Diceritakan seorang pemulung bernama Jengkok bersama istrinya bernama Slumbat, dan anak mereka yang masih kecil bernama Gobed. Keluarga itu sudah bertahun-tahun hidup miskin dan menderita, mereka ingin hidup bahagia dengan memiliki uang banyak dan menjadi orang kaya serta seolah-olah dunia ini ingin mereka miliki, dengan apapun caranya yang penting bisa mereka wujudkan.
Yuk simak ceritanya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Si Udin Yang Membara
Setelah Udin dan teman-temannya pergi dari depan rumah Pak Jengkok, suasana di sekitar rumah menjadi sedikit lebih tenang, namun Udin masih tidak bisa menahan kemarahan dan kekesalannya. Mereka berkumpul di pinggir jalan, dengan wajah yang masih merah dan tatapan penuh kemarahan.
"Dasar Gobed, sok pahlawan! Kenapa sih dia bisa pamer PS5 begini?!" gerutu Udin sambil menendang batu di trotoar, yang terlempar jauh ke jalan.
Teman-temannya, yang kini mulai merasa cemas, saling bertukar pandang. Riko, yang merasa tak nyaman dengan suasana tegang itu, mencoba untuk meredakan keadaan. "Din, udahlah. Kita nggak usah ribut sama Gobed. Lagian, dia juga cuma anak biasa. Gak usah dibesar-besarkan."
Namun, Udin tetap tidak mau mendengar. “Gue nggak mau dia merasa menang begitu aja. Lo pikir gampang buat gue ngebiarin dia pamer terus? Gue bakal bikin dia nyesel!”
Anto, salah satu teman Udin, mencoba untuk menenangkan Udin dengan alasan. “Din, kita harus mikirin akibatnya. Kalau kita terus-menerus bikin masalah, yang ada malah kita yang kena masalah. Lagian, kalau sampai orang-orang tahu, kita bisa dianggap jahat.”
Tapi Udin tidak menggubris saran teman-temannya. Ia merasa terhina karena tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkannya. Udin menendang sebuah ember kosong di pinggir jalan, mengeluarkan suara berisik yang menggema di malam hari.
“Kenapa sih semuanya selalu berjalan sesuai kemauan Gobed? Kita harus bikin dia tahu rasa!” teriak Udin dengan marah.
Suasana semakin tegang, dan teman-teman Udin mulai merasa tidak nyaman. Mereka tahu Udin sering kali mudah terpancing emosinya, tetapi kali ini tampaknya kemarahannya meledak lebih besar dari biasanya. Satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah mencoba menenangkan Udin sebelum semuanya semakin buruk.
“Din, tenang dulu. Kalau terus begini, kita malah bikin masalah lebih besar. Coba deh mikir, apa yang sebenarnya mau kita capai dengan semua ini?” kata Riko sambil mencoba mengalihkan perhatian Udin dari kemarahannya.
Udin menarik napas panjang dan menatap temannya dengan tatapan marah. "Gue cuma pengen ngebuktiin kalau gue nggak kalah sama Gobed. Dia pikir bisa seenaknya pamer-pamer, padahal kita juga punya hak buat berbuat sama."
Mereka semua terdiam sejenak, mencoba menyusun pikiran mereka. Sementara itu, Udin masih berdiri dengan tubuh kaku dan wajah merah padam. Ia merasakan campuran antara kemarahan dan rasa malu yang sulit diungkapkan.
“Ya udah, Din,” kata Anto, “kita coba cari cara lain. Lagian, kalau kita terlalu bertindak gegabah, kita sendiri yang rugi.”
Akhirnya, Udin mulai meredakan kemarahannya, meskipun tetap ada sisa rasa jengkel di wajahnya. Ia memandang teman-temannya, merasa sedikit malu karena semua ini. “Oke, oke. Tapi jangan pikir ini selesai. Gue tetap nggak akan biarin Gobed berlagak begitu terus.”
Teman-temannya merasa lega bahwa suasana bisa sedikit mereda. Mereka pun mulai melangkah pulang, meskipun perasaan masih bercampur aduk di hati mereka. Udin, dengan rasa marah yang masih tersisa, berjalan di depan dengan langkah berat, sementara teman-temannya mengikuti dari belakang dengan hati-hati.
Di malam yang tenang itu, di depan rumah Pak Jengkok, suasana kembali normal. Keluarga Pak Jengkok melanjutkan aktivitas mereka dengan tenang, tanpa menyadari ketegangan yang terjadi di luar rumah mereka. Namun, di dalam hati Gobed dan keluarganya, mereka tetap waspada dan siap menghadapi apa pun yang mungkin akan datang.
