NovelToon NovelToon
Silent Crack

Silent Crack

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romantis
Popularitas:455
Nilai: 5
Nama Author: Penulismalam4

Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap

Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.

Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.

Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15_Undangan

Meja makan pagi itu terasa terlalu rapi.

Lauren meletakkan dua piring berisi nasi goreng sederhana, telur mata sapi, dan irisan timun. Teh hangat mengepul pelan di dua cangkir keramik yang sudah lama mereka miliki—hadiah pernikahan dari seorang rekan kerja Arga dulu. Semua tersaji seperti biasa. Terlalu biasa, hingga keheningan di antara mereka terasa semakin kentara.

Arga duduk di seberang Lauren, membuka ponselnya sesekali, lalu meletakkannya kembali. Lauren duduk dengan punggung tegak, mengaduk tehnya meski gula sudah lama larut. Sendok kecil beradu dengan cangkir, menghasilkan bunyi lirih yang terasa lebih nyaring dari seharusnya.

Tak ada percakapan.

Hanya bunyi sendok, kunyahan pelan, dan detik jam dinding yang berdetak tanpa belas kasihan.

Lauren menatap piringnya, nafsu makannya setengah menguap. Ia tetap menyuap, bukan karena lapar, melainkan karena kebiasaan—karena peran yang sudah terlalu lama ia mainkan.

Arga yang memecah keheningan lebih dulu.

“Oh iya,” katanya sambil meneguk teh. “Malam ini ada acara kantor.”

Lauren mengangkat pandangan perlahan. “Acara?”

“Iya. Jam tujuh malam. Dinner dan perayaan proyek baru,” Arga berhenti sejenak, lalu menatap Lauren. “Kamu harus ikut.”

Lauren membeku sejenak.

“Aku?” tanyanya pelan, seolah tak yakin namanya benar-benar disebut.

“Iya,” jawab Arga datar. “Kamu diundang.”

Lauren menelan ludah. Ada rasa asing menyusup di dadanya—campuran terkejut, gugup, dan sesuatu yang lebih berat.

“Kenapa aku?” tanyanya hati-hati.

Arga menyandarkan punggungnya ke kursi. “Karena kamu istriku.”

Lauren tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya.

“Dan,” lanjut Arga, nadanya sedikit berubah, “karena kamu dulu bagian penting dari perusahaan itu.”

Lauren menunduk lagi.

Ia ingat.

Lorong kantor dengan lampu putih terang. Meja kerjanya yang selalu rapi. Target-target yang ia kejar dengan penuh semangat. Tepukan di pundaknya. Penghargaan demi penghargaan. Ia pernah menjadi karyawan terbaik—lebih dari sekali. Nama Lauren Hermasyah dulu sering disebut dalam rapat-rapat penting.

Sebelum ia memilih mundur.

Sebelum ia memilih rumah.

Sebelum hidupnya mengecil menjadi rutinitas yang tak pernah ia rencanakan.

“Mereka yang minta,” kata Arga, memecah lamunan Lauren. “HRD masih ingat kamu. Beberapa direktur juga. Katanya akan senang kalau kamu datang.”

Lauren tertawa kecil—kering, hampir tak terdengar.

“Aneh ya,” katanya pelan. “Setelah aku pergi, mereka masih ingat.”

Arga tidak langsung menjawab.

“Kamu pantas diingat,” katanya akhirnya.

Kalimat itu membuat jari Lauren berhenti bergerak.

Ia mengangkat wajahnya, menatap Arga. Ingin memastikan—apakah itu pujian tulus, atau sekadar fakta yang diucapkan tanpa rasa.

“Aku sudah lama tidak menghadiri acara seperti itu,” ujar Lauren ragu. “Aku bahkan… tidak tahu harus pakai apa.”

“Kamu punya gaun,” jawab Arga cepat. “Yang warna biru tua itu. Masih bagus.”

Lauren terdiam.

Ia ingat gaun itu. Digantung rapi di lemari. Terlalu lama tak tersentuh. Terlalu lama menunggu kesempatan yang tak kunjung datang.

“Kalau kamu tidak enak badan—” Arga mulai berkata.

“Tidak,” potong Lauren cepat. Ia tersenyum lagi, kali ini lebih terlatih. “Aku bisa datang.”

Arga mengangguk. “Bagus.”

Sunyi kembali menyelimuti meja makan.

Lauren menatap piringnya yang hampir kosong. Dadanya terasa sesak, bukan karena takut menghadiri acara kantor, melainkan karena ia tahu—malam itu bukan sekadar undangan.

Itu adalah pengingat.

Tentang siapa dirinya dulu.

Tentang kehidupan yang pernah ia miliki.

Dan tentang jarak antara wanita yang akan berdiri di acara perusahaan malam nanti…

dan wanita yang setiap pagi berdiri sendirian di dapur rumahnya.

Arga berdiri lebih dulu, meraih tas kerjanya.

“Aku berangkat dulu,” katanya. “Jangan lupa siap-siap.”

“Iya,” jawab Lauren pelan.

Pintu tertutup. Suara mobil Arga perlahan menjauh.

Lauren duduk sendiri di meja makan, menatap cangkir tehnya yang sudah dingin. Ia menghembuskan napas panjang, lalu bangkit untuk membereskan piring.

