No action
No romansa
Masuk ke dalam novel❎
Melompati waktu karena penyesalan dan balas dendam ❎
Orang stress baru bangun✅
*****
Ini bukan kisah tentang seorang remaja di dunia modern, ini kisah pangeran tidur di dunia fantasi yang terlahir kembali saat ia tertidur, ia terlahir di dunia lain, lalu kembali bangun di dunianya.
-----------------
"Aku tidak ingin di juluki pangeran tidur! Aku tidak tidur! Kau tau itu?! Aku tidak bisa bangun karena aku berada di dunia lain!" -Lucas Ermintrude
******
Lucas tidak terima dengan julukan yang di berikan oleh penulis novel tanpa judul yang sering ia baca di dunia modern, ia juga tidak ingin mati di castil tua sendirian, dan ia juga tidak mau Bunda nya meninggal.
-------------------
"Ayah aku ingin melepaskan gelar bangsawan ku, aku ingin bebas."-Lucas Ermintrude
"Tentu saja, tidak."-Erick Hans Ermintrude
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lucapen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 31
Beberapa hari berlalu, tetapi perasaan aneh itu tidak juga menghilang.
Lucas berusaha mengabaikannya, mencoba menjalani kesehariannya seperti biasa. Namun, setiap kali ia melihat ibunya, rasa gelisah di dadanya semakin kuat. Ada sesuatu dalam sorot mata Luciana—kelembutan yang lebih dalam dari biasanya, seolah-olah ia menyimpan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan.
Hari itu, saat Lucas berjalan melewati koridor istana, ia melihat ibunya sedang duduk di taman, memandang bunga-bunga yang bermekaran dengan tatapan kosong. Itu bukan ekspresi yang biasa ia lihat dari sang permaisuri.
Tanpa berpikir panjang, Lucas melangkah mendekat. “Bunda?”
Luciana tersentak sedikit, lalu menoleh dengan senyum lembut. “Lucas. Apa kau baru selesai belajar?”
Lucas mengangguk, lalu duduk di sebelah ibunya. “Apa yang sedang Bunda pikirkan?”
Luciana terdiam sesaat sebelum menggeleng pelan. “Tidak ada, hanya menikmati udara segar.”
Lucas menatapnya dalam diam. Ibunya tidak terlihat seperti sedang menikmati udara segar—justru sebaliknya. Wajahnya sedikit pucat, dan tatapannya menerawang, seolah pikirannya ada di tempat lain.
“Aku merasa Bunda tidak sejujur itu,” kata Lucas akhirnya.
Luciana tersenyum tipis. “Kau terlalu pintar, Nak.”
Lucas menunggu, berharap ibunya akan mengatakan sesuatu. Namun, Luciana hanya menatap hamparan bunga di depannya tanpa melanjutkan.
“Bunda…” Lucas ragu-ragu sebelum akhirnya berkata, “Kalau ada sesuatu yang mengganggu Bunda, aku ingin tahu.”
Luciana menghela napas pelan, lalu mengulurkan tangan dan membelai rambut Lucas lembut. “Kau tidak perlu mengkhawatirkan Bunda, Sayang.”
“Tapi aku tetap merasa harus khawatir,” Lucas menimpali cepat. “Sejak aku bangun beberapa hari lalu, aku merasa ada yang tidak beres, tapi tidak ada yang mau memberitahuku. Sekarang, Bunda juga terlihat tidak sehat. Apa ini semua berhubungan?”
Luciana tersenyum, tetapi senyum itu tidak sepenuhnya sampai ke matanya.
“Ada hal-hal yang lebih baik tidak kau ketahui, Lucas,” katanya pelan.
Lucas mengerutkan kening. “Kenapa?”
Luciana tidak menjawab. Ia hanya menatap anaknya dalam diam, seolah-olah sedang menimbang sesuatu dalam pikirannya.
Saat itu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Lucas menoleh dan melihat salah satu pelayan pribadi ibunya datang membawa nampan berisi cangkir teh.
“Yang Mulia, ini teh Anda.”
Luciana tersenyum dan mengambil cangkir itu. Lucas memperhatikan ibunya dengan saksama. Saat Luciana mengangkat cangkir itu ke bibirnya, jari-jarinya sedikit gemetar.
