NovelToon NovelToon
Can We?

Can We?

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Beda Usia / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Flaseona

Perasaan mereka seolah terlarang, padahal untuk apa mereka bersama jika tidak bersatu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Flaseona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Can We? Episode 28.

...« Jangan tinggal Adek »...

Arasya menghela nafasnya, entah apa yang ia lakukan di sini. Rasanya seperti seonggok obat nyamuk yang hanya dibiarkan di pojokan.

“Dek, mau makan apa?” tanya Gavan. Lelaki tersebut berjalan di depan bersama seorang ‘teman’. Sedangkan Arasya memilih membuntuti keduanya di belakang.

“Iya, Dek. Mau makan apa? Sushi mau?” kata wanita itu.

“Mau...” Arasya berpikir sejenak. “Mau ayam sama burger. Boleh?”

“Boleh. Ya udah di sana aja.” Tunjuk Gavan pada gerai fastfood yang banyak diminati.

“Eh, Gav. Tapi aku pengen sushi dari kemarin. Aku tunda karena maunya makan sama kamu hari ini.” Kata wanita itu, Fikaya Visua, seorang teman lama sekaligus mantan gebetan Gavan.

Sesuai perkenalan tadi sebelum ketiganya berangkat ke salah satu mall, Fikaya membantah keras bahwa ia adalah mantan Devan. Dan mengatakan dengan lantang jika wanita tersebut menyukai Gavan dari awal sampai akhir.

Pun kesalah-pahaman antara Senaza dan Devan sudah diselesaikan dengan baik. Keduanya sama-sama meminta maaf dan berpelukan, tidak lupa Arasya melakukan hal yang sama. Berada di tengah-tengah sepasang suami-istri tersebut seperti seorang anak kandung.

“Adek, hari ini makan sushi dulu gapapa? Makan ayam sama burgernya diganti besok, ya?”

Arasya memandang Gavan dan Fikaya secara bergantian. Karena merasa bersalah telah memilih menu makanan yang berbeda, Arasya mengangguk pelan. “Iya, gapapa.”

Fikaya tersenyum lebar, mengajak Gavan dengan bersemangat sambil meraih lengan pria tersebut untuk dipeluk. Meninggalkan Arasya yang perlahan merasakan sesuatu yang membuat suasana hatinya bersedih.

“Ih, apa sih aku tuh. ‘Kan mereka baru ketemu, aku malah egois pengen yang lain. Gak boleh. Nanti Mami marah sama aku.” Monolog Arasya mengomeli dirinya sendiri.

Karena sudah tertinggal jauh, Arasya segera berlari kecil menyusul Gavan dan Fikaya. Ketiganya memasuki restoran yang menghidangkan makanan khas Jepang.

Piring-piring yang sudah terisi seporsi sushi, berputar di samping meja-meja. Arasya mengambil duduk di pojokan dan Fikaya duduk berhadapan dengannya.

Gavan menyusul setelahnya, ia akan duduk di samping Arasya. Tetapi Fikaya memohon pada pria tersebut untuk duduk di sampingnya khusus hari ini.

“Hehehe, gapapa kok. Duduk di mana aja yang penting jangan duduk di tempat kasir.” Kata Arasya mencoba mencairkan suasana.

Gavan tertawa kecil, lalu menyuruh Arasya untuk mengambil sepuasnya dengan syarat harus habis. Arasya yang memang doyan makan langsung mengangguki tanpa banyak kata.

Satu piring, dua piring, sampai limabelas piring tertumpuk ke atas di kiri Arasya. Sedangkan yang lain, lima piring saja sudah kekenyangan.

“Wah, adikmu doyan makan ya, Gav. Makanya gembul banget.” Ucap Fikaya sambil menatap intens Arasya.

“Gak masalah, Kay. Masih masa pertumbuhan, yang penting sehat aja udah seneng.” Jawab Gavan. “Adek mau tambah minum? Nih minum punya Mas dulu.”

Tangan Arasy hampir meraih segelas minuman milik Gavan. Tetapi suara batuk dari Fikaya membuat mereka terkejut.

“Kay, pelan-pelan. Ini minum dulu.”

Minuman yang seharusnya untuk Arasya sudah tandas diminum oleh Fikaya. Arasya menatap khawatir ke arah wanita tersebut. “Kak Fika gapapa? Mau minum lagi?”

Fikaya menghembuskan nafasnya setelah menghabiskan minuman Gavan. “Gapapa. Maaf ya, tiba-tiba gak ke telan jadi kayak nyangkut di tenggorokan. Kesedak deh. Adek mau tambah minum apa? Biar aku pesenin sekalian ke toilet sebentar.”

Gavan mengusap punggung Fikaya. “Udah, kamu ke toilet langsung aja. Adek bisa pesan sendiri.”

