Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Siera tiba di sebuah mall, tempat dia akan bertemu dengan Cindy. Di sampingnya, Rey, seorang pria tampan dengan pembawaan tenang, berdiri setia menemaninya. Sebelumnya, Rey menjemput Siera di Studio Creative dan Cafenya. Meski terkesan sopan dan ramah, ada sedikit kecanggungan di antara mereka. Rey adalah sepupu Cindy, dan dia tidak terlalu mengenal Siera. Faktanya, ini baru kali kedua mereka bertemu.
Cindy yang biasanya menjemput Siera, terpaksa meminta bantuan Rey karena mobilnya sedang berada di bengkel. Tanpa banyak pilihan, Siera setuju dijemput Rey, meski sepanjang perjalanan tadi dia hanya diam, merasa agak canggung berbicara dengan seseorang yang nyaris asing baginya.
Kini, di lantai satu masuk mall, Rey tampak mencoba mencairkan suasana dengan senyuman tipis. “Mau langsung ke tempat Cindy, atau butuh waktu sebentar?” tanyanya dengan nada santai.
Siera, yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri, menoleh. “Kayaknya langsung aja. Cindy udah nunggu, kan?”
Rey mengangguk singkat. “Iya, dia bilang lagi di Café lantai dua katanya.”
Siera mengangguk, tetapi rasa kikuk itu masih terasa. Bagaimana tidak, Rey-dengan postur tegap dan wajah yang bisa dengan mudah menarik perhatian, terlihat sangat kontras dengan dirinya yang merasa biasa saja. Meski begitu, dia tidak ingin terlihat canggung terlalu lama. “Oh iya, makasih banget ya, udah sempet-sempetin jemput. Cindy juga nggak bilang sebelumnya kalau mobilnya lagi di bengkel.”
Rey tersenyum kecil. “Nggak masalah kok. Tadinya aku juga pikir sekalian jemput Cindy, tapi dia udah pergi duluan.”
“Oh, gitu...” Siera mengangguk pelan, lalu memberanikan diri untuk bertanya. “Kerjaan kamu gimana? Nggak apa-apa kamu tinggalin?”
Rey tertawa kecil, suaranya ringan namun menenangkan. “Nggak apa-apa. Masih ada staff lain yang ngurus Coffee Shopnya. Aku cuma tinggal sebentar kok.”
Siera mengangguk lagi, kali ini dengan senyum lebih lebar. Percakapan kecil itu cukup untuk sedikit menghangatkan suasana yang sebelumnya terasa kaku.
Siera tahu, Rey menjalankan bisnis Coffee Shop miliknya sendiri. Hal itu dia ketahui saat pertama kali mereka bertemu, beberapa minggu lalu, ketika Cindy mengajaknya ke Coffee Shop Rey. Waktu itu, Rey hanya menyapa mereka sekilas sebelum kembali sibuk mengurus staf dan pelanggannya.
“Sie, Rey!” suara Cindy memanggil dari kejauhan.
Siera dan Rey serempak menoleh ke arah suara itu. Di dekat salah satu pintu masuk Café, berdiri Cindy dengan senyumnya yang khas. Orang yang sejak tadi mereka cari akhirnya muncul.
“Udah lama nunggunya?” tanya Siera sambil melangkah mendekat.
“Nggak kok, gue juga baru tiba,” jawab Cindy santai. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke Rey. “Sorry ya, Rey. Ngerepotin lo jadinya.”
Rey menggeleng ringan, tampak tidak terganggu sama sekali. “Santai aja kali. Lagi luang juga, jadi sekalian aja.”
Cindy tersenyum lega mendengar jawabannya. Dia tahu Rey bukan tipe orang yang suka mengeluh, tapi tetap saja, dia merasa sedikit bersalah. “Tetap aja, makasih banyak ya.”
Siera, yang berdiri di sebelah Rey, menatap mereka bergantian. Rey tampak begitu santai saat berbicara dengan Cindy, berbeda dengan suasana canggung yang tadi ia rasakan di perjalanan.
Siera dan Cindy berjalan lebih dulu memasuki café itu, sementara Rey mengikuti di belakang mereka dengan langkah tenang.
Cindy, yang berjalan di sisi Siera, menundukkan sedikit kepalanya dan berbisik pelan dengan nada menggoda, “Gimana tadi perjalanannya?”
Siera menoleh dengan tatapan penuh protes, wajahnya sedikit memerah. “Gimana apanya? Canggung banget yang ada,” balasnya lirih, berusaha agar Rey tidak mendengar.
