Niat hati ingin merayakan ulangtahun bersama kekasihnya yang baru kembali dari luar negeri, Alice malah memergokinya sedang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Alice yang kecewa memutuskan hubungan mereka secara sepihak dan berniat balas dendam pada kekasihnya itu.
Tanpa sengaja, Alice dipertemukan dengan Arthur CEO di tempat kerjanya yang baru yang ternyata adalah sepupu jauhnya.
Alice terpaksa meminta bantuan Arthur dengan satu syarat, Alice harus mau menjadi wanitanya.
Akankah Alice menyetujui permintaan gila Arthur demi membalas dendam pada mantan kekasihnya? Ataukah malah terjerat dengan pesona Arthur?
Usahakan jangan nabung bab ya... terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meyda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB. 28
Arthur dan Alice sedang berada di sebuah ruangan ketika terdengar suara ketukan di pintu, membuat perhatian mereka teralihkan.
“Ada yang datang, Ar,” kata Alice dengan nada gugup. Ia tidak menyangka bahwa di saat genting seperti ini akan ada yang mengganggu mereka.
Arthur mendesah kesal, bangkit dari tempat duduknya, dan melemparkan jasnya ke arah Alice. “Pakai ini untuk menutupi tubuhmu,” ucapnya dingin.
“Tapi...” Alice mencoba protes.
“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja apa yang aku katakan!” Arthur berjalan menuju pintu. Sebelum membukanya, ia menoleh sejenak ke arah Alice. “Jika kamu malu dan takut, masuklah ke sana. Istirahatlah,” lanjutnya sambil menunjuk sebuah ruangan yang tak jauh dari tempat Alice berdiri.
Alice mengernyitkan dahi. “Ke sana? Sendirian?”
“Berhentilah protes, Alice Anderson!” seru Arthur yang mulai kehilangan kesabaran.
Dengan enggan, Alice menuruti perintah Arthur sebelum kemarahan pria itu semakin memuncak. “Dasar pemaksa!” gerutunya pelan.
Meninggalkan Arthur yang sedang menemui tamu, Alice memasuki ruangan yang ditunjuk oleh Arthur. Ia terkesima melihat ruangan tersebut. Meski tidak sebesar apartemen, ruangan ini tampak nyaman dan bisa dijadikan tempat melepas penat.
“Pantas saja dia betah. Ada ruangan seperti ini di sini,” gumam Alice sambil membuka tirai jendela, memperlihatkan pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana. “Aku haus,” tambahnya.
Alice mulai mencari-cari sesuatu di dalam ruangan itu, berharap menemukan sesuatu untuk menghilangkan rasa hausnya. “Kenapa tidak ada apapun di sini?” ia terus mencari hingga tatapannya tertuju pada sebuah botol air mineral di samping tempat tidur, yang isinya tinggal setengah. Tanpa berpikir panjang, Alice segera meneguk air tersebut.
Tidak lama setelah meminum air itu, Alice merasakan tubuhnya panas dan gerah.
“Ada apa denganku? Kenapa tiba-tiba panas. Apa AC-nya mati?” Alice mengambil remote dan mengatur suhu ke titik terendah. Namun, tubuhnya tetap saja terasa panas.
“Sepertinya aku harus mendinginkan tubuhku.” Alice memutuskan keluar dari ruangan Arthur, merasa ada yang tidak beres dengan dirinya.
Beruntung, Arthur tidak berada di ruang kerjanya.
“Lice, tunggu!” teriak Zack, yang tiba-tiba muncul dan menahan pergelangan tangan Alice.
“Lepas! Mau apa lagi kamu?” Alice menepis tangan Zack dengan kasar.
“Kamu sakit? Wajahmu pucat dan berkeringat. Kita ke dokter, oke?” tawar Zack. Ia menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan Alice, menduga bahwa gadis itu berada di bawah pengaruh obat.
Zack tidak ingin Arthur menemukan Alice dalam kondisi seperti ini, jadi ia berusaha keras untuk membawa Alice pergi sebelum Arthur kembali.
“Ikutlah bersamaku,” paksanya.
“Tidak, ya tidak! Apa kamu tuli?” Alice mencoba melawan, namun sentuhan Zack membuat tubuhnya bereaksi tak karuan. Kepalanya berputar dan pusing, nafasnya memburu dengan dada berdebar.
“Sayang, aku janji tidak akan melukaimu,” bisik Zack sambil menggiring Alice ke ruangan pribadinya di lantai bawah, tempat di mana biasanya ia menghabiskan waktu istirahatnya bersama Viona.
Namun, sekarang semuanya berbeda. Viona telah memutuskan untuk menjauh darinya setelah Zack memperlakukannya dengan kasar malam itu.
******
Setelah menemui beberapa kolega bisnis yang tiba-tiba datang, Arthur bergegas kembali ke ruang kerjanya. Namun, ia tidak sendiri. Leon, asistennya, terus mengikutinya seperti anak ayam yang kehilangan induknya.
“Jadi bagaimana? Apa semua bisa kamu kerjakan secepatnya, Leon?” tanya Arthur sambil menyerahkan beberapa berkas untuk diperiksa oleh Leon.
“Bisa diatur asal ada uang sogokannya,” jawab Leon dengan santai.
“Dasar mata duitan!” Arthur melempar sebuah cek ke arah Leon. “Keluar sana. Dan kerjakan dengan benar. Kalau sampai proyek ini gagal, kamu akan tahu akibatnya!”
“Iya, iya. Beres, Bos.” Leon mencium puas selembar kertas yang berada di tangannya. Akhirnya, setelah sekian lama tidak diakui oleh Arthur, hari ini ia dipercaya memegang proyek pembangunan di kota X.
“Keluar sana! Kenapa masih diam di sini?!” usir Arthur dengan suara keras.
Leon mengernyit. “Tentu saja ku ingin—” belum sempat Leon menyelesaikan kalimatnya, Arthur sudah mengebrak meja, membuat Leon tersentak kaget.
“Brengsek!”
“Ada apa denganmu, Ar? Apa kamu berniat membuatku terkena serangan jantung?”
Arthur menggenggam erat ponselnya, melihat sebuah foto kiriman dari Zack yang menunjukkan Alice sedang bersama pria itu.
“Jadi karena ini? Kenapa gadis itu bisa bersama Zack?” Leon merebut ponsel dari tangan Arthur. “Atau jangan-jangan...”
“Jangan-jangan apa? Dia memang wanita murahan! Untuk apa dia mencoba membuktikan kalau dia berbeda dari wanita di luar sana. Ternyata semua sama!” Arthur benar-benar kecewa pada Alice. Ia tidak menyangka Alice bisa luluh kembali oleh Zack.
“Mau kemana?”
“Klub. Aku butuh menenangkan diri,” kata Arthur sambil melangkah pergi.
“Tunggu!” langkah Arthur terhenti. Tanpa berbalik, ia seolah-olah ingin mendengar apa yang akan dikatakan oleh Leon. “Maafkan aku. Erick menyuruhku memasukkan obat perang sang ke dalam minuman yang ada di ruang pribadimu dan mungkin saja Alice sudah meminumnya. