Revisi
Ada beberapa hal yang dirasa kurang memuaskan, jadi diputuskan untuk merevisi bagian awal cerita.
Petugas kepolisian Sektor K menemukan mayat di sebuah villa terpencil. Di samping mayat ada sosok perempuan cantik misterius. Kasus penemuan mayat itu nyatanya hanya sebuah awal dari rentetan kejadian aneh dan membingungkan di wilayah kepolisian resort kota T.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bung Kus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tunggak Jarak Mrajak Tunggak Jati Mati
"Perkenalkan namaku Tejo Wahono," ucap Mbah Tejo duduk bersila di dipan dari bambu kuning yang cukup tinggi. Tabah duduk di lantai semen, sehingga terlihat seperti seorang abdi yang menghadap rajanya.
"Saya Tabah Mbah," sahut Tabah menatap kakek tua angkuh di hadapannya. Ada rasa jengkel di hati, kala menyadari Sang Dukun adalah laki-laki congkak yang tidak memuliakan tamunya. Padahal Tabah sudah menyiapkan amplop dengan uang lima ratus ribu di dalamnya.
Bagaimana mungkin Kakek Andre berteman dengan orang se sombong ini? Batin Tabah bertanya-tanya.
"Katakan apa yang bisa kubantu? Apakah kamu butuh mantra penglaris dagangan? Atau mantra agar istri pertama luluh dan memberi ijin untuk menikah lagi?" tanya Mbah Tejo dengan senyumannya yang beraroma tembakau.
"Tidak Mbah. Saya tidak butuh yang demikian itu," sergah Tabah kesal. Ingin rasanya dia berbalik badan, dan keluar dari rumah Sang Dukun congkak.
Mbah Tejo diam sesaat. Dia mengamati tamunya kemudian berdehem sebelum kembali membuka mulut. Terlihat jelas, Kakek tua itu telah salah mengira soal kepentingan kunjungan sang Tamu.
"Apakah ini tentang keluargamu yang sakit?" tanya Mbah Tejo hati-hati.
Tabah menghela napas. Dia merasa gamang, haruskan menjelaskan kedatangannya pada Sang Dukun? Bukankah jika Mbah Tejo benar-benar sakti tentu bisa tahu tujuan Tabah datang ke tempatnya?
"Tidak boleh ada keraguan. Jika sikapku membuatmu ragu akan keputusanmu datang kemari, maka pulanglah. Karena kemantapan hati akan membuat mantra benar-benar bekerja," ucap Mbah Tejo dengan bola matanya yang mengkilat.
Tabah tertegun. Aura dari kakek tua di hadapannya berubah drastis. Apakah sikap yang sebelumnya ditunjukkan pada Tabah adalah sebuah tes untuknya? Atau memang Mbah Tejo memiliki dua kepribadian.
"Sebenarnya anak saya sakit Mbah. Ada semacam koreng yang tiba-tiba muncul di paha kanannya," ujar Tabah memutuskan untuk bercerita. Dia memaksa hatinya untuk yakin seratus persen pada Sang Dukun.
"Selain itu, ada seorang perempuan yang memakai kebaya putih, selalu mengikuti kemanapun saya pergi Mbah. Semua hal yang terjadi bermula saat saya selesai menyelidiki mayat yang ditemukan di sebuah villa terbengkalai. Saya adalah seorang petugas kepolisian," lanjut Tabah. Pengakuannya sebagai seorang polisi sengaja di bagian akhir dengan suara yang lirih karena dia merasa tidak nyaman mengatakannya. Untuk kesekian kalinya batin Tabah mengingatkan jika seorang petugas seharusnya bertindak berdasar akal dan logika bukan malah berkonsultasi pada dukun.
Mbah Tejo diam menyimak. Setelah Tabah menyelesaikan ceritanya, Mbah Tejo beranjak dari duduknya. Dia menyambar bungkusan yang sebelumnya dibawa Tabah dan diletakkan di atas meja. Mbah Tejo tersenyum puas melihat isi dalam bungkusan.
"Rupanya orang yang menyarankanmu datang kemari adalah orang yang benar-benar mengenal diriku," seloroh Mbah Tejo. Laki-laki tua itu melangkah ke bagian belakang rumah.
Tidak berselang lama, Mbah Tejo kembali membawa kendi dan cawan berisi air putih. Bunga yang dibawa Tabah dimasukkan ke dalam cawan.
"Minum air kendhi," perintah Mbah Tejo.
Tabah yang sedikit bingung akhirnya menuruti perintah Sang Dukun. Dia menenggak air di dalam kendhi. Tidak ada yang aneh dari air tersebut. Rasa tawar di lidah ada sedikit sensasi dingin anyep di tenggorokan.
"Sekarang pejamkan matamu," lanjut Mbah Tejo memberi perintah. Sekali lagi Tabah tidak memiliki pilihan kecuali menurut.
Saat memejamkan mata, terasa ubun-ubun Tabah diusap-usap tangan kasar Mbah Tejo. Tanpa peringatan sebelumnya, dua helai rambut Tabah ditarik dan dicabut. Tabah mengaduh karena terkejut.
"Buka matamu, dan diam saja disitu." Mbah Tejo memberi perintah sembari menyulut rokok yang tadi dibawa Tabah.