Hari-hari ke depan, mereka berharap agar kedamaian dapat terus terjaga, sementara Udin dan teman-temannya mulai menyadari pentingnya mengatasi masalah dengan cara yang lebih bijaksana dan tidak gegabah.
Esok hari, pagi yang cerah menyambut para siswa SD yang bersiap memulai aktivitas belajar. Di halaman sekolah, Gobed dan Udin, keduanya kini sudah duduk di bangku kelas 6 SD, secara tidak sengaja bertemu. Keduanya berjalan menyusuri trotoar dengan langkah cepat, masing-masing terbenam dalam pikirannya sendiri.
Saat mereka berpapasan, mata mereka bertemu, dan langsung ada ketegangan yang mengisi udara di antara mereka. Udin, yang masih menyimpan rasa kesal dari malam sebelumnya, melirik Gobed dengan tatapan sinis. Sementara itu, Gobed, dengan senyum yang agak sinis, membalas tatapan Udin. Tiba-tiba, suasana tenang di halaman sekolah berubah menjadi sedikit tegang.
Udin memulai, “Eh, Gobed. Lagi pamer PS5 ya? Lagi gila main TikTok?”
Gobed yang tengah berusaha menjaga kesantunan, mengangkat alis dan menjawab, “Ah, Udin. Kamu masih aja cemburu ya? Emang ada yang salah dengan punya barang bagus?”
Udin tidak bisa menahan diri. “Cemburu? Gue cuma nggak suka liat lo sombong terus. Lagian, lo kira orang-orang di sini nggak sadar?”
Perdebatan kecil ini semakin memanas. Keduanya mulai saling berteriak, dan suara mereka mulai menarik perhatian teman-teman sekelas serta beberapa guru yang berada di sekitar.
Salah satu guru, Bu Ani, yang terkenal dengan cara mengatasi masalah dengan penuh kesabaran dan humor, mendekati mereka. Wajah Bu Ani terlihat serius, tapi ada senyum tipis di bibirnya. “Ada apa ini, anak-anak? Kenapa pagi-pagi sudah berdebat?”
Udin dan Gobed, yang tidak ingin menambah masalah, berusaha meredakan nada suara mereka. Namun, ketegangan masih terasa. Gobed mencoba menjelaskan, “Bu, Udin ini masih aja ngotot soal PS5. Padahal saya cuma berbagi kebahagiaan.”
Udin tidak mau kalah, “Bu Ani, Gobed itu sombong banget! Sering banget pamer barangnya. Kita juga kan mau jadi sama kayak dia!”
Bu Ani, melihat ketegangan yang ada, memutuskan untuk menggunakan pendekatan humor. “Oke, oke. Jadi, begini, kalian berdua. Kita tahu bahwa persaingan itu bisa membuat kalian bersemangat, tapi apa kata kalian kalau hari ini kita bikin lomba memasak di dapur sekolah? Syaratnya, tidak boleh ada yang pamer, yang penting adalah berbagi kebahagiaan.”
Keduanya memandang Bu Ani dengan heran. “Lomba memasak?” tanya Gobed, bingung.
“Betul! Dan jangan khawatir, nanti saya yang jadi juri. Kalau ada yang menang, akan dapat penghargaan dan… eh, mungkin bisa jadi video viral di TikTok juga!” Bu Ani menambahkan dengan senyum nakal.
Suasana mulai mereda. Gobed dan Udin saling melirik, lalu perlahan-lahan tersenyum. Udin akhirnya angkat bicara, “Oke, Bu. Kalau ada lomba, gue siap.”
Gobed mengangguk. “Saya juga siap, Bu.”
Bu Ani menyambut baik keputusan mereka dan mengajak mereka untuk segera menuju dapur sekolah. “Ayo, kita mulai. Dan ingat, yang penting bukan hanya hasil akhirnya, tapi juga bagaimana kalian bekerja sama. Ini kesempatan bagus untuk belajar saling menghargai.”
Dengan suasana hati yang lebih ringan, Gobed dan Udin berjalan bersama menuju dapur, diikuti oleh teman-teman mereka yang penuh antusias. Selama perjalanan, mereka mulai saling bercanda dan tertawa, sedikit mengurangi ketegangan yang sebelumnya ada.
Di dapur sekolah, mereka mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk lomba memasak. Sementara Bu Ani, dengan segala kebijaksanaannya, mengawasi dengan cermat dan sesekali memberikan komentar lucu yang membuat suasana semakin ceria.