Lucas menyipitkan mata.
“Bunda sakit, kan?”
Luciana tersentak, hampir menjatuhkan cangkirnya.
Lucas menegakkan punggungnya. “Aku tidak bodoh. Bunda terlihat lebih lemah dari biasanya. Tangan Bunda gemetar, wajah Bunda sedikit pucat, dan yang paling mencurigakan, semua orang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku.”
Luciana terdiam.
Lucas menggenggam tangan ibunya. “Tolong katakan yang sebenarnya.”
Luciana menatap anaknya dengan ekspresi lembut, tetapi di balik kelembutan itu, ada kesedihan yang dalam. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, suaranya nyaris berbisik.
“Bunda baik-baik saja, Lucas. Hanya sedikit kelelahan.”
Lucas tidak percaya begitu saja.
Namun, sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, suara lain menyela pembicaraan mereka.
“Apa aku mengganggu?”
Lucas menoleh dan melihat ayahnya, Kaisar Erick, berdiri tidak jauh dari mereka.
Luciana tersenyum kecil. “Tentu saja tidak.”
Erick menatap Lucas sekilas sebelum berkata, “Lucas, ikut aku sebentar.”
Lucas ragu, tetapi akhirnya mengangguk dan bangkit. Sebelum pergi, ia menatap ibunya sekali lagi.
“Kita belum selesai bicara,” katanya tegas.
Luciana hanya tersenyum.
Saat Lucas berjalan di samping ayahnya, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan wajah ibunya yang tampak semakin lemah.
Ada sesuatu yang ibunya sembunyikan.
Dan Lucas bertekad untuk mencari tahu apa itu.
Malam itu, Lucas berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit dengan pikiran yang penuh. Ia sudah mencoba memejamkan mata berkali-kali, tapi rasa gelisah tidak juga hilang.
Pikirannya terus kembali ke ibunya.
Ada sesuatu yang berbeda dari Permaisuri Luciana sejak ia terbangun dari tidurnya beberapa hari lalu. Senyumnya masih sama, kelembutannya masih sama, tapi Lucas bisa merasakan ada sesuatu yang ia sembunyikan.
Lucas menghela napas, lalu berguling ke samping, menatap bayangan bulan yang masuk melalui jendela kamarnya.
Sejak kecil, ibunya selalu menjadi sosok yang tenang dan penuh kasih sayang. Tidak peduli seberapa sibuknya atau seberapa banyak tekanan yang ia hadapi sebagai permaisuri, Luciana selalu memiliki waktu untuknya. Namun, belakangan ini, ada sesuatu yang berubah.
Lucas bisa merasakannya.
Tadi pagi, saat mereka sarapan bersama, ibunya beberapa kali kehilangan fokus. Ia menatap kosong ke arah cangkir tehnya, lalu tersenyum tipis seolah menyadari Lucas memperhatikannya.
Dan tadi siang, saat Lucas melewati ruang kerja Kaisar, ia sempat melihat ibunya berdiri di depan jendela, menatap langit dengan ekspresi yang sulit diartikan. Saat Lucas mendekat, Luciana langsung tersenyum seperti biasa, seolah tidak terjadi apa-apa.
Tapi Lucas tahu lebih baik.
Ibunya menyembunyikan sesuatu.
Lucas bangkit dari tempat tidurnya, duduk bersandar di kepala ranjang sambil menghela napas panjang. Ia ingin bertanya langsung, tapi… jika ibunya tidak ingin membicarakannya, apakah ia harus memaksa?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Pikirannya terus berputar, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang tidak bisa ia jawab. Ia bahkan tidak menyadari berapa lama ia sudah terjaga.
Sampai akhirnya, sebuah ketukan lembut di pintu membuyarkan lamunannya.
Lucas menoleh. “Siapa?”
Pintu terbuka sedikit, dan sosok yang ia pikirkan sepanjang malam itu muncul di ambang pintu.
“Bunda?”
Luciana melangkah masuk dengan tenang. Rambut panjangnya tergerai, dan gaun tidurnya yang sederhana membuatnya terlihat lebih lembut dari biasanya.
“Kau belum tidur?” suara ibunya terdengar lembut seperti biasa, tapi ada sedikit kelelahan di dalamnya.
