Sebuah cerita tentang perjuangan hidup Erina, yang terpaksa menandatangani kontrak pernikahan 1 tahun dengan seorang Presdir kaya raya. Demi membebaskan sang ayah dari penjara. Bagaikan mimpi paling buruk dalam hidup Erina. Dia memasuki dunia pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap akan dicintai.
Akankah dia bisa menguasai hatinya untuk tidak terjatuh dalam jurang cinta? ataukah dia akan terperosok lebih dalam setelah mengetahui bahwa suaminya ternyata ada orang paling baik yang pernah ada di hidupnya?
Jika batas waktu pernikahan telah datang, mampukan Erina melepaskan suaminya dan kembali pada kehidupan lamanya? Atau malah cinta yang lama dia pendam malah berbuah manis dengan terbukanya hati sang suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eilha rahmah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tersesat
Erina sibuk memasukkan beberapa setel bajunya ke dalam koper di bantu dua orang pelayan yang di tugaskan untuk membantunya bersiap. Siang ini dia akan pergi kemakam mertuanya bersama suaminya.
Sedari tadi mulutnya tidak henti-hentinya menggerutu, karena aksi protesnya sama sekali tidak di dengar oleh orang rumah. Bahkan Kakek dan Bibi Erina mendukung penuh perjalanannya kali ini.
“Erin tidak mau berlama-lama di sana Kek, Erin pasti sangat merindukan Kakek.” Erina berusaha merayu berharap Kakek bisa merubah pikiran cucunya.
Erina sangat keberatan jika harus menginap beberapa hari di sana. Bukan karena desa itu terlalu terpencil untuk di kunjungi. Tapi karena dia pergi hanya berdua saja dengan Arga. Apalagi suaminya itu memakai asalan ingin berbulan madu. Jelas Erina semakin keberatan. Bulan madu apanya, jelas-jelas Arga mengancam akan mengerjainya mati-matian di sana. Kalau itu benar-benar terjadi lalu siapa yang akan membelanya nanti.
Arga yang melihat usaha Erina hanya bisa menahan senyumnya. Dia menatap Erina dengan perasaan puas bercampur senang. Akhirnya kali ini Kakek mendukung penuh keinginannya. Karena sejak kedatangan Erina di rumah ini, Arga merasa benar-benar tersisihkan. Dia bahkan lebih mirip cucu tiri dibandingkan cucu Kakek sendiri.
“Kamu akan suka di sana Erina.” Ucap Bibi Sofia menenangkan.
“Bagaimana kalau Bibi ikut bersama kami?”
Arga tergelak. Jelas itu hal yang konyol jika Bibi Sofia mengiyakan, memangnya Kakek mau di tinggal sendirian dirumah dengan para pelayan.
Erina mengerucutkan bibirnya. Semua hal yang ia lakukan rasanya sia-sia saja. Kenapa semua orang rumah bersekongkol memojokkannya begini?
“Nona, apakah ini perlu di bawa?” Seorang pelayan membuyarkan lamunan Erina. Dia menoleh kemudian cepat-cepat menggelengkan kepala saat pelayan itu menanyakan sebuah lingerie hitam di tangannya.
“Yang itu tidak usah di bawa.”
Yang benar saja, untuk apa aku membawa baju tidur kurang bahan. Lagi pula dia dapat dari mana sih benda itu, setahuku di lemari tidak ada baju seperti itu.
Setelah semuanya siap mereka mulai berpamitan. Bibi Sofia dan Kakek mengantar kepergian mereka sampai di halaman depan.
Erina menghela nafasnya berulang kali, menatap kopernya yang di bawa pelayan laki-laki untuk dimasukkan ke dalam mobil. Dia benar-benar tidak rela kalau harus pergi berdua saja dengan suaminya yang aneh itu.
Sepertinya aku harus mengucapkan selamat tinggal pada Kakek dan Bibi Sofia? Firasatku benar-benar buruk sekali. Erina berguman dalam hati.
“Ayo berangkat.” Arga menarik lengan Erina. Gadis itu menatap Kakek dan Bibi Sofia dengan mata berkaca-kaca.
Kenapa mereka tidak peka sekali Tuhan, Bibi kenapa kau tidak bisa membaca isyarat mataku. Aku sedang minta tolong. Selamatkan aku dari keponakan gilamu ini. Tolong...
Erina terpaksa menyeret langkahnya mengikuti Arga. Dia masuk kedalam mobil, berulangkali melambaikan tangannya sambil berlinang air mata.
“Doakan Erin baik-baik saja ya Bibi, Kakek.” Erina berteriak seiring mobil yang mulai melaju perlahan.
Arga terkekeh sembari menggeleng-gelengkan kepalanya, konyol sekali. Memangnya dia mau pergi ke medan perang apa.
Keheningan tercipta sementara di antara mereka. Sudah sekitar dua jam mereka berkendara. Mulut Erina rasanya gatal sekali, sedari tadi dia ingin bertanya letak desa yang akan dia kunjungi. Dia hanya ingin memberi tahu Billa untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu pada dirinya di sana. Maka jasadnya bisa segera di ketemukan. Jalan pikirannya memang di luar akal pikiran manusia pada umumnya.
“Suamiku, desa yang mau kita kunjungi, namanya apa sih?” Erina memberanikan diri membuka suaranya.
“Kenapa?” Masih fokus pada jalanan.
