NovelToon NovelToon
JALAN HIJRAH SEORANG PENDOSA

JALAN HIJRAH SEORANG PENDOSA

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Cintamanis / Kisah cinta masa kecil / Menikah Karena Anak / Anak Yang Berpenyakit
Popularitas:18.4k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Remaja01

Warning⚠️

Siapkan tisu karna banyak adegan mengharukan mungkin akan menguras air mata.

_____
Menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda bernama Firman yang berprofesi sebagai seorang pengedar obat-obatan terlarang. Sekian lama berkecimpung di dunia hitam, akhirnya Firman memilih berhijrah setelah mendapatkan hidayah melalui seorang anak kecil yang ia temukan di tepi jalan.

Akan tetapi, semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak halang rintangan yang menghambatnya keluar dari dunia hitam.

"Jack, mungkin aku akan keluar dari dunia hitam ini."

"Kau jangan gila, Man! Togar akan mencari dan membunuh kau!"

Dapatkan Firman keluar dari dunia hitam setelah bertahun-tahun berkecimpung di sana. Dan apakah ia akan Istiqomah dengan pendiriannya, atau akan kembali kejalan yang dulu yang pernah ia tempuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 32

"Kemana harus saya cari uang sebanyak itu?" Firman tersenyum hambar memandang wajah si kecil dalam gendongannya. Saat ini ia, Aisyah dan Umar berada di sebuah mol sengaja mengajak si kecil jalan-jalan setelah seharian berada di rumah sakit spesialis jantung untuk memeriksa kembali kesehatan jantung Umar.

"Bang Ash, sebaiknya kita istirahat dulu." Aisyah mengajak Firman memasuki sebuah kopi shop dan memesan minuman disana. Lalu mereka mencari meja kosong dan duduk.

"Nanti kita bisa menggalang dana. Insyaallah pasti ada orang yang membantu." Aisyah memberi saran. Hanya itu jalan yang terpikir. Mau menolong pun, tabungannya sudah menipis. Seandainya dikuras semua pun tidak akan cukup untuk membiayai operasi si kecil.

"Rasanya mustahil bisa mendapatkan uang sebanyak itu," lirih Firman. Pikirannya sudah buntu, masalah keuangan sendiri saja ia kesusahan. Jasa servis ponsel dan leptop yang sedang di gelutinya sekarang hanya cukup untuk makan dan minum saja.

"Insyaallah, pasti ada saja jalannya," bujuk Aisyah.

Firman menghela nafas berat. "Seandainya saya jual satu ginjal, apa saya masih bisa hidup." Pikiran yang melintas di kepala di utarakan lansung. Ia akan melakukannya jika tidak ada jalan lain menyelamatkan nyawa si kecil. Tadi dokter mengatakan operasi harus segera di lakukan, karna satu lubang di jantung Umar hampir tertutup. Namun, salah satu lubang semakin membesar.

"Hust! Jangan ngaco!" Aisyah menjeling pada Firman.

"Saya benar-benar sudah mati akal memikirkan uang sebanyak itu." Firman melihat wajah Umar. Ia mulai khawatir dengan keberadaan si kecil di panti. Beberapa hari yang lalu Firman di kejutkan dengan kabar yang di sampaikan ibu panti ketika Umar mengalami sesak nafas.

Dokter Aisyah turut memikirkan masalah keuangan yang sedang di pikirkan Firman. Andai dia masih punya uang tabungan yang cukup, mungkin dengan mudah akan di berikannya, tapi sayangnya tabungannya sudah terkuras untuk membayar biaya rumah sakit Firman. "Saya baru ingat, kita bisa minta tolong Michael dan Kak Diana. Mereka sering menggalang dana sosial yang nantinya akan mereka sumbangkan ke panti asuhan dan anak-anak jalanan. Saya yakin dengan bantuan mereka kita bisa cepat mendapatkan uang untuk biaya operasi jantung Umar. Bang Ash jangan khawatir, kita sama-sama usaha." Dokter Aisyah kembali memberi saran.