Lucas menelan ludah. “Aku tidak bisa tidur.”
Luciana tersenyum kecil, lalu duduk di tepi tempat tidur Lucas. Ia mengulurkan tangan, membelai rambut anaknya dengan lembut seperti yang selalu ia lakukan sejak kecil.
“Kenapa?” tanyanya.
Lucas ragu sejenak, sebelum akhirnya berkata jujur. “Aku memikirkan Bunda.”
Luciana tampak sedikit terkejut. “Memikirkan apa?”
Lucas menatap ibunya dalam diam. Ia ingin bertanya langsung—apa yang terjadi? Apa yang Bunda sembunyikan? Tapi saat melihat wajah lembut itu, kata-kata itu terasa sulit diucapkan.
“Bunda terlihat… berbeda,” katanya akhirnya.
Luciana tersenyum tipis, lalu mengusap pipi Lucas dengan penuh kasih sayang.
“Aku baik-baik saja, Sayang,” katanya pelan. “Jangan terlalu mengkhawatirkanku.”
Lucas ingin percaya, tapi ia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh di dadanya.
Ia menggenggam tangan ibunya dengan erat. “Bunda pasti tahu aku tidak akan percaya begitu saja, kan?”
Luciana terdiam sesaat, sebelum akhirnya tersenyum lelah. Ia menundukkan kepala, menatap jemari mereka yang saling menggenggam.
“Maaf,” katanya pelan.
Lucas tertegun.
Luciana mengangkat kepalanya lagi dan menatap Lucas dengan penuh kelembutan. “Aku tidak ingin kau khawatir, Lucas. Aku hanya… butuh waktu.”
Lucas tidak menjawab. Ia tahu ibunya tidak akan mengatakan lebih dari itu, tapi setidaknya sekarang ia tahu bahwa perasaan anehnya bukan sekadar imajinasi.
Ada sesuatu yang terjadi.
Ia hanya harus menunggu ibunya siap untuk menceritakannya.
Luciana akhirnya bangkit, membelai rambut Lucas sekali lagi sebelum tersenyum kecil. “Tidurlah, Sayang. Kau butuh istirahat.”
Lucas hanya mengangguk pelan.
Luciana meninggalkan kamar, dan Lucas kembali berbaring di tempat tidurnya. Tapi kali ini, meskipun matanya tetap terbuka menatap langit-langit, ada ketenangan yang sedikit meredakan kegelisahannya.
Ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi satu hal yang pasti—ia akan tetap di sisi ibunya.
Setelah ibunya pergi, Lucas masih berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Pikirannya tidak bisa tenang.
Ia tahu ibunya menyembunyikan sesuatu. Ia tahu ada yang tidak beres.
Jika ia hanya diam dan menunggu, sesuatu yang buruk bisa saja terjadi.
Lucas menggigit bibirnya. Tubuhnya sudah terasa lelah sejak tadi, tapi ia tidak peduli.
Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur. Kakinya melangkah pelan menuju pintu, memastikan tidak ada suara sedikit pun. Begitu ia membuka pintu dan mengintip keluar, lorong itu sunyi. Para pelayan sudah tidur, dan para pengawal tidak berjaga di dekat kamar ibunya.
Kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
Lucas melangkah dengan hati-hati ke kamar ibunya. Ia tidak mengetuk, tidak ingin membangunkan wanita itu. Sebagai gantinya, ia memutar kenop pintu perlahan dan menyelinap masuk.
Di dalam kamar, suasana tenang. Lampu sudah dipadamkan, hanya cahaya bulan dari jendela yang menerangi ruangan.
Di atas ranjang besar, ibunya tertidur dalam posisi miring, napasnya tenang. Namun, Lucas bisa melihat gurat kelelahan di wajah wanita itu bahkan dalam tidur.
Dan saat ia mendekat, ia merasakan sesuatu.
Panas.
Ada aura aneh yang mengelilingi tubuh ibunya—sebuah energi samar yang tidak kasat mata, tapi terasa jelas bagi Lucas.
Penyakit?
Lucas tidak tahu pasti. Yang jelas, ada sesuatu yang menggerogoti ibunya dari dalam.
Ia tidak bisa membiarkan ini.