Arasya mengangguk setuju. Lalu dua perempuan itu beranjak dari duduknya. Yang satu ke meja kasir dan satu lagi pergi ke toilet.

Melihat minuman Gavan tadi yang begitu menggoda tenggorokan Arasya, ia memesan yang sama. Membawanya kembali ke kursi.

“Kalau udah kenyang, berhenti ya, Dek. Nanti perutmu sakit kalau kekenyangan.” Kata Gavan memberi nasihat.

“Iya, iya.”

...•••...

Ketiganya sudah berada di parkiran dan masuk ke dalam mobil. Arasya kembali duduk di belakang seperti ketika berangkat. Fikaya dan Gavan duduk di depan, sembari mengemudikan mobil ke luar dari parkiran, keduanya asik mengobrol.

Arasya yang kekenyangan sudah tidak lagi merasa diabaikan seperti tadi. Ia menyandarkan tubuhnya ke belakang. Kantuknya menyerang, membuat matanya perlahan tertutup saking tak tahannya.

Hari ini terlalu melelahkan. Entah tidak seperti biasanya saat hanya Arasya dan Gavan yang pergi jalan-jalan. Energinya terkuras habis tak bersisa.

Lamat-lamat Arasya masih bisa mendengarkan obrolan dua orang dewasa itu. Tetapi Arasya memilih mempertahankan ketidaksadarannya dan menyelam mimpi. Meninggalkan realita sejenak sampai mereka pulang ke rumah.

“Devan!” teriakan samar-samar dari Gavan membangunkan Arasya. Hanya saja gadis tersebut tetap memejamkan matanya.

“Tolong itu Adek. Mas mau anterin Fika pulang. Kayaknya malam baru sampai, jadi Mas gak ikut dinner ya.”

“Wih tepar banget nih bocil.” Gumam Devan sambil berusaha menggendong Arasya. “Siap, Mas. Jangan lupa kasih kabar Mami. Soalnya Mami juga gak pulang hari ini.”

“Iya, Mas telpon Mami. Kalau kemaleman Mas bakal nginep, ya. Yang masak makan malam jadinya Sena?”

“Widih temu kangennya puas banget dong nanti.” Goda Devan pada Fikaya yang tertawa geli. “Gampang. Paling beli aja buat makan malemnya, Mas. Ya udah hati-hati di jalan, ya. Adek berat nih, aku masuk duluan.”

Arasya menggigit bibir bagian dalamnya. Rasa sedih di dalam hatinya semakin bertambah. Ia merasakan kehilangan lagi. Rasa yang sempat membuatnya sakit setengah mati.

Harusnya Arasya tidak begini, harusnya ia biasa saja. Semua individu memiliki hidup masing-masing meskipun mereka satu keluarga. Tidak mungkin Gavan harus terus bersama Arasya. Gavan juga akan menikah seperti Devan nantinya. Tetapi, kenapa rasanya berbeda?

“Mas...” Panggil Arasya lirih. Ia mengeratkan pegangannya pada Devan.

“Eh? Udah bangun, Dek? Istirahat di kamar Mami dulu ya.”

“Mau ke rumah aja.”

Devan berhenti tepat di depan rumahnya. “Kenapa deh? Mas biar enak nanti bangunin kamu. Di kamar Mami aja ya?”

Arasya menggeleng. “Pulang, Mas.”

“Iya, iya. Jangan nangis.” Ujar Devan asal. Tetapi nyatanya, Arasya benar-benar menangis sungguhan.

“Mas.... Hiks... Mas, aku gak mau lagi ikut Mas Gavan.” Keluh Arasya yang membuat Devan panik tak karuan.

Pria tersebut tanpa pikir panjang membawa Arasya ke ruang tamu rumahnya. Tidak mengabulkan permintaan Arasya yang ingin pulang.

“Mas, sakit. Iniku sakit.” Katanya lagi sambil memukul bagian dada berulang setelah Devan mendudukkan diri di sofa dan ia duduk di pangkuan menghadap pria tersebut.

“Sakitnya karena apa? Tadi jatuh?” Devan sigap menahan tangan Arasya agar tidak semakin brutal memukul. Menekan kepanikan yang mampir karena melihat Arasya menangis tersedu-sedu.

“Enggak jatuh.” Tangis Arasya semakin meraung.

Senaza yang berada di kamar lantai dua sampai bisa mendengar dan bergegas ke luar kamar.

“Ada yang jahat sama Adek? Siapa? Mas Gavan?”

Arasya menggelengkan kepalanya. “Enggak. Adek yang jahat. Adek mau di rumah aja sama Bunda, sama Ayah. Adek gak mau ditinggal lagi. Mas bilangin Bunda sama Ayah, jangan tinggalin Adek sendirian lagi ya. Adek takut, Mas.”

...« Terima kasih sudah membaca »...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!