Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harga Yang Telah Dibayarkan
Wen Yi menatapku dengan ekspresi rumit. Hal ini pasti menimbulkan rasa penasaran di benak setiap orang apa yang akan Wen Yi lakukan terhadapku selanjutnya. Sekilas dia tampak ingin langsung menghabisiku, sekejap berikutnya dia dalam pertimbangan dengan dirinya sendiri.
Aku melihat sosok pria baik hati dalam diri Wen Yi, setidaknya dia pernah menjadi baik bertahun-tahun yang lalu. Jika dia berniat menghabisiku, dia sudah memerintahkan orang bayarannya melakukannya saat di pasar. Namun dia menginginkanku hidup-hidup. Jika dia ingin melakukannya sendiri, dia tidak akan menjatuhiku hanya seratus cambukan saja.
Dengan mudah Wen Yi melakukan sumpah agar aku mempercayainya. Wen Yi pasti seumur hidupnya berada di lingkungan yang menerapkan peraturan tata tertib dan hukum ketat. Ada sesuatu yang sudah terjadi padanya hingga dia menjadi seperti sekarang ini.
"Kenapa," gumamku. "Kenapa kau berhenti?"
Selain senjata fisik, aku mempercayai bahwa kata-kata juga memiliki kekuatan yang bisa kugunakan sebagai senjata terakhirku. Aku melihat ada kesempatan dalam moment ini dan aku tidak boleh menyia-nyiakannya, namun aku harus tetap berhati-hati, tembok antara rasa ingin membunuh dan belas kasih begitu tipis dan rapuh.
"Lalu, siapa sekarang yang kau lihat?"
Tangan Wen Yi mengepal di sisi tubuhnya. Bibirnya menipis ketika ekspresinya berubah suram. Hingga dia memutuskan untuk menghukumku. Wen Yi menjatuhkan lecutan ke empat puluh delapan...
Bagi yang lain pertanyaan itu tidaklah penting tapi bagi Wen Yi ternyata sangat mengena, seperti yang kuharapkan. Aku telah mengulitinya, mengungkap tentang dirinya.
Aku sudah menunjukkan apa yang ingin Wen Yi lihat tapi selain Wen Yi dan aku tentu hal ini sangat sulit dimengerti bagi yang lainnya. Ketika Wen Yi memberi perintah pada orang-orangnya untuk meninggalkan kedai, mereka semua terlihat bingung karena begitu tiba-tiba dan tidak terduga. Tetapi mereka tetap mengikuti langkah pria itu.
Kebingungan juga melanda orang-orangku tapi mereka lebih kepada lega dan bersyukur karena akhirnya ketegangan ini usai. Ada yang menyampirkan pakaian ke pundakku. Qiu Yue menatapku dengan sendu.
"Mari kita pulang," ucapku.
"Tidak apa, aku sanggup berjalan dengan kedua kakiku, tolong arahkan anak-anak." Aku berkata pada Erlang yang mencoba untuk membantuku.
"Tadinya aku ingin mengumpatmu karena bertindak nekat."
"Aku bukan orang yang bertindak tanpa mempertimbangkan segalanya. Aku tidak akan membuat diriku rugi."
"Tapi apa yang terjadi padanya?" Erlang menatapku, lalu memalingkan wajah. "Aku curiga kau telah melakukan sihir pikiran padanya."
"Kira-kira begitu," jawabku asal-asalan.
Aku melirik dua belas kantong uang di atas meja, dan isinya ternyata memang koin emas dan perak sungguhan. Aku menyerahkannya pada Phoenix.
"Simpanlah."
Phoenix ragu-ragu, "Tidak, itu milikmu."
Aku meraih tangannya.
"Anggap saja itu kompensasiku karena melibatkan kalian semua. Kau bisa gunakan untuk renovasi Gilda."
Qiu Yue datang ke kediamanku dengan semacam racikan dalam mangkuk porselen putih ketika Phoenix merawat lukaku.
"Jangan salah sangka Tuan Administrator, aku tidak membawakanmu bumbu dapur. Aku memang belum memiliki lisensi ahli obat tapi aku tahu banyak racikan obat dari orang tuaku, ini akan membuat lukanya cepat kering."
"Aku pasti percaya sekalipun kak Yue hendak menaburi tepung ke punggungku dengan alasan untuk pengobatan."
"Lihat dia masih bisa bercanda, aku yakin dia akan segera pulih dalam beberapa hari."