Di dalam dadanya, ada perasaan asing yang perlahan tumbuh.

Bukan hanya cemas.

Bukan hanya gugup.

Melainkan kesadaran bahwa malam ini, ia akan kembali melangkah ke dunia yang pernah ia tinggalkan—

sementara hatinya sendiri belum tahu

apakah ia masih menjadi bagian dari dunia itu…

atau hanya bayangan dari masa lalu yang terlalu lama disimpan.

***

Lampu-lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya kekuningan di aspal yang masih menyimpan hangat siang. Di depan rumah Lauren, Arga berdiri di samping mobilnya—jas formal gelap membingkai tubuhnya dengan rapi, kemeja putih licin tanpa satu pun lipatan. Jam tangannya berkilat saat ia melirik waktu.

Ia tampak seperti pria yang siap tampil. Tenang. Percaya diri. Seolah hidupnya tertata sempurna.

Suara langkah mendekat dari arah berlawanan.

Asher baru saja keluar dari supermarket kecil di ujung jalan. Satu tangan menenteng kantong belanja, tangan lainnya memegang ponsel. Hoodie hitam menutupi bahunya, rambutnya sedikit basah oleh keringat, raut wajahnya datar seperti biasa.

Langkah mereka melambat saat saling menyadari kehadiran masing-masing.

Asher berhenti lebih dulu.

Tatapannya naik, menilai pria di depannya dengan cepat—jas mahal, mobil bersih, sikap tubuh yang terbuka. Tak sulit menebak siapa dia.

“Selamat malam,” kata Arga lebih dulu, sopan namun singkat.

Asher mengangguk kecil. “Malam.”

Hening sejenak.

Arga melirik kantong belanja di tangan Asher, lalu kembali menatap wajah pemuda itu.

“Sudah betah?” tanya Arga, nada suaranya ramah—terlalu ramah.

Asher mengangkat bahu. “Cukup.”

Jawaban itu membuat Arga tersenyum tipis. “Lingkungan sini tenang. Aman.”

Asher menatap lurus ke arah Arga, mata abu-abunya dingin. “Tergantung siapa yang tinggal di dalamnya.”

Senyum Arga mengeras sedikit, nyaris tak terlihat.

“Kamu mahasiswa?” Arga melanjutkan, mencoba menjaga percakapan tetap ringan.

“Asher,” jawab pemuda itu, seolah tak mendengar pertanyaan. “Nama saya Asher.”

Arga mengangguk. “Arga.”

Ia tidak menyebutkan nama belakang. Tidak merasa perlu.

“Asher,” ulang Arga, mengamati pemuda itu lebih saksama. “Kamu sering terlihat di sekitar rumah ini.”

Asher tak langsung menjawab. Ia menggeser kantong belanja di tangannya, lalu berkata datar, “Saya pulang pergi seperti orang lain.”

“Hm,” Arga bersenandung singkat. “Istri saya juga sering di rumah.”

Asher menegang—halus, nyaris tak terlihat.

“Iya,” katanya pelan. “Saya tahu.”

Alis Arga sedikit terangkat. “Oh ya?”

“Kami tetangga,” jawab Asher singkat.

Ada jeda. Angin malam berembus pelan, menggerakkan dedaunan di halaman. Mobil Arga berdengung halus, mesin sudah menyala.

Arga memasukkan satu tangan ke saku jasnya. “Kalau begitu, terima kasih sudah… menjaga lingkungan ini.”

Asher menatapnya lebih lama kali ini. Ada sesuatu yang gelap dan tak terbaca di balik tatapan itu.

“Saya tidak menjaga lingkungan,” katanya pelan. “Saya hanya memperhatikan.”

Kalimat itu menggantung di udara.

Arga terkekeh kecil, menganggapnya lelucon. “Anak muda sekarang memang unik.”

Asher tidak ikut tertawa.

“Selamat malam,” katanya lagi, kali ini lebih tegas.

Ia melangkah melewati Arga, menuju rumah di seberang—rumah yang sejak lama kosong, dan kini berpenghuni. Saat ia berjalan, bahunya sejajar dengan Arga hanya sepersekian detik.

Cukup dekat untuk merasakan ketegangan yang tak perlu diucapkan.

Arga menoleh, menatap punggung Asher yang menjauh.

“Ada satu hal,” kata Arga tiba-tiba.

Asher berhenti, namun tidak menoleh.

“Jaga jarak,” lanjut Arga, suaranya tetap tenang. “Itu lebih aman.”

Asher akhirnya menoleh sedikit, cukup untuk memperlihatkan setengah wajahnya.

“Untuk siapa?” tanyanya pelan.

Arga tidak menjawab.

Asher tersenyum tipis—senyum yang sama sekali tidak hangat.

“Selamat malam, Pak,” katanya, lalu melanjutkan langkahnya tanpa menunggu balasan.

"Ada apa?" suara itu membuat Arga menoleh, membuat Asher menghentikan langkah nya dan menoleh.

1
Mao Sama
Apa aku yang nggak terbiasa baca deskripsi panjang ya?🤭. Bagus ini. Cuman—pembaca novel aksi macam aku nggak bisa terlalu menghayati keindahan diksimu.

Anyway, semangat Kak.👍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!