(Revisi)
Merasa akhirnya bebas dari ikatan pernikahan dengan Elsa, wanita pilihan orangtuanya, Edward, berniat menata ulang hidupnya dan membangun rumah tangga bersama Lily, sang kekasih.
Namun tanpa disadari saat tangannya menggoreskan tandatangan di atas surat cerai, bukan sekedar perpisahan dengan Elsa yang harus dihadapi Edward tapi sederetan nasib sial yang tidak berhenti merudungnya.
Tidak hanya kehilangan pekerjaan sebagai dokter dan dicabut dari wasiat orangtuanya, Edward mendadak jadi pria impoten padahal hasil pemeriksaan dokter, dirinya baik-baik saja.
Ternyata hanya Elsa yang mampu mengembalikan Edward menjadi pria sejati tapi sayangnya wanita yang sudah terlanjur sakit hati dengan Edward, memutuskan untuk menikah kembali dengan Erwin, adik iparnya.
Apakah Edward akan memaksa Elsa kembali padanya atau memutuskan tetap menjadi pria mandul dan menikahi Lily ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbincangan dari Hati ke Hati
“Elsa !”
Edward menahan lengan Elsa namun tidak berani terlalu lama karena masih khawatir miliknya bereaksi seperti biasa.
“Tidak ada gunanya menunda-nunda, bisakah kita bicara sekarang ? Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan dan ceritakan padamu.”
“Untuk apa ? Tidak ada gunanya membahas yang sudah berlalu sementara tidak ada masa depan untuk kita berdua.” Elsa menatap Edward dengan wajah datar.
“Tiga hari terkahi ini aku sudah banyak berpikir tentang kita, maaf karena aku sudah banyak menyakitimu selama ini. Kalaupun akhirnya kamu lebih berjodoh dengan Erwin, hidup kita tetap akan saling berhubungan sebagai saudara ipar jadi sebaiknya kita selesaikan semua kesalahpahaman sebelum kalian menikah.”
Elsa terdiam, entah harus merasa kecewa atau bahagia. Ada sebagian dari hati kecil Elsa yang berharap Edward bukan hanya menyesal tapi berjuang untuk mendapatkan kembali cinta Elsa namun semuanya hanyalah angan-angan, Edward tidak akan pernah bisa mencintainya.
Keduanya duduk berhadapan di meja makan dengan secangkir teh panas di hadapan Edward dan susu ibu hamil untuk Elsa.
“Saat kamu pergi dari apartemen rasanya ada sesuatu yang hilang, mungkin karena setahun lebih kita terbiasa hidup bersama meski jarang bicara. Tidak ada sarapan yang menungguku sebelum berangkat ke rumah sakit bahkan aku sampai kehabisan pakaian bersih karena selama ini kamu yang menyiapkannya untukku,” ujar Edward sambil tertawa pelan.
“Benar apa yang dikatakan orang, setelah tiada kita baru sadar betapa pentingnya seseorang yang kita abaikan. Maafkan aku El karena tidak pernah memperlakukanmu dengan baik dan menganggap semua tugasmu itu sebagai bayaran karena kamu sudah mendapatkan tempat tinggal yang layak dan diijinkan menikahiku. Aku tidak tahu kalau apartemen itu justru milikmu bukan daddy.”
Elsa tidak menjawab hanya tersenyum getir dan enggan membalas tatapan Edward.
“Maaf karena selalu menganggapmu sebagai sumber kesialanku padahal setelah aku berpikir lebih jernih, semua kekacauan terjadi karena kesalahanku sendiri yang sering tidak teliti, sering menyepelekan sesuatu dan buta oleh cinta pada Lily. Begitu mudah dia berpaling dariku El, tidak lama setelah aku dinyatakan tidak berhak menjadi penerus daddy dan hak warisku dialihkan padamu.”
“Jadi dokter berubah pikiran ingin mempertahankan pernikahan ini karena sudah ditinggal dokter Lily ditambah masalah warisan dan keturunan ?” Elsa tersenyum sinis tapi Edward menggeleng sambil tersenyum tanpa emosi.
“Keturunan iya tapi warisan tidak, El. Entah kamu percaya atau tidak, aku benar-benar bahagia karena di saat dokter menyatakan aku impoten meski sementara, aku mendapat berita kalau kamu sedang hamil anakku. Kebahagiaanku tidak bisa digambarkan dengan kata-kata apalagi wanita itu adalah kamu, istri sahku.”
Elsa tersenyum miring lalu menghela nafas, terlihat ada luka di wajahnya yang membuat Edward langsung tahu penyebabnya.
“Maaf atas perbuatanku dengan Lily padahal kita sudah menikah. Aku yakin semua itu pasti sangat menyakiti hatimu, tapi aku berani bersumpah demi apapun kalau…..”
Elsa mengangkat telapak tangannya menyuruh Edward tidak usah melanjutkan kalimatnya.
“Tidak usah membahas detil masalah itu ! Sudah cukup saya melihatnya lewat rekaman CCTV,” ketus Elsa.
“”Maafkan aku Elsa karena kamu harus membereskan masalah CCTV itu demi menjaga nama baikku dan daddy.”