Lega sedikit hati Firman mendengar solusi yang di berikan dokter Aisyah. Namun jauh di lubuk hatinya ada rasa segan pada dokter muda itu yang telah banyak mengulurkan bantuan pada dirinya.

"Yayah, adik awu itu." Umar merengek meminta minuman yang baru saja di letakkan pramusaji di depan mereka.

Firman menjauhkan minuman itu ketika Umar ingin menggapainya. "Adik tidak boleh minum es. Nanti batuk."

Umar mengerucutkan bibir mendengar larangan ayahnya. Tangan kembali di tarik dan ia kembali duduk di pangkuan Firman.

Ada rasa perih di hati Firman melihat wajah sedih bocah itu. Tapi mau bagaimana lagi, dokter memang melarangnya mengkonsumsi air es.

Kemudian Firman menggelitik belakang leher bocah itu hingga si kecil tertawa. "Minuman ini pahit, adik tidak boleh minum. Sekarang adik minum susu dulu ya," bujuk Firman, lalu mengeluarkan botol susu dari dalam tas sandang. Pramusaji di panggil, Firman meminta air panas untuk menyeduh susu yang berada dalam botol dot.

"Nah, ini punya adik."

Botol susu dengan motif kartun yang di ulurkan Firman di ambil dan di pegang Umar dengan kedua belah tangan. Tubuh kecilnya sedikit di geser, lalu badan sedikit di telentangkan diatas pangkuan Firman. Barulah nyaman ia menikmati susu itu.

Aisyah tersenyum melihat cara Firman membujuk si kecil. Hubungan mereka juga terlihat dekat, tak ubah seperti ayah dan anak kandung.

"Hm, bang Ash? Apa tidak ada niat untuk menikah?" celetuk Aisyah.

Firman mengerutkan kening.  "Kenapa tanya seperti itu?"  Firman balik bertanya.

"Hm...." Aisyah merasa sudah saatnya sesuatu yang telah lama terpendam di ungkapkan pada pemuda yang yang telah mencuri hatinya.

"Apa?" Firman masih menanti jawaban Aisyah.

"Saya tidak yakin ini waktu yang tepat. Tapi.... Sebenarnya..." Agak ragu Aisyah menyampaikan yang tersimpan di hati selama ini. Wajah si kecil Umar di pandang untuk menghilangkan rasa gugup. "Sebenarnya? Sebenarnya sa-saya. Saya berniat ingin melamar bang Ash."

Melompong mulut Firman mendengar yang di sampaikan Aisyah barusan. Kemudian ia tertawa kecil demi menghilangkan rasa gugupnya. "Hahahaha.. Aisyah bercanda kan? Lagian mana ada perempuan yang melamar laki-laki. Ada-ada saja Aisyah ini." Firman masih tertawa kecil lalu menyeruput minumannya.

"Saya serius dan saya ingin mendengar jawaban bang Ash." Sudah kepalang basah biarlah malu di tahan. Dalam tradisi adat yang di jalani, pinangan memang hanya dilakukan oleh keluarga pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.

"Ta-tapi..." Firman tidak mampu berkata. Ia tidak seberani Jack dalam mengungkapkan isi hati. Apalagi ia sadar dirinya siapa. "Ke-kenapa saya? Banyak laki-laki yang lebih pantas mendampingi Aisyah. Saya hanya laki-laki yang tidak punya masa depan." Sungguh Firman merasa kerdil di hadapan dokter muda itu. Walau ia sudah tahu empat  hal sebab wanita di nikahi. Yang pertama karna harta, yang kedua karna keturunan, yang ketiga karna kecantikan, dan keempat karna agama. Keempat perkara itu ada dalam diri dokter Aisyah. Tapi apakah dirinya pantas bersandingkan perempuan sesempurna itu? Sedang diri sendiri hanya seorang yang baru kembali mengenal Tuhan.

"Karna saya sudah kenal bang Ash beberapa bulan ini. Saya bisa menilai mana yang baik untuk diri saya sendiri." Aisyah sudah memantapkan pilihan. Ia sudah melihat kesungguhan Firman dalam menuntut ilmu agama. "Saya ingin mengenal bang Ash lebih dekat lagi."