Racikan Qiu Yue meresap ke dalam lukaku ketika Phoenix mengoleskannya dengan hati-hati, menimbulkan sensasi dingin dan pedih.
"Aaa aduuh duh."
"Maap, pasti sakit ya," tanya Phoenix.
"Luka luar akan cepat kering, tapi luka di dalam hati akan sulit sembuh. Itulah yang telah terjadi padanya."
"Siapa, Wen Yi?" Phoenix bertanya.
"Sebenarnya siapa yang ingin dihajar Wen Yi?" tanya Qiu Yue.
"Dia beralasan ingin menghajarmu karena kau mirip seseorang, kenapa dia tidak membalasnya langsung pada orang yang bersangkutan, dia malah menyulitkan orang lain."
Phoenix berjalan ke arah meja kecil dan meletakkan mangkuk di sana. "Sudah kuduga dia memang sinting."
"Dia ingin menghajar dirinya sendiri." kataku.
"Yang benar saja, bahkan aku tidak melihat kemiripanmu dengannya, Daru."
"Kedengarannya... itu tidak masuk akal," kata Qiu Yue.
Aku mengangguk. "Itu bentuk ketidak mampuan nya untuk melakukan apa yang dia pikir seharusnya dia lakukan."
Aku menyadarinya di detik terakhir tatapan Wen Yi yang bimbang kala itu. Dia melihatku sebagai cerminan dirinya yang bertubi-tubi dihantam kesakitan, dia mewujudkannya berupa cambukan padaku. Maka aku berusaha menunjukan apa yang ingin kusampaikan padanya tanpa mengungkapkannya langsung dihadapan banyak orang.
Aku tidak ingin Wen Yi menyerah. Meski dia tidak melawan, dia harus berdiri tegak. Aku ingin menunjukan bahwa dia tidak lemah seperti yang dia pikirkan. Namun begitu aku ingin dia berhenti dan kembali ke jalan yang benar tanpa menyimpan dendam dan menjalani hidup dalam kebaikan.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu persis persoalannya. Tapi kita bisa menyusun cerita seperti ini, Wen Yi ingin memberontak terhadap seseorang, namun orang itu adalah orang yang punya kuasa penuh atas hidupnya sehingga dia tidak bisa mengambil langkah sembarangan, misal kepada ayahnya? Atau dia telah dibanding-bandingkan dengan saudaranya yang jenius dan menjadi kebanggaan keluarga sedangkan dirinya sebaliknya?
Ketika dia bicara aku mirip seseorang mungkin aku memang mirip dengan orang itu dari sisi manapun yang Wen Yi lihat. Kita bisa mengambil kesimpulan yang mana saja tidak ada bedanya karena pada akhirnya Wen Yi tetap ingin menghajar orang."
"Jadi itu semacam pemberontakan anak baik-baik lalu berubah menjadi berandalan, begitu?"
"Ya, dan dia bisa melampiaskannya pada siapapun, namun akulah orang yang beruntung."
"Itu sama sekali bukan keberuntungan, Daru."
"Setiap pertemuan seseorang dengan orang lainnya pasti membawa misi dan maksud tertentu. Misi Wen Yi pasti untuk menyerahkan kantong-kantong uang itu padaku."
"Lain kali aku tidak ingin ada hal seperti itu lagi." ucap Phoenix.
"Kenapa?"
"Menurutmu kenapa?"
"Nanti aku bisa cepat kaya?"
Phoenix menatapku datar, jawabanku tidak membuatnya puas. Ketika aku melirik Qiu Yue untuk meminta penjelasan dia juga hanya angkat bahu.
"Apa kau sedang mengkhawatirkanku?"
Phoenix membuang muka, namun Qiu Yue memasang wajah yang bisa kuartikan seperti ini; itu urusan kalian aku tidak mau ikut campur.
"Memangnya kenapa kalau aku khawatir padamu?"
"Tidak apa-apa, hanya saja aku akan memikirkan seribu cara agar bisa melihatmu terus mengkhawatirkanku."
Setelah Qiu Yue pergi dengan alasan tidak tahan mendengar rayuanku, Phoenix juga menyusul. Kini aku sendirian. Aku mengangkat kedua lengan, membiarkan eliksir kehidupan mengalir ke seluruh tubuh untuk menyembuhkan luka ragawi, membingkai sosokku dengan cahaya emas.
masih nyimak