“Apa masih sangat jauh?”
“Lumayan”
Kenapa dia jawabnya singkat-singkat begitu, aku kan jadi bingung harus tanya apa lagi.
“Apa desanya sangat terpencil sekali? Apa ada orang lain yang tinggal di sana?”
Arga yang awalnya hanya fokus pada kemudinya mulai melirik Erina.
“Ada di lereng gunung”
Hah? Lereng gunung? Kenapa dia mengubur orang tuanya di gunung? Apa tidak ada tempat lain yang bisa di gunakan sebagai makam?
“Kau bisa baca maps?” Kini giliran Arga yang bertanya.
Erina mengecek sekeliling, dia baru sadar mobil yang mereka bawa stuck di tempat sejak beberapa menit yang lalu. Mereka dihadang macet yang sangat parah.
“Kita harus sampai di desa sebelum malam.” Lanjutnya lagi.
“Eh, sepertinya bisa.” Erina segera mengeluarkan benda pipih dari sakunya, mencari letak lokasi dia berada saat ini.
Pada akhirnya Arga lebih memilih lewat jalur alternatif ketimbang menunggu macet yang tidak tahu sampai kapan. Mereka bilang ada pohon tumbang di depan sana. Mungkin penanganannya akan lama mengingat mereka sudah sampai di jalanan pedesaan.
Arga mengikuti arahan Erina, kemana dia harus berbelok dan terus mengikuti jalan. Arga tetap fokus pada setirnya dia benar-benar percaya kalau Erina bisa membaca maps. Padahal nyatanya Erina sendiri sedikit kebingungan karena banyak jalan-jalan desa yang tidak ada di maps.
“Sepertinya belok kiri.” Erina menunjuk jalan di depannya.
“Kita sudah lewat sana dua kali! ini kita hanya berputar-putar,” dengusnya kesal. “Kau benar-benar bisa baca maps apa tidak?” Arga melipirkan mobilnya.
“Oh ya, apa iya tadi kita lewat sana?”
Arga memutar bola matanya malas. Bodoh sekali, seharusnya dia tidak menyuruh gadis itu untuk membaca maps. Hari sudah mulai sore, persediaan bensin mereka sudah mulai menipis. Arga mendengus kesal. Dia keluar dari mobilnya mengedarkan padangannya ke segala penjuru arah. Hanya ada pohon-pohon besar disana.
Ini kita dimana? Tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sekitar sini.
“Apa kita nyasar?”
“Heemm”
“Kita dimana?” Erina sudah ikut turun dari mobil.
“Aku tidak tahu” Jawabnya enteng, Arga mulai mengutak atik HP nya, berusaha mencari bantuan namun nihil. Tidak ada sinyal sama sekali di sana.
Mereka berdua menunggu cukup lama langit juga sudah mulai gelap. Akhirnya ada juga yang lewat. Seorang bapak-bapak membawa muatan rumput yang sangat banyak di belakang motornya. Arga segera bertanya jalan pada bapak itu. Dan benar saja, mereka benar-benar melenceng jauh dari tempat yang hendak mereka tuju.
Arga melirik Erina kesal, sekali lagi dia merutuki dirinya yang mempercayai Erina untuk memandu jalan.
Erina cuma bisa nyengir kuda, mau bagaimana lagi semuanya sudah terjadi. Kalau Arga mau marah juga tidak apa-apa memang itu salahnya. Erina sudah mulai terbiasa dengan hukuman yang di berikan Arga padanya.
Bapak itu menawarkan pada mereka agar menginap saja semalam di kediamannya. Jika mereka nekat melanjutkan perjalanan, kemungkinan besar mereka akan kehabisan bensin di tengah jalan.
Arga setuju, dia mengikuti motor bapak itu dari belakang.
Ternyata tak jauh dari tempat mereka menunggu tadi ada sebuah perkampungan, penduduknya tidak begitu banyak, namun mereka sangat ramah. Erina dan Arga di jamu layaknya tamu special kebetulan mereka juga belum sempat makan malam.
“Maaf hanya kamar ini yang tersisa di rumah kami.” Bapak itu memperlihatkan kamar yang kosong pada Arga dan Erina.
Sempit sekali, bagaimana aku bisa tidur berdua dengan laki-laki ini dikamar yang sempit ini.
Erina tersenyum canggung. Bukan masalah sempit atau luasnya, tapi masalahnya dia harus sekamar dengan Arga, dan ukuran ranjangnya benar-benar muat hanya untuk satu orang.
Arga yang melihat ekspresi Erina seketika menemukan angin segar. Dia langsung mengiyakan saja, dan segera menarik tangan Erina untuk masuk setelah berpamitan terlebih dahulu.
“Mari kita tidur, sayang.”
Apa? Dia barusan memanggilku apa? Kenapa tiba-tiba bulu kudukku merinding begini? Lihat seringainya itu, menyeramkan sekali. Apa jangan-jangan dia ketempelan setan saat di hutan tadi.
Tolong aku...!!
.
.
(BERSAMBUNG)
jujurlah sama erina tentang apa yg kamu rasakan dan kejadian dikantor tadi
erina harus tegas, hempaskan clara walau belum ada cinta ke arga setidaknya pertahankan rumahtangga
perjuangkan nasib sendiri, sedikit egois boleh ya erina
buat erina hamil ya kak dan arga bucin
lanjut kak/Coffee//Rose//Drool/