Firman tersenyum, ia belum bisa memberi jawaban. Apalagi ia belum mengenal keluarga Aisyah. Baginya, restu orang tua adalah yang utama. "Beri saya waktu. Nanti akan saya beri jawaban." Semakin ia belajar, semakin sadar dirinya bodoh. Banyak hal yang perlu di pelajari. Itulah yang di rasakan Firman setiap kali menghadiri mejelis-majelis ilmu. Waktunya banyak di habiskan mendengar ceramah karna kerja Firman memang tidak sesibuk Jack.

"Baiklah. Saya ikhlas ingin menjalin hubungan dengan bang Ash." Keyakinan Aisyah semakin mantap setelah melakukan sholat istikharah beberapa hari yang lalu. Tidak ada keraguan lagi di hati untuk menjadikan Firman sebagai imamnya.

"Terimakasih. Tapi untuk saat ini, biarkan saya selesaikan dulu semua masalah," balas Firman. Dompet di keluarkan dari saku dan mengambil lima lembar uang merah dan di berikan pada Aisyah. "Saya ingin mencicil hutang saya."

"Eh, pegang saja dulu. Mungkin bang Ash masih perlu. Jangan terlalu di pikirkan."

"Insyaallah uang saya masih cukup untuk minggu ini. Dan uang untuk membeli susu Umar juga ada."

Ustad di mesjid tempat Firman menimba ilmu sudah mengumumkan pada jemaah, kalau ada yang ingin memperbaiki ponsel atau leptop bisa menghubungi Firman dan dari sanalah sumber rizkinya masuk sedikit demi sedikit.

***

Setelah 8 tahun lamanya. Rasa rindu itu kembali hadir. Firman tidak dapat melelapkan mata setelah selesai memperbaiki sebuah leptop.  Tubuhnya hanya berbaring di atas ranjang dengan pikiran menerawang jauh.

Ada satu hal dalam hidup yang belum di lakukan.

Bakti seorang anak pada kedua orang tua. Itulah yang mengusik pikirannya.

8 tahun lamanya sejak memutuskan keluar dari rumah karna satu masalah, membuat Firman tidak sanggup menghadapi mereka. Hingga ia memutuskan pergi jauh meninggalkan kampung halaman tempat ia lahir dan di besarkan.

"Belum tidur?"

Firman tersentak melihat Jack telah berbaring di sebelahnya. Nafas panjang di hela dan di hembuskan perlahan. "Jack, aku mau pulang kampung."

Jack mengerutkan kening sambil tangan menopang dagu. Wajah Firman di pandang serius. "Pulang kampung? Kemana?"

"Kerumah orang tuaku. Sudah 8 tahun aku tidak pernah bertemu mereka. Aku rindu mereka. Aku ingin minta maaf pada mereka." Firman tersenyum hambar. Rasanya percuma setiap hari belajar agama, tapi kewajiban sebagai seorang anak tidak di jalani.

"Kapan kau mau pulang kampung. Kebetulan restoran tempat aku kerja akhir minggu ini tutup selama tiga hari. Mereka mengadakan resepsi pernikahan anak mereka." Jack melabuhkan kepala diatas bantal. Satu kamar kosan menjadi tempat mereka beristirahat. Walau tempat itu sempit, tetap terasa lapang karna tinggal dengan sahabat yang sama-sama mengerti.

"Bagaimana kalau Jumat ini," balas Firman.

"Baiklah." Jack tersenyum hambar. "Beruntung kau masih punya orang tua. Sedang aku sudah lama hidup sebatangkara," gumam Jack.

"Jangan sedih, nanti kau juga akan dapat mertua."

Jack tertawa kecil. "Mana ada. Siapa yang mau denganku. Kerja dengan gaji pas-pasan hanya cukup untuk menghidupi diri sendiri. Kalau aku nikah? Aku kasih makan apa istriku nanti? Tanah?"

