tas di meja dekat pintu. “Ngomong-ngomong, Kakak ngapain di sini? Kirain Mama di rumah sendirian.”
Eliza menghela napas berat sambil menutup pintu. “Aku bete di rumah. Jadi pengen nginep sini aja malam ini.”
Lidya menatap wajah kakaknya sekilas—ada raut jengkel dan lelah di sana.
“Berantem sama Kak Arjuna?”
Eliza mendengus pelan. “Hmm, bisa dibilang begitu lah.”
“O ....” Lidya hanya menanggapi pendek, lalu berjalan ke arah tangga. “Aku mandi dulu ya, Kak. Badanku lengket banget.”
Eliza hanya mengangguk tanpa menjawab.
***
Kamar Lidya dipenuhi aroma lembut sabun dan wangi chamomile dari diffuser. Setelah mandi, Lidya mengganti pakaian dengan piyama longgar warna biru muda. Ia menyisir rambutnya di depan cermin, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
Bayangan Arjuna menatapnya dari balik kaca restoran, dingin dan tak terbaca, tiba-tiba saja melintas. Lalu bayangan lain — pagi itu, di kamar hotel. Napasnya tercekat pelan. Ia menggigit bibir, mencoba mengusir ingatan itu.
“Sudah, Lidya,” gumamnya pada diri sendiri. “Lupakan. Jangan diingat lagi.”
Ia menarik napas panjang, lalu keluar kamar. Tangga kayu berderit pelan di setiap langkahnya. Dari ruang tengah, terdengar suara TV pelan—suara khas dari acara gosip malam yang sering ditonton Bik Tini. Tapi malam ini, bukan Bik Tini yang duduk di sofa.
Eliza.
Ia sedang menatap layar TV tanpa fokus, sambil memainkan ponselnya. Saat melihat Lidya datang, ia menegakkan tubuh. “Udah mandi?”
“Iya,” jawab Lidya sambil melangkah ke dapur. “Mau aku buatin minum, Kak? Susu coklat, ya?”
“Boleh.”
Lidya membuka kulkas, mengeluarkan susu cair, dan memanaskannya di panci kecil. Uap hangat mulai naik, memenuhi udara dengan aroma manis. Suasana terasa hening, hanya suara jam dinding yang terdengar berdetak pelan.
“Kak El, mau roti juga?” tanya Lidya sambil menuang susu ke cangkir.
“Enggak, makasih,” jawab Eliza. “Aku udah makan.”
Lidya membawa dua gelas susu coklat ke ruang tengah. Ia menyerahkan satu ke kakaknya, lalu duduk di sofa seberang.
“Jadi,” kata Eliza tiba-tiba, “kamu tahu nggak hari ini Mas Arjuna ngapain?”
Pertanyaan itu membuat Lidya menegakkan tubuh seketika. Ia berusaha menjaga ekspresinya tetap netral. “Hmm … setahu aku, sih, ada rapat direksi. Om Chandra sama Tante Hanum juga hadir.”
Eliza menyeruput susunya perlahan, matanya tak lepas dari wajah adiknya. “Terus nggak ada pertemuan sama perempuan?”
Lidya menatapnya bingung. “Perempuan?”
“Iya,” ujar Eliza santai tapi sinis. “Siapa tahu dia meeting sama wanita lain. Kan sekarang banyak banget yang modus kerja padahal kencan.”
Lidya mencoba tersenyum, meski jantungnya berdebar aneh. “Setahuku, nggak ada, Kak. Memangnya kenapa?”
Eliza menyandarkan tubuh, memainkan rambutnya. “Nggak. Aku cuma kesel aja sama dia. Mama mertua tuh nyuruh aku dan Mas Arjuna program anak. Aku bilang belum siap.”
“Kenapa belum siap?” Lidya bertanya hati-hati.
Eliza menatap adiknya dengan ekspresi jenuh. “Aku takut, Lid. Takut tubuhku berubah, jelek. Aku juga takut Arjuna bosan kalau aku gendut atau penuh stretch mark. Lagi pula aku lihat temanku meninggal waktu melahirkan. Trauma banget.”
Lidya terdiam. Ia tak tahu harus menanggapi dari sisi mana.
Eliza melanjutkan dengan suara yang mulai meninggi. “Dan tahu nggak? Aku bilang semua itu ke Mas Arjuna. Dia cuma diem, nggak ngomong sepatah kata pun. Habis itu, aku minta dia beliin tas yang aku pengen—yang kemarin aku liat di mall. Tapi malah nggak diturutin. Padahal cuma tas, Lidya! Bukan mobil.”
Nada Eliza meninggi, penuh kejengkelan.
Lidya menunduk, memegang gelas susu erat-erat. “Mungkin Mas Arjuna lagi banyak pikiran, Kak.”
“Banyak pikiran? Atau udah bosen sama aku?” balas Eliza tajam. “Dia udah dua hari ini diem aja. Nggak ngajak ngobrol, nggak ngerayu kayak biasanya. Aku pikir dia bakal minta maaf, eh ... malah sibuk sendiri.”
Ia mendengus. “Aku kan cuma pengen dia perhatian. Kasih aku uang buat belanja juga udah cukup, tapi dia malah pergi tanpa bilang apa-apa.”
Lidya membeku. Suara Arjuna yang pelan dan dalam malam itu bergema lagi di kepalanya, bersama setiap sentuhan yang tidak seharusnya ada. Rasa bersalah tiba-tiba menyesak, membuat napasnya terasa berat.
Tangan kirinya tanpa sadar bergetar. Ia menatap kosong ke arah meja, mendadak tak mampu berkata apa pun. Satu kalimat melintas di kepalanya — sesuatu yang selama ini tidak pernah ia pikirkan dengan sungguh-sungguh:
Bagaimana kalau malam itu … aku hamil?
Tubuhnya tiba-tiba terasa dingin. Jari-jarinya kehilangan tenaga. Kakinya bergetar halus di bawah meja. Dunia terasa berguncang sesaat.
“Lidya?” Suara Eliza memecah lamunannya. Kakaknya menatapnya heran. “Kamu kenapa? Tiba-tiba pucat.”
Lidya tersentak, buru-buru tersenyum kaku. “Nggak apa-apa, Kak. Cuma agak pusing dikit.”
Eliza mencondongkan tubuh, menatapnya curiga. “Kamu yakin? Atau kamu lagi mikirin sesuatu?”
Lidya menelan ludah. “Enggak. Mungkin cuma capek.”
Eliza memijat pelipis, lalu mengembuskan napas berat. “Aku tuh cuma pengen kamu bantu ngawasin Mas Arjuna aja, Lid. Aku takut dia diam-diam selingkuh. Soalnya akhir-akhir ini dia beda.”
Bersambung ... ✍️