Cindy tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. “Nggak apa-apa, namanya juga baru pertama. Hehe.”
“Bisa diem nggak? Tambah nggak enak tahu,” Siera menatap Cindy dengan pandangan tajam, tapi wajahnya masih menunjukkan rasa malu.
Di belakang mereka, Rey yang mendengar sepenggal percakapan itu hanya bisa tersenyum kecil. Dia sedikit menundukkan kepalanya sambil menggeleng perlahan, mencoba menahan tawa. Tidak berniat ikut campur, Rey hanya membiarkan kedua perempuan itu melanjutkan obrolan mereka.
Saat mereka tiba di meja yang sudah disiapkan, Cindy segera duduk dengan santai, sementara Siera masih berusaha menenangkan dirinya dari godaan kecil Cindy tadi. Rey, yang duduk terakhir, hanya mengamati dengan senyum samar, merasa hiburan kecil itu cukup menghangatkan suasana.
Setelah memesan makanan, mereka kembali berbincang-bincang santai.
“Oh ya, Rey, Coffee Shop lo gimana? Kayaknya makin rame deh. Waktu itu aja pas gue sama Siera ke sana udah rame banget,” ujar Cindy sambil menyeruput minumannya.
Rey tersenyum kecil, seperti mengingat kembali momen itu. “Iya, lumayan rame. Apalagi kalau akhir pekan. Untungnya sekarang udah ada beberapa staf yang bisa gue andalkan, jadi gue nggak harus selalu ada di sana.”
“Wah, keren sih. Suasananya emang cozy banget buat santai,” timpal Siera dengan nada tulus.
Rey menatapnya sekilas dan tersenyum. “Kalau ada waktu luang, kamu mampir aja lagi.”
“Kapan-kapan deh. Aku sama Cindy ke sana lagi,” balas Siera dengan semangat, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya.
Cindy, yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka, tiba-tiba tersenyum penuh arti. “Giliran sama Siera, 'Aku-kamu’. Lah, kalau sama gue, ‘Lo-Gue’ mulu,” ledeknya dengan nada menggoda.
“Cindy!” seru Siera sambil melotot, jelas-jelas tidak percaya dengan apa yang baru saja keluar dari mulut sahabatnya itu. Wajahnya langsung merona.
Rey hanya bisa tersenyum tipis, memilih tidak menanggapi ledekan Cindy. Namun, ekspresinya terlihat lebih santai dan sedikit terhibur.
Cindy tertawa kecil sambil mengaduk minumannya. “Ya ampun, nggak usah malu gitu. Gue cuma bercanda kok.”
Siera memalingkan wajah, berusaha mengabaikan Cindy, tapi tak bisa menyembunyikan senyum kecil yang mulai terbit di sudut bibirnya.
Suasana di antara mereka perlahan menjadi lebih cair. Meskipun ada ledekan dan rasa canggung, percakapan itu justru mendekatkan mereka.
“Eh, btw yah, Sie. Lo jadi ikut reuni SMA angkatan kita nggak?” tanya Cindy tiba-tiba, membelokkan arah pembicaraan.
Siera, yang sedang sibuk mengaduk minumannya, menoleh sambil tersenyum tipis. “Kalau lo ikut, gue juga ikut.”
“Ya kalau gue sih, udah pasti ikut, lah. Kapan lagi bisa ngumpul rame-rame sama yang lain,” balas Cindy dengan nada antusias.
Siera tertawa kecil. “Kalau gitu gue juga ikut, deh. Bareng aja kita nantinya.”
Percakapan itu membuat suasana terasa lebih ringan, tapi tiba-tiba Cindy mendadak diam. Matanya menatap Siera dengan ekspresi sedikit serius, seperti sedang mempertimbangkan sesuatu.
“Tapi, Sie...” ucap Cindy, suaranya terdengar sedikit lebih pelan. Dia menjeda obrolan itu sebentar, membuat Siera penasaran.
“Hm? Tapi apa?” Siera menatap Cindy, keningnya sedikit berkerut.
“Kalau dia datang gimana?” tanya Cindy akhirnya, nada suaranya seperti menyiratkan kehati-hatian.
Siera terdiam sejenak, menyadari siapa yang dimaksud Cindy. Jantungnya mendadak berdegup lebih cepat, meskipun ia berusaha keras untuk tetap terlihat tenang. Betul juga, kalau dia datang bagaimana? Harus bersikap seperti apa kalau bertemu nantinya? Pertanyaan-pertanyaan itu mulai berputar di kepalanya.