"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SURAT YANG TAK PERNAH DI BACA
Pondok pesantren yang dulu terasa damai kini terasa semakin sesak bagi Zilfi. Di antara tawa dan canda teman-temannya, dia merasa semakin tenggelam. Suara liputan kajian dan lantunan ayat-ayat suci tak lagi mampu menenangkan hati yang dipenuhi kebingungan dan kesepian. Setiap hari berlalu tanpa arti, seperti dunia tanpa warna.
Sebenarnya, Zilfi bukanlah anak yang tertutup. Dia selalu berusaha menjadi santri yang baik, rajin mengaji, dan taat pada guru-gurunya. Namun, ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai berubah. Seperti ada kekosongan yang semakin besar setiap harinya. Kekosongan itu semakin mengganggu, hingga akhirnya menjadi beban yang tidak terganggu.
Kehadiran seniornya, Riya, selalu menjadi alasan Zilfi bertahan di tengah semua kebingungan itu. Riya adalah sosok yang karismatik, cerdas, dan sangat dihormati oleh semua santri. Bagi Zilfi, Riya adalah sosok yang sempurna, seseorang yang bisa memberikan jawaban dari semua pertanyaannya. Namun, semakin besar harapannya terhadap perhatian Riya, semakin besar pula kekecewaannya saat perhatian itu diambil darinya.
"Kenapa dia tak pernah melihatku?" gumam Zilfi dalam hati saat dia melihat Riya bercakap-cakap dengan teman-teman seniornya. Zilfi hanya bisa mengamati dari pemandangan, selalu berharap bahwa suatu hari Riya akan mendekatinya.
Suatu sore, setelah kegiatan pesantren selesai, Zilfi duduk sendirian di bawah pohon besar di halaman masjid. Angin menggambarkan lembut, namun tidak mampu menenangkan kegelisahan yang semakin menguat di dalam hati. Di genggamannya ada botol kecil berisi obat penenang yang diberikan dokter ketika dia mengeluh tidak bisa tidur beberapa hari yang lalu.
Zilfi membuka botol itu dengan mengosongkannya. Dia tidak pernah benar-benar berencana meminum lebih dari dosis yang dianjurkan, tapi hari itu rasanya semua batasan yang ada di dalam pikirannya mulai pudar. Seolah ada suara yang membisikkan, “Apa yang kau tunggu? Mungkin ini satu-satunya cara agar Riya memperhatikanmu. Mungkin jika Anda sakit, dia akan khawatir. Dia pasti memperhatikan mu.."
Zilfi menghela napas panjang. Meskipun dia tahu ini bukan solusi, hatinya yang penuh luka dan keputusasaan memaksa pikirannya mengambil jalan pintas. Dia membuka tutup botol itu dengan tangan gemetar, mengambil beberapa pil, lebih banyak dari yang seharusnya, dan menelannya dengan cepat.
Waktu seolah berhenti. Jantungnya mulai berdebar tak karuan, tubuhnya mulai melemas, dan terdengar semakin kabur. Tapi di kepalanya, hanya satu hal yang ia pikirkan: “Riya… Apakah kau akan datang??"
Zilfi pun pingsan dan langsung dibawa ke Rumah sakit.... sesampainya di rumah sakit,tak lama kemudian,Zilfi terbangun dengan tubuh yang terasa berat. Suara-suara di sekitarnya terdengar samar.
“Zilfiiii, kenapa kamu melakukan itu?"
Namun, perhatiannya tidak seperti yang dia bayangkan. Riya tampak marah, kecewa, dan bingung. Alih-alih merasa dekat, Zilfi merasakan jarak yang lebih jauh dengan Riya.
Setelah ustadz pergi, Riya mendekat dan duduk di samping tempat tidur Zilfi. Wajahnya serius, tidak ada senyum atau kelembutan yang pernah Ilham bayangkan
“Kenapa kamu melakukannya, zilfi?” tanya Riya pelan tapi terdengar penuh tekanan. “Apa yang kamu pikirkan tentang hal ini ???"
Zilfi menjawab. Air matanya mulai mengalir, tanpa dia sadari. “ Aku hanya ingin kamu memperhatikan ku.."
Riya menatap Zilfi dengan cara yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah di wajahnya, namun juga amarah yang tertahan.
“Aku memperhatikanmu, Zilfi, Tapi caramu mencari perhatian seperti ini salah. Kau hanya menyakiti dirimu sendiri,” jawab Riya dingin.
Kata-kata itu menembus hati Zilfi seperti pisau tajam. Perhatian yang dia dambakan datang dengan cara yang salah. Dia sadar, tindakan nekatnya tidak menghasilkan apa-apa selain rasa sakit yang lebih dalam.