Mbah Tejo memasukkan helai rambut Tabah ke dalam cawan. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam dengan mata terpejam. Tabah mengamati sembari mengusap-usap kepalanya. Setelah rambutnya dicabut ada sensasi gatal yang tertinggal.
Mbah Tejo menghembuskan asap rokok dari mulutnya ke dalam cawan. Sebuah pemandangan tidak biasa muncul setelahnya. Air dalam cawan tiba-tiba saja beriak dan muncul gelembung seolah mendidih. Tabah yang penasaran melihatnya dengan seksama. Berusaha mencari tahu trik yang digunakan oleh Mbah Tejo.
"Sudah kukatakan padamu. Sebaiknya kamu percaya padaku. Jika ragu dan curiga terhadap orang yang hendak kamu mintai pertolongan, lebih baik pulang dan tidur saja di rumah," gertak Mbah Tejo. Tabah tersenyum kecut.
Mbah Tejo mengamati air di dalam cawan. Dengan ujung telunjuk dia mengaduk-aduk bunga di dalam air. Setelahnya Mbah Tejo berdehem dan menghela napas.
"Kamu telah merusak sesajen," ucap Mbah Tejo datar. Tabah menelengkan kepalanya. Laki-laki itu tampak kebingungan mencerna maksud perkataan Sang Dukun.
"Ayam panggang sesajen, kamu cubit dan sobek pahanya. Tulahnya jatuh pada anakmu, jantung hatimu," jelas Mbah Tejo.
Tabah tertegun. Dia teringat dengan ayam panggang di bawah tudung saji di dalam villa. Tabah memang menyobek bagian paha kanan ayam. Dan luka koreng yang ada di tubuh Siska juga persis berada di paha kanan sebelah luar.
"Tapi saya nggak berniat seperti itu Mbah," sambung Tabah. Dia kini merasa yakin dengan kedigdayaan Mbah Tejo.
"Kemarahan mereka tidak bisa diredam hanya dengan penjelasanmu soal ketidaksengajaan yang konyol. Mereka tidak merasa ada masalah denganmu. Kamulah yang datang dan merusak milik mereka. Tamu tidak diundang yang kurang ajar," sergah Mbah Tejo dengan ekspresi kesal.
"Jika saya salah, lalu apa yang harus saya lakukan?" tanya Tabah tak tahan disalahkan dan dipojokkan.
"Hidup itu mudah. Lakukan yang mesti dilakukan, jika melakukan kesalahan minta maaf. Beres," sahut Mbah Tejo.
Tabah seperti ditampar rasanya. Meski sebenarnya dia juga bingung, bagaimana caranya meminta maaf pada sosok yang bukan manusia? Tabah memilih menahan pertanyaan di hatinya, menunggu penjelasan dari Mbah Tejo.
"Cara meminta maaf pada mereka, kamu perlu menyiapkan sesajen yang sama dengan yang kamu rusak. Letakkan di tempat dimana kamu menemukannya. Bakar kemenyan yang sudah kumantrai, dan katakan permintaan maafmu," jelas Mbah Tejo.
"Ucapkan kalimat permintaan maafmu; Pangucap iku bisa dadi jalaran kebecikan. Pangucap uga dadi jalaraning pati, kesangsaran, pamitran. Pangucap uga dadi jalaraning wirang. Kulo nyuwun pangaksama saking wontene salah panduga punika. Tirukan bersamaku," perintah Mbah Tejo menuntun Tabah menghafal permintaan maafnya.
Setelah Tabah hafal permintaan maaf yang diajarkan, Mbah Tejo meniup-niup kemenyan yang tadi dibawa oleh petugas kepolisian itu. Kemudian memberikannya kembali pada Tabah.
"Lalu, soal villa itu bagaimana Mbah? Perempuan berkebaya putih yang mengikuti saya? Pekerjaan saya untuk beberapa waktu ke depan sepertinya mengharuskan untuk bersinggungan dengan villa. Apakah tidak masalah?" tanya Tabah mengingat pesan dari Andre agar menanyakan soal villa.
"Kurasa selama kamu tidak mengganggu sesajen lagi, tidak akan ada masalah. Semua akan baik-baik saja. Apalagi jika kemenyan yang sudah kumantrai, kamu bakar di villa. Semua yang berada disana akan tertawa bersamaku," ucap Mbah Tejo kembali congkak. Benar-benar seperti orang yang memiliki dua kepribadian. Sekali waktu terasa bijak, di waktu yang lain penuh keangkuhan.
Tabah pun berpamitan setelah memberikan amplop pada Mbah Tejo. Setelah Tabah pergi, Sang Dukun kembali duduk bersila memeriksa cawan yang berisi air, kembang, dan helaian rambut Tabah.
"Airnya berubah hitam keruh. Ada sesuatu yang tidak beres," ujar Mbah Tejo. Laki-laki itu memejamkan mata kemudian mulutnya komat-kamit membaca mantra. Tiba-tiba cairan merah kental mengalir melalui lubang hidungnya.
"Tunggak jarak mrajak tunggak jati mati. Terlalu banyak perkara jelek, nyaris tidak ada hal baik di tempat itu. Hancik! Padahal aku sudah cukup lama di dunia ini, tapi kenapa baru tahu ada tempat se gelap itu di wilayah sini?!"
Mata Mbah Tejo melotot. Dia mengusap mimisan di hidungnya.