“Mengucap seribu kali maaf sangat mudah dokter tapi melupakan sesuatu yang menyakitkan tidak segampang itu apalagi sudah menorehkan luka yang tidak mudah sembuh.”
“Aku tidak akan memaksamu untuk memaafkan apalagi menerimaku kembali.”
Elsa tertawa pelan dengan ekspresi wajah penuh kepahitan. “Bagus kalau dokter sadar.”
Suasana sempat hening, keduanya sama-sama menatap ke arah gelas yang ada di hadapan mereka.
“Apakah kamu mencintai Erwin, El ?” Elsa mendongak, menatap Edward dengan senyuman sinis.
“Saya sudah mengalami bagaimana rasanya disia-siakan ddalam hidup perkawinan jadi saya pastikan tidak akan membiarkan kak Erwin merasakan apa yang pernah saya alami.”
Edward tertawa getir sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apa nanti anak kita masih boleh memanggilku papi atau daddy atau apapun yang tentu saja dibedakan dari Erwin.”
“Saya harus membicarakannya dulu dengan kak Erwin.”
Elsa menghabiskan susunya dan bersiap-siap beranjak bangun.
“Elss, boleh aku tanya sesuatu ?”
Elsa menyipitkan mata dan duduk kembali, menunggu Edward mengucapkan pertanyaannya.
“Boleh tahu kenapa dulu kamu memaksa harus aku yang menjadi suamimu bukan Erwin ?”
“Balas budi,” sahut Elsa cepat. “Saya ingin membalas kebaikan keluarga dokter yang sudah menampung saya setelah jadi yatim piatu dan secara khusus saya memilih dokter karena anda pernah menyelamatkan nyawa bapak meski akhinrya Tuhan berkehendak lain.”
“Yakin hanya itu ?” tanya Edward sambil tersenyum membuat Elsa menautkan alisnya.
Tidak hanya itu saja dokter. Pertama kali saya mulai merasakan yang namanya cinta saat dokter berpamitan pada warga karena sudah menyelesaikan masa koas di klinik. Tapi saya sadar kalau perasaan itu pasti bertepuk sebelah tangan karena dokter bagaikan bintang di langit yang susah digapai.
“Elsa !”
Lamunan Elsa langsung buyar dan membalas tatapan Edward yang kelihatan sangat berbeda 5 hari terakhir ini.
“Kamu mikirin apa ?” Elsa menggeleng.
“Saya yakin !” tegas Elsa namun Edward malah tertawa.:
“Maaf bukan bermaksud menertawakan jawabanmu tapi firasatku mengatakan ada yang lain. Setahun tinggal bersama dalam satu atap membuatku sedikit mengenal kepribadianmu. Kamu wanita yang keras tapi bukan tipe orang yang suka merebut milik orang lain.”
“Lalu jawaban apa yang dokter harapkan ?” tantang Elsa.
“Cinta mungkin,” sahut Edward sambil terkekeh.
Mata Elsa membola dan wajahnya ditekuk tapi jantungnya mulai berdebar melihat Edward banyak tersenyum dan tertawa selain itu nada bicaranya tidak ada ketus-ketusnya bahkan tatapan mata Edward tidak lagi memancarkan rasa penyesalan dan kebencian.
“Aku baru sadar kalau bisa cemburu juga padamu. Rasanya tidak nyaman melihatmu ngobrol sambil bercanda dengan si Gilang tadi padahal selama ini kamu sangat kaku padaku. Apa dia sungguh-sungguh mantan kekasihmu ?”
“Apa perkataan saya di mobil kurang jelas ?”
“Jangan berbohong Elsa, lupa kalau sedang hamil ? Mommy pernah bilang padaku kalau sebetulnya tidak tega memaksamu memilih antara aku dan Erwin karena kami berdua bukan laki-laki polos sedangkan kamu pacaran saja belum pernah.”
“Kalau sudah tahu jawabannya kenapa tanya ?” ketus Elsa.
“Karena aku ingin mendengarnya langsung dari mulutmu.”
Melihat Edward lagi-lagi tertawa menggodanya, Elsa melengos sebal, beranjak dari kursinya dan membawa gelas kotor ke dapur.
“Apa tidak ada sesuatu yang ingin kamu katakan atau mungkin kamu tanyakan padaku ? Sepertinya sejak tadi hanya aku yang bicara.”
“Tidak ada. Sudah saya katakan kalau tidak akan ada cerita masa depan buat kita jadi meluruskan yang lalu tidak ada gunanya. Masalah kita akan jadi saudara ipar itu urusan nanti !”
Elsa buru-buru melap tangannya yang basah dan meninggalkan dapur tapi lagi-lagi tangannya ditahan oleh Edward yang sejak tadi sudah berdiri di belakangnya.
“Kalau aku memohon untuk diberikan kesempatan kedua, apa kamu masih bisa membuka pintu maaf untukku ?”
Mata Elsa melotot dan tanpa ragu kepalanya menggeleng membuat Edward tersenyum getir lalu melepaskan pegangannya.
“Semoga kamu berbahagia dengan Erwin.”
Elsa tidak menjawab malah buru-buru naik ke kamarnya.
dasar sundel bolong