"Hahaha... Siapa tau kalau kau menikah dengan Nayla, orang tuanya menyuruh kau mengelola restoran Padang itu. Hahaha. Rancak bana. Tambah ciek da," goda Firman.

Jack ikut terkekeh. "Ammin. Doakan saja."

"Pasti. Aku selalu doakan yang terbaik untuk kau. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan kitab itu? Apa kau sudah khatamkan? Aku lihat kau tampak berbeda setalah belajar semua ilmu fardhu ain." Firman bangga dengan perubahan sahabatnya.

"Apanya yang berbeda? Apa kau lihat aku lebih tampan?" Jack terkekeh sendiri.

"Bukan. Tapi dari tutur bahasa dan gaya hidup kau sudah berubah. Itu artinya kau sudah mengamalkan ilmu yang didapat. Lagian kita juga sudah mencari rezeki dari sumber yang halal, pasti keberkahan ilmu yang kita pelajari akan mudah melekat dalam diri. Walau pun kau sibuk. Tapi kau selalu menyempatkan diri belajar kitab itu. Aku bangga. Kau memang layak menikah dengan Nayla."

"Hahaha.. jangan memuji berlebihan, nanti malah jadi ujian untukku. Yang merubah aku Allah. Aku mengerti kenapa Nayla memintaku mempelajari kitab itu. Dia ingin aku lebih mengenal Tuhan dan memegang aqidah yang benar."

"Ya, kau benar. Aku sekarang ada Umar. Nanti aku sendiri yang akan mengajarkan dia kitab fardhu ain. Karna itu adalah kewajiban orang tua, mendidik dan memberi contoh yang baik pada anak."

"Hubungan kau dengan dokter itu bagiamana? Apa kau hanya ingin berteman saja dengan dia?" Jack ingin tahu hubungan sahabatnya dengan dokter cantik itu seperti apa.

"Aku juga belum tau. Saat ini, aku ingin fokus dulu mengajukan permohonan menjadikan Umar sebagai anak angkat. Jika permohonan itu lulus. Aku juga harus melihat tanggapan keluarganya, apa bisa menerima Umar atau tidak. Karna menikah itu bukan hanya aku dan dia saja. Tapi keluarga juga berperan penting . Aku juga belum tau keluarga dia menerimaku atau tidak."

Jack mengangguk tanda mengerti. Ia tahu pernikahan itu bukanlah menyatukan dua hati saja. Tapi menyatukan dua keluarga yang ada. Beruntung lah mereka yang masih memiliki keluarga. Sedang ia sendiri hanya hidup sebatang kara. Akankah keluarga Nayla mau mengambilnya sebagai menantu? Jack pasrah apa pun skenario yang telah Allah buat untuknya. Dari awal ia belajar agama hanyalah untuk dirinya sendiri, agar bisa lebih mengenal penciptaNya. Andaikan Nayla setuju menikah dengannya itu hanyalah bonus yang Allah berikan untuknya.

***

Firman memperhatikan pemandangan yang mereka lalui setelah melewati sebuah gapura, tanda mereka telah memasuki sebuah desa. Semuanya masih sama seperti dulu. Hanya beberapa bangunan saja yang berubah. Warung-warung yang dulunya kecil kini telah berubah jadi bangunan kokoh dan bertingkat. Jalan yang dulunya sedikit berkerikil dan banyak lobang, kini telah hitam dan licin.

Jantung berdetak cepat, ketika merasakan jaraknya dari rumah yang dulu pernah ia tempati semakin dekat. Andai kedua orang tuanya pindah rumah, Firman akan kesulitan mencari mereka.

"Jack, berhenti di sini!" Firman berseru.

Dengan cepat Jack menginjak rem hingga mobil berhenti mendadak.

"Rumah kau yang mana?" tanya Jack setelah mobil berhenti.

"Itu." Firman menunjuk sebuah rumah berdinding papan yang agak besar seperti kebanyakan rumah di desa ini.

"Yang itu?" Jack memastikan.

