"mas belikan hp buat amira mas dia butuh mas buat belajar" pinta Anita yang ntah sudah berapa kali dia meminta
"tidak ada Nita, udah pake hp kamu aja sih" jawab Arman sambil membuka sepatunya
"hp ku kamarenya rusak, jadi dia ga bisa ikut zoom meating mas" sanggah Nita kesal sekali dia
"udah ah mas capek, baru pulang kerja udah di sodorin banyak permintaan" jawab Arman sambil melangkahkan kaki ke dalam rumah
"om Arman makasih ya hp nya bagus" ucap Salma keponakan Arman
hati Anita tersa tersayat sayat sembilu bagaimana mungkin Arman bisa membelikan Salma hp anak yang usia baru 10 tahun dan kedudukannya adalah keponakan dia, sedangkan Amira anaknya sendiri tidak ia belikan
"mas!!!" pekik Anita meminta penjelasan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4 kamu akan pilih siapa?2
"Mas, baju siapa ini?" tanya Anita dengan nada menyelidik.
Arman melirik ibunya dan mengedipkan mata. "Wah, dia pasti menyembunyikan sesuatu. Oke, aku bantu, tapi ada kompensasinya," pikir Laksmi dalam hati.
Laksmi menepuk jidatnya. "Astaga, Ibu lupa! Ini baju Ibu. Kemarin Arman membelikannya untuk Ibu. Dia kan anak yang berbakti. Sudahlah, jangan ada yang protes. Kita doakan saja semoga rezeki Arman semakin melimpah," ujar Laksmi sambil membela Arman.
Arman merasa lega karena ibunya bisa diandalkan. "Sudah jelas, kan? Sudah siang, aku mau berangkat dulu," kata Arman sambil mengenakan sepatunya.
Anita membantu Arman mengenakan sepatu, lalu mencium tangannya dan mendoakannya. Itu adalah kebiasaan Anita setiap pagi. Sebenarnya, Laksmi senang melihat Arman diperlakukan seperti itu, tetapi sayangnya, menurutnya, Anita adalah istri yang tidak berguna karena bukan wanita karier.
Setelah membereskan rumah, Anita masuk ke kamar dan mulai menulis cerita bersambung. Senyumnya merekah saat melihat jumlah pembacanya semakin bertambah. Ternyata, banyak yang menyukai ceritanya. Dengan keterbatasan kosakata yang dimilikinya, ia tetap menulis dengan bahasa sehari-hari. Awalnya, ia mengira gaya bahasa seperti itu tidak akan diminati, tetapi ternyata banyak pembaca yang justru menyukainya. Dalam ulasan, banyak yang memuji kesederhanaan dan kemudahan bahasanya.
Siang hari, terdengar ketukan di pintu. Anita bergegas membukanya dan melihat Lestari, adik Arman yang kuliah di kota.
"Tari, kamu libur?" tanya Anita.
Namun, wajah Lestari terlihat masam. Ia tidak menjawab dan langsung mengetuk pintu kamar ibunya.
Laksmi keluar dengan wajah masam dan mata masih berbelek.
"Tari, kenapa kamu pulang? Apa kamu libur?" tanya Laksmi.
"Aku ambil cuti, Bu. Aku mau di rumah dulu," jawab Lestari.
"Oke, tapi nanti kamu sekamar dengan Salma, ya."
"Aku tidak mau, Bu. Aku mau kamar sendiri."
"Tapi kamar kamu sudah digunakan Kakak Dewi."
"Aku tetap mau kamar sendiri, Bu. Titik." Lestari bersikeras.
"Anita!" teriak Laksmi.
"Apa, Bu?" jawab Anita.
"Sekarang kamu bereskan kamar Amira. Pindahkan semua barangnya ke kamar kamu."
Anita terkejut dengan keputusan ibu mertuanya. Memang benar ini rumah mertuanya, tetapi semua kebutuhan rumah ditanggung oleh Arman, suaminya. Berkali-kali Anita meminta Arman membeli rumah sendiri, meskipun sederhana, tetapi selalu ditolak. Alasan utamanya adalah karena ibunya melarang, dan bagi Arman, larangan ibunya adalah sabda yang harus diikuti.
"Nanti aku tanyakan dulu ke Mas Arman, Bu," ucap Anita, tidak mau mengambil keputusan sendiri. Bagaimanapun, Amira sudah remaja, tidak pantas jika tidur bersama orang tuanya.
"Ngapain harus menunggu Arman? Arman itu anakku. Dia pasti mengikuti apa yang Ibu ucapkan!"
"Tapi, Bu..."
"Tidak ada tapi-tapi! Cepat lakukan apa yang Ibu perintahkan!" bentak Laksmi.
Lestari menyeringai puas. Sejak kuliah, ia tidak menyukai Anita entah karena alasan apa.
Dengan berat hati, Anita mulai membereskan kamar Amira. Perasaan sedih menyelimutinya. Ia selalu merasa disisihkan. Apa salahnya menjadi ibu rumah tangga? Kenapa keluarga mertuanya sangat membenci ibu rumah tangga? Kenapa mereka meremehkan pekerjaan yang tidak pernah habis ini? Apakah ibu rumah tangga dianggap tidak bisa menghasilkan uang?
Namun, Anita memiliki pemikiran yang lebih maju. Ia adalah seorang penulis daring. Dulu, ia sering mengikuti lomba menulis cerpen, tetapi karena keterbatasan ekonomi, ia tidak bisa melanjutkan sekolah. Tidak sekolah bukan berarti tidak belajar.