Lucas duduk di tepi ranjang dengan hati-hati, lalu mengulurkan tangannya. Jemarinya menyentuh tangan ibunya yang dingin, sebelum ia menutup matanya.
Energi mengalir dari tubuhnya.
Cahaya samar muncul di telapak tangannya, merambat pelan ke tubuh ibunya. Lucas bisa merasakan kekuatannya menyelidiki bagian tubuh yang tidak sehat, mencari sumber penyakit yang tersembunyi.
Dan begitu ia menemukannya—ia mulai menyembuhkan.
Energinya menyebar, memperbaiki jaringan yang rusak, menghapus jejak luka yang tak terlihat. Napas ibunya menjadi lebih teratur, tubuhnya yang tadinya kaku perlahan melemas.
Tapi saat proses penyembuhan berjalan, Lucas merasakan sesuatu yang lain.
Sakit.
Seluruh tubuhnya terasa berat, seolah-olah ada beban tak terlihat yang menekan dadanya. Napasnya mulai tersengal, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ia sudah tahu kalau tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Ia sudah tahu kalau menggunakan kekuatannya dalam kondisi ini berbahaya.
Tapi ia tidak peduli.
Tangan Lucas bergetar, tapi ia tetap bertahan. Cahaya di telapak tangannya semakin terang, mengalir deras ke tubuh ibunya. Rasanya seperti ada sesuatu yang terkuras dari dalam dirinya—daya tahan, energi, bahkan kesadarannya sendiri.
Lalu tiba-tiba—
Lucas tersentak.
Cahaya di tangannya padam, tubuhnya terhuyung ke belakang.
Rasanya seperti jantungnya mencengkeram dadanya dengan paksa. Nafasnya terengah, dan matanya berkunang-kunang.
Tidak…
Ia menunduk, melihat tangannya yang gemetar hebat. Tubuhnya terasa dingin, seolah seluruh energi kehidupannya diserap keluar.
Tapi saat ia menoleh ke arah ibunya, napasnya tercekat.
Luciana terlihat jauh lebih tenang. Wajahnya lebih segar, dan bahkan dalam tidur, bibirnya melengkung dalam senyuman tipis.
Lucas tersenyum lemah.
Setidaknya… itu berhasil.
Namun, sebelum ia bisa berdiri untuk kembali ke kamarnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Lututnya lemas, dan pandangannya semakin kabur.
Sial…
Ia berusaha menggigit bibirnya untuk tetap sadar, tapi semuanya terasa semakin jauh.
Dan sebelum ia bisa melakukan apa-apa, tubuhnya ambruk ke lantai.
Sunyi.
Kegelapan mulai menyelimuti kesadarannya.
Di tengah kabut pikirannya yang semakin redup, Lucas hanya bisa berharap ibunya tidak akan bangun dan menemukan dirinya dalam keadaan seperti ini.
Pagi itu, Kaisar Erick kembali ke kamarnya setelah semalaman sibuk di ruang kerja. Langkahnya berat, tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih terus dipenuhi berbagai urusan kekaisaran.
Ia tidak berharap mendapatkan ketenangan. Ia tahu, begitu kembali, akan ada tumpukan masalah lain yang menunggunya.
Namun, saat ia membuka pintu, yang ia temukan bukanlah tumpukan dokumen—melainkan sesuatu yang jauh lebih buruk.
Di lantai kamar, di dekat ranjang sang permaisuri, terbaring tubuh putranya.
Lucas.
Dingin.
Kaisar Erick membeku di tempat. Pandangannya seolah tidak bisa menerima kenyataan di depan matanya.
"Lucas…?" Suaranya pelan, hampir tidak terdengar.
Namun, tubuh itu tidak merespons.
Langkahnya goyah saat ia berjalan mendekat. Tangannya terulur, menyentuh bahu anaknya—dan saat itu juga, sesuatu dalam dirinya hancur.
Kulit Lucas dingin. Terlalu dingin.
Napasnya tertahan. Tangannya dengan panik meraih pergelangan tangan putranya, mencari denyut nadi. Mencari tanda kehidupan.
Tidak ada.
Tidak mungkin.
"Tidak… Lucas…"
Tangan Erick bergetar saat ia menarik tubuh anaknya ke dalam dekapannya. Kepala Lucas terkulai di bahunya, matanya tertutup rapat, dan bibirnya pucat.