"Iya, kau tunggu dulu di sini. Nanti aku jemput. Sekarang aku mau masuk dulu." Firman membuka seatbelt, lalu nafas di hela dalam-dalam sebelum turun dari mobil.

Kakinya melangkah pelan sambil mengamati bangunan tua di hadapan. Pagar rumah yang tidak terkunci di dorong saja. Ia terus menapak ke pintu utama. Langkahnya tiba-tiba terhenti. Detak jantung semakin tak menentu ketika mendengar suara di dalam rumah.

Tidak salah, itu adalah suara ibunya.

Tangan diangkat mengetuk pintu rumah.

Tok tok tok

"Assalammualaikum."

Tok tok tok

"Assalamualaikum."

Suara Firman bergema di sana.

"Walaikumsa...." Kalimat itu terhenti ketika mata tua itu menangkap sosok yang di rindukan selama 8 tahun ini.

"A-adik?" Terbata-bata suara tua itu memanggil, seakan tak percaya apa yang di lihatnya. Perlahan kaki wanita paruh baya itu melangkah mendekati pemuda yang berdiri di depan pintu. Tangan yang bergetar di ulurkan menyentuh wajah itu.

Firman mengangguk. Tak sepatah kata yang bisa di ucapkannya. Pandangannya kabur oleh linangan air mata sendiri.

"Ya Allah." Wanita tua itu memeluk erat tubuh yang begitu ia rindukan. Berkali-kali kening Firman juga di kecupnya. 8 tahun ia menahan kerinduan di hati, hari ini ia masih di beri kesempatan untuk memeluk tubuh itu lagi. Alhamdulilah.

"Bunda, adik minta maaf." Kedua belah tangan wanita tua itu di raih lalu di kecup penuh kasih. "Adik minta maaf. Ampunkan adik." Sebelum ada jawaban dari sang bunda. Firman tidak akan pernah berhenti mengucapkan kalimat itu.

"Adik tidak salah." Ibunda Firman menggeleng. Wajah Firman di tangkup dengan kedua belah tangan. "Setiap hari bunda selalu menunggu adik pulang." Air mata semakin deras mengalir membasahi wajah tua itu. Sekali lagi tubuh Firman di peluk untuk memastikan semua yang di lihatnya sekarang bukanlah mimpi.

"Bunda jangan nangis. Adik kan sudah pulang." Firman memaksa menyimpulkan senyum dan menahan tangisnya. Air mata wanita tua yang ikhlas menjaganya di waktu kecil diseka dengan jari-jari.

"Adik sehat?" tanya Halimah. Tubuh putranya di periksa. Tampak lebih berisi dari sebelumnya.

Firman mengangguk. "Sehat. Bunda juga sehatkan?"

"Alhamdulilah bunda sehat. Ayo kita masuk. Ayah sedang makan di dapur. Sekalian kita makan siang sama-sama."

Firman menahan langkah, ia tetap berdiri ketika Halimah menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Adik takut. Ayah masih marah." Firman menunduk. Ia masih takut berhadapan dengan pria tua itu. Tamparan tangan sang ayah di pipinya masih terasa sampai sekarang.

"Ayah tidak marah. Setiap malam ayah duduk di depan menunggu adik pulang. Sudah, jangan takut." Halimah menarik lengan Firman agar putra bungsunya itu masuk kedalam rumah.

Firman menurut. Mereka sama-sama melangkah kedalam rumah. Sebelah lengannya di paut oleh tangan bundanya.

"Adik tunggu di sini dulu. Biar bunda panggil ayah." Lengan putranya di lepaskan.

"Biar adik yang kedapur." Firman menahan tangan bundanya yang akan melangkah.

Halimah mengangguk, lalu menggandeng lengan putranya yang lebih tinggi darinya. Mereka sama-sama berjalan menuju dapur.

Rasa gugup di hati sedikit berkurang ketika lengannya di peluk begini.

Di meja makan, seorang pria paruh baya memandang Firman tak berkedip. Seketika pria yang telah dimakan usia itu berdiri dan berjalan kehadapan Firman. Lama tidak bertemu membuat pria paruh baya itu baru menyadari kalau tinggi putranya sudah melebihi tingginya.

"Adik." Bergetar suara tua itu memanggil.

"Ya, ayah," balas Firman.

Pria paruh baya itu tidak bisa berkata-kata. Bibirnya bergetar menahan tangis.

"Ayah, adik minta maaf." Tangan pria paruh baya itu di raih dan di bawa ke bibir.

Pria paruh baya itu lansung memeluk tubuh Firman. "Ayah yang seharusnya minta maaf. Ayah salah." Tangis yang di tahan lepas begitu saja. Rasa haru begitu kuat mengisi relung hati. Rasa yang sama ketika istrinya melahirkan Firman kedunia, saat itu pria paruh baya itu juga menangis menyambut kehadiran buah cinta mereka.

"Sudah dulu melepas rindunya, sekarang lebih baik kita makan." Halimah bersuara.

"Ya, ayo kita makan sama-sama. Ayah rindu makan dengan adik." Bahar menuntun Firman duduk di salah satu kursi makan.

"Limah, sendokkan nasi untuk anak kita." Perintah Bahar.

Sang istri menurut, satu piring diambil dan di sendokkan nasi kedalamnya. "Adik mau makan pakai apa?" tanya Halimah.

Firman mendongak melihat hidangan yang telah lama tidak pernah di rasa. "Semuanya aja bunda."

Halimah menggelengkan kepala sambil tersenyum kecil. Betapa senang hatinya saat ini. "Oh ya, adik kesini tadi naik apa?"

Firman baru ingat kalau Jack masih diluar. Seketika ia berdiri. "Bunda, teman adik ada diluar. Boleh tidak adik ajak dia makan sekali?"

"Tentu saja boleh. Cepat panggil dia."

***

Banyak hal yang di ceritakan Firman pada kedua orang tuanya, termasuk keberadaan Umar. Anak angkat yang beberapa bulan ini bersamanya.

"Jadi, sekarang di mana anak itu?" tanya Halimah.

"Dia masih berada di panti asuhan. Adik sudah mengajukan permohonan untuk menjadikan dia sebagai anak angkat yang sah. Kalau urusannya sudah selesai, nanti adik bawa dia kesini," balas Firman.

"Baguslah kalau adik ingin menjaga dia. Besar pahala yang adik dapat jika ikhlas merawat anak yatim." Bahar ikut bersuara.

Sedangkan Jack memilih istirahat di kamar tamu. Semalaman pemuda itu begadang agar cepat sampai di kampung Firman.

Sekarang ini Firman, Halimah dan Bahar sedang berada di teras rumah sambil menunggu kehadiran--Farhan, Abang kandung Firman.

Sedikitpun kejadian 8 tahun yang lalu tidak ada diungkit. Kedua orang tua itu tidak ingin merusak moments kebahagian ini. Kembalinya Firman dalam keadaan sehat adalah hal yang paling di syukuri.

Cahaya lampu mobil yang baru memasuki halaman rumah menghentikan obrolan mereka.

Firman menundukkan, ketika melihat seorang pria kisaran 40 tahunan keluar dari mobil beserta seorang wanita berbadan dua. Ia juga mendengar tawa riang anak kecil yang baru turun dari mobil. Kepala diangkat ketika sadar pria yang di takutinya telah berdiri tepat di hadapan.

Walaupun rasa takut itu ada, tapi Firman memberanikan diri juga untuk berdiri dari ayunan santai yang sedang di dudukinya. Sepasang netranya beradu dengan pria yang 11 tahun lebih tua darinya. "Bang Farhan," sapa Firman takut-takut. Kejadian 8 tahun lalu, masih segar di ingatannya.

"Adik dari mana saja? Kenapa baru pulang?" tanya Farhan menahan haru.

"Adik minta maaf," balas Firman dengan kepala menunduk.

"Apa adik tau sudah berapa banyak kota yang Abang datangi mencari adik?"

Firman menggeleng dengan kepala masih menunduk. Ia tidak berani memandang wajah abangnya.

"Lihat Abang," tegur Farhan.  Dari dulu adiknya itu tidak pernah berubah. Selalu saja menunduk jika merasa dirinya bersalah.

Perlahan Firman mengangkat kepala dan melihat wajah abangnya.

Farhan menyunggingkan senyum kecil lalu memeluk tubuh Firman. Tangis Firman kembali pecah di bahu abangnya. Rasa bersalah itu kembali hadir, walau sudah 8 tahun berlalu.

"Abang minta maaf," bisik Farhan. Pria itu menyesal karna tidak bisa mengontrol emosi kala itu. Selama delapan tahun ia terus mencari Firman. Pria itu merasa bersalah karna di sebabkan dirinya sang adik pergi. Andai ia bisa berlapang hati dan ikhlas menerima takdir, mungkin Firman tidak akan pergi kala itu. "Sudah, jangan nangis lagi. Lihat tuh mata, sudah bengkak. Ini pasti bunda yang membuat drama siang tadi." Perut Firman di pukul pelan oleh Farhan.

Firman tertawa kecil sambil menyeka air mata. Kehadiran dua orang anak kecil yang sedang berceloteh dengan Bahar menarik perhatiannya.

"Bang, mereka siapa?" Firman memandang dua anak kecil itu.

Farhan menoleh pada kedua anak kembarnya. "Rasyid, Rasya, sini. Salim dulu sama om Firman."

Si kembar pun berlari mendekati ayahnya. Mereka keheranan melihat lelaki asing yang wajahnya sedikit mirip dengan ayah mereka.

"Ayah, om ini siapa?" tanya Rasyid keheranan. Begitupun dengan Rasha.

"Ini adik ayah. Namanya om Firman," balas Farhan.

Firman berjongkok menyamakan tingginya dengan si kembar, lalu mengulurkan tangan menyambut tangan mereka yang telah di ulur mengajak bersalaman.

"Sejak kapan ayah punya adik?" celetuk Rasyid. Akalnya belum bisa mencerna semua ini.

"Sudah lama. Tapi om Firman tidak tinggal di sini. Nama kamu siapa?" tanya Firman sambil menyambut uluran tangan Rasyid.

"Nama kita Rasha.. Om kawan juga lah sama Rasha." Tangan Firman di raih gadis cantik itu. Celotehan mereka mengingatkan Firman pada Raihan.

"Om, mau main robot-robot sama Rasyid gak? Rasyid punya robot-robot bisa ngomong sendiri loh," celetuk bocah 6 tahunan itu sambil mengeluarkan robot-robot dari dalam tas sandangnya.

"Rasha juga ada boneka berbie om. Mending om main sama Rasha aja deh." Si cantik tidak mau kalah. Boneka berbie di keluarkan juga dari dalam tas sandangnya.

Dering ponsel dalam saku baju membuat fokus Firman terbagi. Ponsel di keluarkan dari dalam saku, siapa tahu ada berita penting.

"Sebentar ya, om angkat telepon dulu." Firman berdiri, lalu menjauh sebelum menjawab panggilan telepon.

"Halo. Assalamualaikum," sapa Firman setelah sambungan teleponnya terhubung.

"Walaikumsalam. Firman, Umar demam panas dari siang tadi."

Kabar yang di sampaikan ibu panti benar-benar membuat Firman cemas.."Sekarang dia dimana?"

"Setelah isya tadi ibu bawa kerumah sakit. Dari siang dia terus saja menangis. Kalau bisa Firman datanglah kesini, dia terus menggigau memanggil ayahnya. Ibu tidak tau bagaimana membujuknya."

"Baiklah, terimakasih, bu. Tolong ibu bujuk dulu Umar sampai saya datang."

"Iya."

Lalu panggilan telepon di putuskan Firman. Ia mendekati bundanya dan duduk di sebelah wanita paruh baya itu.

"Adik kenapa? Kok wajah adik tegang gitu?" Perubahan raut wajah Firman terlihat jelas oleh Halimah.

"Hm, bunda. Tadi ibu panti menelpon adik. Dia bilang, Umar sekarang di rawat di rumah sakit karna demam tinggi."

"Ya Allah. Terus sekarang gimana? Adik mau jenguk dia?"

"Hm...." Sungguh, Firman merasa serba salah. Baru siang tadi ia tiba di kampung ini, masa harus pergi lagi.

"Pergilah. Besok-besok adik masih bisa kesini lagi. Bunda akan tunggu adik pulang." Halimah mengukir senyum.

Farhan yang mendengar obrolan itu mendekat. "Adik mau balik ke kota sekarang?" Farhan menyela. "Baru siang tadi sampai, masa mau pergi lagi?"

"Adik mau menjenguk anak. Dia masuk rumah sakit. Insyaallah dalam waktu dekat adik pulang lagi."

"Adik sudah menikah? Kapan?" Farhan sedikit terkejut mendengar kabar itu.

"Anak angkat. Adik belum menikah."

"Hm, ya sudah. Tapi benar ya, pulang lagi kesini dan bawa sekali calon istri." Walau kecewa, Farhan tetap melontarkan candaan pada adiknya.

"Insyaallah. Itu kak Lia sudah berapa bulan, bang?" Hampir lupa Firman menegur kakak iparnya.

"Sudah jalan tujuh bulan," jawab Farhan.

Firman membalas senyum kakak iparnya yang duduk di sudut. "Selamat ya, bang. Ya sudah, adik mau siap-siap dulu."

1
maya ummu ihsan
karya bagus tp sepi pembaca..sayang srkali..
Sasa Sasa: Gak apa-apa kak. Bukan rezeki mungkin
total 1 replies
maya ummu ihsan
bagus
maya ummu ihsan
bkn kaleng2 nih ternyata firman pernah kuliah kedokteran
Iqlima Al Jazira
kasihan anisa
Iqlima Al Jazira
siapa yang meninggal thor?
oma lina katarina
Lom ngerti nih ceritanya
Iqlima Al Jazira
kejam😡
Sasa Sasa: Biar fealnya dapat
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
jangan terlalu rumit donk thor,
kasian Aisyah 😢
Iqlima Al Jazira
karena mertuanya selalu membandingkan dengan mu. tapi Jack juga keterlaluan pada unar
Iqlima Al Jazira
🤣🤣
®agiel
Masyaa ALLAH....
luar biasa Aisyah dengan ucapannya ya...

karena sebaik baik memohon pertolongan & perlindungan hanya kepada ALLAH SWT saja.

thoyyib Author thoyyib...👍
®agiel
Hahahahaa kejam sekali dokter Fadli ya Thor 🤭
®agiel: saya sih ikutin kata naluri pembaca aja Kaka....hehehee 🤭
Sasa Sasa: 🫢 masa sih?
total 2 replies
®agiel
sungguh memang berat untuk berhijrah menjadi lebih baik & tetap Istiqomah ( taubatan nasuha ), akan tetapi yakin dengan ketetapan ALLAH SWT adalah yang terbaik, tidak ada yang tidak mungkin jika ALLAH SWT sudah berkehendak.

semoga alur di bab ini Author bisa menggiring pembaca, agar bisa juga Istiqomah menjadi pribadi yang lebih baik.

semangat & sehat sehat ya Thor 💪
®agiel: sama sama yaaa...👍
Sasa Sasa: Ammin, makasih kakak🥰
total 2 replies
Usmi Usmi
Nia kan Intel cuma ada kepentingan
Maria Ulfah
update nya lama ya sekarang mah
Sasa Sasa: Dua bab sehari kadang lebih.
total 1 replies
Iqlima Al Jazira
next thor
Sasa Sasa: Oke kak
total 1 replies
Agus Tina
Semoga Togar tidak pernah menemukan mereka kembali ... taunya mereka berdua benar2 sudah tiada ...
Maria Ulfah
update lagi thor seru
Maria Ulfah
update lagi thor seru
®agiel
Dan Menikah itu adalah ibadah terpanjang manusia sampai ajal itu tiba...
Wallahu a'lam bisawwab 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!