Baru dua tahun terakhir ia mulai menyalurkan bakatnya, itupun setelah berjuang keras mengumpulkan uang dari Arman. Ia mulai menulis secara daring, dan bulan ini, perjuangannya mulai membuahkan hasil.
"Bu, kenapa kamarku ditempati Ate?" tanya Amira pada Anita.
Anita mengelus kepala Amira. "Nanti Ibu tanyakan ke Bapak kamu, bagusnya bagaimana. Tadi Nenek menyuruh Ibu membereskan kamar kamu dan memindahkan barang-barangmu ke kamar Ibu untuk sementara," ucapnya lembut.
"Bu, kenapa bukan Salma saja yang tidur dengan ibunya? Kalau aku tidur di kamar Ibu, kan, tidak mungkin. Atau aku tidur di ruang tamu saja, Bu. Barang-barangku kutaruh di kamar Ibu," ujar Amira yang sudah memahami ketidakadilan neneknya terhadap ibunya.
Mata Anita berkaca-kaca mendengar ucapan Amira.
"Ibu tidak akan membiarkanmu tidur di ruang tamu. Lebih baik Ibu mencarikan kos putri untukmu daripada kamu tidur di ruang tamu. Kamu anak gadis, Ibu tidak akan membiarkan itu terjadi," ucap Anita dengan tekad bulat. Ia ingin melihat bagaimana sikap Arman nanti.
"Oh iya, Bu. Kalau mau kos, aku ada tempat, khusus akhwat. Ada pembinaan dari ustazah juga. Tapi biayanya mahal, Bu," kata Amira.
"Berapa, Sayang?" tanya Anita.
"Satu juta lima ratus ribu rupiah, Bu," jawab Amira.
"Kalau kamu mau, Ibu akan usahakan, Nak," ujar Anita sambil mengelus kepala Amira.
"Apapun keinginanmu, akan Ibu usahakan, Sayang," tekad Anita dalam hati.
Jam 3 sore
Seorang laki-laki paruh baya datang. Lasmi tampak tidak senang dengan kedatangannya.
"Kenapa kamu balik lagi ke sini, Goni?" sentak Lasmi.
Goni santai masuk ke kamarnya.
"Kamu nggak ada hak tinggal di sini, Goni!" pekik Lasmi.
"Apanya yang nggak berhak? Rumah ini aku yang bangun, dan lihat apa yang kamu lakukan!" ucap Goni sambil melemparkan sebuah map hijau.
"Apa ini, Mas? Kamu balik nama sertifikat rumah ini?" hardik Lasmi.
"Dasar wanita licik! Kamu lihat betul-betul tahun di sertifikat ini. Ini jauh sebelum kita menikah. Dua tahun ini sertifikat ini hilang, ternyata kamu sedang proses balik nama atas namamu! Untung saja pegawai notaris itu adalah keponakanku. Dia menyelamatkanku dari kelicikanmu!" jelas Goni dengan nada datar.
Lasmi tersentak. Tentu saja ia kaget. Akhirnya, Goni tahu siasatnya. Tapi itu bukan tanpa alasan.
"Aku melakukan itu karena kamu selingkuh! Aku takut rumah ini akan kamu berikan pada gundikmu!" ujar Lasmi.
"Dasar bodoh! Dia itu orang kaya! Rumah ini nggak ada apa-apanya dibanding harta yang dia punya!" jawab Goni.
"Kalau dia kaya, lalu kenapa kamu balik lagi ke sini? Bukannya dia orang kaya? Harusnya kamu nyaman tinggal di sana! Kenapa kamu balik lagi?" tanya Lasmi penuh amarah.
Goni menarik napas panjang. "Dia sudah meninggal satu bulan yang lalu. Aku nggak mau harta dia. Aku tinggalkan semua untuk anak-anaknya," ucap Goni dengan wajah sedih.
"Alah! Bilang aja kamu dibuang oleh anak-anak tirimu! Dunia bisa kiamat kalau kamu punya sikap sebijak itu. Kamu itu laki-laki paling licik yang aku kenal!" ucap Lasmi meledek Goni.
"Sudahlah, aku capek. Pokoknya, aku akan tinggal di sini dan nggak ada yang boleh protes. Ingat, kita masih sah sebagai suami istri," ucap Goni.
Mau tidak mau, Lasmi menerima kembali Goni. Ya, tanah itu memang milik Goni, tetapi pembangunan rumahnya dilakukan secara bersama. Orang tua Lasmi banyak memberi bantuan agar Lasmi bisa punya rumah.
Maghrib tiba
Arman baru pulang. Hampir saja terjadi baku hantam antara Arman dan Goni kalau tidak dilerai oleh Anita. Arman tampak stres dengan kedatangan ayahnya.
"Mas, sebaiknya kita mulai mencicil rumah," saran Anita.
"Aku tahu, tapi kamu tahu kan, Ibu melarangnya," ucap Arman.
Jika sudah sabda ibu, maka Anita pun tidak akan bisa melawan. Kalau berani, pasti akan terjadi keributan seperti yang sudah-sudah.
"Mas, aku mau Amira punya kamar. Kamu pindahkan Salma ke ibunya," pinta Anita.
"Lo, kamar Amira memang kenapa?" tanya Arman.
"Ditempati oleh Lestari," jawab Anita.
"Harusnya Salma yang satu kamar dengan Dewi kalau begitu," ucap Arman.
"Aku juga maunya seperti itu, tapi Ibu tetap menyuruhku memindahkan barang-barang Amira ke kamar kita," ujar Anita.
Arman terdiam.
"Aku ingin tahu sikap Mas Arman. Apakah dia akan membela anaknya atau ikut kata keluarganya?" pikir Anita.