Ayla, pegawai biasa yang diangkat menjadi resepsionis di perusahaan terkenal, terpaksa menjadi wanita malam demi biaya pengobatan adiknya. Di malam pertamanya, ia harus melayani pria yang tak disangka—bosnya sendiri. Berbeda penampilan, sang CEO tak mengenalinya, tapi justru terobsesi. Saat hidup Ayla mulai membaik dan ia berhenti dari pekerjaan gelapnya, sang bos justru terus mencari wanita misterius yang pernah bersamanya—tanpa tahu wanita itu ada di dekatnya setiap hari. Namun, skandal tersebut juga mengakibatkan Hana hamil anak bosnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PRIA ITU
Kenzo melangkah cepat menuju ruangan Leo, tempat rapat mereka akan segera dimulai. Para kolega bisnis sudah berkumpul di dalam, menunggu kehadiran tuan rumah. Saat melewati meja resepsionis, pandangannya langsung tertuju pada Alya.
Tanpa ragu, ia segera menghampirinya dan bertanya dengan nada sedikit tergesa-gesa, seolah waktu tak berpihak padanya. "Apa Leo ada di dalam?" tanyanya, matanya menatap Alya dengan penuh harap.
Alya, yang sudah terbiasa dengan ritme kerja di tempat itu, langsung mengangguk tanpa ragu. "Pak Leo ada di dalam, Pak!" jawabnya dengan nada sopan dan tegas, memastikan bahwa Kenzo mendapatkan jawaban yang ia butuhkan.
Tanpa berujar lebih lama, Kenzo segera melangkah masuk ke dalam ruangan Leo. Pintu tertutup di belakangnya, meredam suara-suara dari luar. Pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang duduk di atas sofa dengan tubuh sedikit membungkuk. Leo tampak kelelahan, tangannya memijit pelipis seolah sedang berusaha meredakan sakit kepala yang mengganggunya.
"Leo!" seru Kenzo, suaranya terdengar tegas dan sarat akan ketidaksabaran.
Mendengar namanya dipanggil, Leo segera menoleh. Tatapannya kosong, seolah pikirannya masih melayang entah ke mana. Ia menatap sepupunya itu tanpa ekspresi yang jelas.
Kenzo melangkah lebih dekat, lalu bersuara lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. "Sedang apa kau di sini? Kita akan melakukan rapat penting bersama para tetua, Leo!" ucapnya, mengingatkan pria itu akan tanggung jawabnya. Bagaimana mungkin Leo bisa melupakan rapat sepenting ini?
Alih-alih menunjukkan reaksi panik atau tergesa-gesa, Leo hanya menatap Kenzo dengan datar. Sorot matanya seolah tidak peduli. "Benarkah?" tanyanya santai, seakan hal itu bukan sesuatu yang mendesak.
Kenzo mengembuskan napas panjang, merasa tak habis pikir dengan sikap Leo. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia menggelengkan kepala dan dengan gerakan cepat, langsung menarik Leo untuk berdiri. Ia tidak akan membiarkan sepupunya itu mengabaikan tanggung jawabnya begitu saja.
Kenzo menatap Leo dengan tajam, memastikan sepupunya benar-benar mendengar perintahnya. Dengan nada tegas, ia berkata, "Rapikan penampilanmu, dan segera ke ruang rapat. Kau sedang ditunggu!"
Tanpa menunggu jawaban, Kenzo berbalik dan keluar dari ruangan dengan langkah cepat. Ia sudah cukup kesal dengan sikap Leo yang tampak acuh tak acuh terhadap rapat penting ini.
Sementara itu, Leo hanya bisa menghela napas panjang. Dada terasa sesak, dan kepalanya masih terasa berat. Ia tahu tugas-tugasnya menumpuk, tanggung jawabnya menanti, tapi pikirannya masih terjebak dalam kenyataan pahit yang belum bisa ia terima sepenuhnya. Luka di hatinya masih menganga, belum benar-benar sembuh. Bagaimana bisa seseorang yang baru saja ditinggal menikah oleh cinta pertamanya bertingkah seolah semuanya baik-baik saja? Apalagi pernikahan itu baru terjadi semalam.
Rasanya, dunia seakan-akan masih berputar terlalu cepat sementara dirinya tertinggal di belakang, terjebak dalam pusaran emosi yang menyiksa. Namun, ia tahu tidak bisa terus berdiam diri. Tanpa banyak basa-basi lagi, Leo berdiri, merapikan pakaian dengan asal, lalu melangkah keluar dari ruangannya.
Begitu pintu terbuka, pandangannya sekilas bertemu dengan Alya, yang langsung berdiri tegak dan membungkukkan badan sebagai bentuk penghormatan. Namun, Leo tak mengindahkannya. Tatapan kosongnya hanya lurus ke depan, langkahnya tidak melambat sedikit pun. Tanpa sepatah kata, ia berlalu begitu saja, meninggalkan Alya yang masih berdiri di tempatnya.
Alya memandang kepergiannya dengan tatapan sinis, lalu mengumpat pelan. Ia sudah sering berurusan dengan pria kaya dan berpangkat tinggi, dan kebanyakan dari mereka memang selalu angkuh serta merasa dunia berputar di sekitar mereka. Tapi entah kenapa, melihat Leo dengan ekspresi kosong dan sikap dinginnya barusan membuatnya ingin mengumpat lebih banyak.
Ia mengembuskan napas kasar sebelum kembali fokus pada pekerjaannya. "Bagaimana bisa aku tidur dengan pria seperti itu!" gumamnya kesal, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, sekeras apa pun ia mencoba mengabaikannya, bayangan tentang malam itu masih terus mengusik pikirannya. Dengan frustasi, Alya menggelengkan kepala, mencoba mengusir semua pikiran yang tidak perlu, lalu memutuskan untuk kembali melanjutkan tugas-tugasnya.
Kenzo menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan kegelisahan yang sejak tadi menghantuinya. Ruangan rapat sudah dipenuhi oleh para kolega bisnis serta para tetua yang memiliki andil besar dalam perusahaan mereka. Namun, bukan hanya keberadaan mereka yang membuatnya merasa cemas—melainkan sosok pria yang duduk tepat di hadapannya.
Matanya beberapa kali melirik ke arah pria itu, menilai ekspresi dan sikapnya. Kenzo tahu bahwa kehadiran orang ini bukan sekadar kebetulan, dan yang paling ia takutkan adalah reaksi Leo ketika melihatnya. Ia bisa membayangkan berbagai kemungkinan skenario yang akan terjadi, dan semuanya tidak ada yang berakhir baik.
Pintu ruangan terbuka perlahan, dan semua kepala secara refleks menoleh ke arah sumber suara.
Leo akhirnya datang.
Langkahnya santai, ekspresinya masih tetap datar seperti biasa, seolah dunia di sekitarnya tidak benar-benar menarik perhatiannya. Tanpa membuang waktu, ia berjalan menuju tempat duduknya, tepat di samping Kenzo. Ia belum benar-benar memperhatikan satu per satu kolega bisnis yang hadir kali ini, pikirannya masih sedikit berkabut setelah kejadian sebelumnya.
Namun, begitu matanya menatap lebih luas ke sekeliling ruangan, tubuhnya seketika menegang.
Tatapan matanya terpaku pada satu sosok yang duduk tepat di hadapannya.
Deg.
Denyut jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Kenzo menoleh cepat, mencoba membaca ekspresi Leo yang jelas-jelas berubah dalam hitungan detik. Ia bisa merasakan ketegangan yang kini memenuhi ruangan, bahkan sebelum kata-kata terucap dari bibir mereka.
Leo masih diam, hanya menatap pria itu dengan sorot mata yang sulit diartikan. Namun, satu hal yang pasti—ada banyak emosi yang berputar di dalam dirinya saat ini.
"Vino!" gumam Leo, nyaris tak terdengar, namun cukup jelas bagi Kenzo yang duduk di sampingnya.
Kenzo yang sudah memperkirakan reaksi ini segera menepuk pundak sepupunya, mencoba menariknya kembali ke realitas. "Leo," bisiknya pelan, matanya melirik ke arah para tetua yang kini mulai menatap mereka.
Leo tersadar. Napasnya sedikit berat, emosinya sudah memuncak hanya dengan melihat pria itu, apalagi senyum yang tergurat di wajah Vino. Senyum itu—senyum yang memiliki arti khusus baginya. Namun, sekarang bukan waktunya. Ia mengalihkan tatapannya ke arah para tetua yang kini memperhatikan mereka dengan penuh wibawa.
"Kita mulai saja!" suara dalam dan tegas milik seorang pria paruh baya memecah ketegangan. Semua mata kini tertuju padanya.
Pria itu mengenakan pakaian yang rapi dan elegan, sesuai dengan posisinya sebagai seseorang yang dihormati di ruangan ini. Meski usianya sudah tidak muda lagi, auranya tetap kuat—dipenuhi karisma serta kewibawaan yang tak tertandingi. Ia bukan sekadar pengamat dalam bisnis ini, melainkan sosok yang memegang banyak keputusan penting dalam perusahaan.
Hido—itulah namanya.
Sebagai salah satu tetua yang memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis, Hido dikenal sebagai sosok yang tidak hanya cerdas, tetapi juga bijaksana dalam mengambil keputusan. Keberadaannya dalam pertemuan ini menegaskan bahwa rapat ini bukan sekadar pertemuan biasa, tetapi memiliki kepentingan besar yang menyangkut masa depan perusahaan Leo.
Leo menarik napas panjang, menekan emosinya dalam-dalam. Ia tahu, tak peduli seberapa besar kemarahannya saat ini, ia tidak bisa membiarkan dirinya kehilangan kendali di hadapan para tetua dan kolega bisnis mereka.
"Baik," ujarnya singkat, suaranya terdengar lebih terkendali meski di dalam hatinya, badai masih bergemuruh.
Rapat pun dimulai, sementara ketegangan di antara Leo dan Vino masih terasa jelas di udara.