Selama lomba memasak, Udin dan Gobed bekerja dengan tekun. Meskipun terkadang mereka saling bersaing dengan cara yang lucu, keduanya mulai merasakan semangat kebersamaan. Ketika hasil akhir akhirnya dinilai oleh Bu Ani, suasana terasa sangat hangat.
“Baiklah, semuanya sudah selesai. Dan… saya sangat terkesan dengan usaha kalian,” kata Bu Ani sambil memberikan pujian kepada keduanya. “Kalian berdua menunjukkan semangat yang luar biasa, dan untuk itu, kalian berdua layak mendapatkan penghargaan!”
Bu Ani memberikan dua medali kepada Gobed dan Udin, yang langsung disambut dengan tepuk tangan dari teman-teman mereka. Momen tersebut menjadi salah satu kenangan yang tak terlupakan bagi keduanya, dan ketegangan yang semula ada kini berubah menjadi persahabatan dan saling pengertian.
Ketika sekolah berakhir, Gobed dan Udin saling berjabat tangan, dengan senyum yang tulus. Mereka menyadari bahwa persaingan yang ada tidak perlu menjadi sesuatu yang negatif. Sebaliknya, hal itu bisa menjadi kesempatan untuk tumbuh dan belajar satu sama lain.
Dengan suasana hati yang lebih baik, mereka pulang ke rumah masing-masing dengan perasaan yang lebih lega, siap menghadapi tantangan berikutnya dengan semangat baru.
Setelah lomba memasak yang penuh warna dan kebersamaan, Udin dan Gobed mulai merasakan perubahan yang signifikan dalam hubungan mereka. Keduanya menyadari bahwa persaingan yang semula membuat mereka saling berjarak kini berubah menjadi kesempatan untuk saling memahami dan menghargai satu sama lain.
Hari-hari berikutnya di sekolah, Udin dan Gobed tidak lagi saling beradu argumen. Sebaliknya, mereka mulai berbagi cerita dan pengalaman, bahkan saling membantu dalam pelajaran. Ketika Udin menghadapi kesulitan dalam matematika, Gobed dengan senang hati membantu menjelaskan konsep yang sulit. Sebaliknya, ketika Gobed butuh teman untuk berlatih untuk ujian, Udin selalu ada untuk mendukung.
Suatu hari, saat mereka duduk bersama di kantin sekolah, Udin mengeluarkan kotak kecil dari tasnya dan menyerahkannya kepada Gobed. “Ini untuk kamu,” katanya sambil tersenyum.
Gobed membuka kotak tersebut dan menemukan sebuah gantungan kunci berbentuk piala dengan ukiran “Sahabat Terbaik” di atasnya. “Wow, makasih, Udin! Tapi kenapa piala?”
Udin tertawa. “Karena kamu itu juara dalam banyak hal, termasuk jadi sahabat yang baik.”
Gobed tersenyum lebar. “Sama-sama. Kamu juga sahabat terbaikku.”
Kedua sahabat ini kemudian merayakan persahabatan baru mereka dengan cara sederhana namun penuh makna. Mereka pergi ke warung Pak Jengkok dan Bu Slumbat untuk makan bersama, mengingat semua perubahan yang telah terjadi dalam hidup mereka.
Pak Jengkok dan Bu Slumbat, yang kini sudah sangat akrab dengan keduanya, menyambut mereka dengan hangat. “Nah, ada apa ini?” tanya Pak Jengkok dengan senyum lebar.
“Cuma mau ngucapin terima kasih dan makan bareng,” jawab Gobed sambil menunjukkan gantungan kunci yang baru.
Bu Slumbat tertawa dan berkata, “Wah, sahabat sejati! Gitu dong, saling mendukung!”
Malam itu, mereka menikmati hidangan lezat sambil bercerita tentang segala hal yang sudah mereka lalui. Suasana penuh canda tawa dan kebahagiaan. Udin dan Gobed kini menyadari bahwa persahabatan yang kuat tidak hanya dibangun dari persaingan, tetapi juga dari saling pengertian, dukungan, dan kebersamaan.
Di akhir makan malam, Udin dan Gobed berpisah dengan pelukan hangat. Mereka berjanji untuk terus mendukung satu sama lain dan menjaga persahabatan mereka. Dengan semangat baru, mereka pulang ke rumah masing-masing, siap menghadapi tantangan berikutnya dengan keyakinan bahwa mereka tidak lagi sendirian.
Hari-hari ke depan menjadi penuh warna dengan kebersamaan dan dukungan dari kedua sahabat yang kini tak terpisahkan. Mereka tidak hanya berhasil memperbaiki hubungan mereka, tetapi juga menciptakan kenangan indah yang akan mereka ingat selamanya.