Jantung Kaisar Erick berdegup kencang.
Tidak. Ini tidak benar.
"Lucas! Bangun!" Suaranya meninggi, nyaris terdengar seperti perintah.
Namun, tubuh itu tetap diam.
Tidak ada gerakan. Tidak ada napas.
Panik menyelubungi Kaisar Erick. Ia mengguncang tubuh anaknya, berusaha membangunkannya, menolak menerima kemungkinan yang mulai merayap di pikirannya.
Tidak. Lucas tidak mungkin…
Tidak mungkin.
"Bangun, Lucas! Ini perintah!" Suaranya pecah, lebih seperti permohonan daripada perintah.
Tapi tetap saja, tidak ada respons.
Kaisar Erick terhuyung ke belakang. Napasnya memburu, pandangannya berputar.
Dunia di sekelilingnya terasa goyah.
Sejak lahir, Lucas adalah anak yang rapuh. Ia selalu berusaha melindunginya, menjaga agar ia tetap hidup, memastikan bahwa tidak ada satu pun hal di dunia ini yang bisa menyakitinya.
Namun, sekarang—
Ia bahkan tidak ada di sana saat anaknya tergeletak sendirian di lantai, tanpa siapa pun yang menyadarinya.
Lututnya melemas, dan tubuhnya jatuh berlutut di samping anaknya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kaisar Erick merasa benar-benar tidak berdaya.
Ruang kamar yang biasanya sunyi kini dipenuhi suara napasnya yang berat dan putus-putus.
Dan di dalam pelukannya, Lucas tetap diam. Tetap dingin.
Permaisuri Luciana terbangun dengan tubuh yang terasa jauh lebih ringan dari sebelumnya. Rasa sakit yang selama ini mendera tubuhnya seakan lenyap tanpa jejak. Ia mengerjapkan mata, sedikit bingung dengan perubahan mendadak ini.
Namun, sebelum ia sempat benar-benar menyadari keadaannya, telinganya menangkap suara yang terdengar putus asa.
"Lucas… bangun…"
Suaranya bergetar.
Luciana menoleh, dan saat itulah dunianya seakan berhenti berputar.
Di lantai, tepat di samping ranjangnya, Kaisar Erick berlutut dengan tubuh menggigil, memeluk seseorang dalam dekapannya.
Putih. Pucat.
"Lucas…?" Suaranya hampir tidak terdengar, bergetar karena ketakutan yang tiba-tiba merayap ke seluruh tubuhnya.
Anaknya.
Anak yang ia bawa selama sembilan bulan.
Anak yang tubuhnya dulu kecil dan lemah saat lahir.
Anak yang selalu ia khawatirkan, yang ia jaga dengan segenap hati.
Anak itu…
Terbaring dalam dekapan ayahnya.
Mati.
Tidak.
Luciana mengangkat selimutnya dengan kasar, turun dari ranjang tanpa memedulikan tubuhnya yang masih terasa asing. Ia tersandung kakinya sendiri, hampir jatuh, tetapi ia tidak peduli.
Yang ia pedulikan hanya satu.
Lucas.
Ia menjatuhkan diri di samping mereka, tangannya gemetar saat menyentuh wajah anaknya.
Dingin.
Tidak ada napas.
Tidak ada gerakan.
Sama seperti boneka porselen yang indah tetapi tak bernyawa.
"Lucas… tidak… ini tidak mungkin…"
Tangannya menepuk pipi anaknya dengan panik, berharap ia hanya tertidur. Tapi Lucas tetap diam. Tidak bergerak. Tidak membuka matanya.
Tidak kembali padanya.
Kaisar Erick menggigit bibirnya, mencoba menahan suara isakannya sendiri, tetapi tubuhnya bergetar hebat.
Permaisuri Luciana menggelengkan kepalanya berulang kali, air mata menggenang di matanya.
"Tidak… Lucas… Ibu di sini… Ibu sudah sehat sekarang… Kau bisa bangun, kan? Lucas, sayang…"
Suaranya pecah. Harapannya runtuh seiring dengan kenyataan yang mulai mencekik.
Anaknya telah pergi.
Dan ia tidak ada di sana untuk menghentikannya.
[The End]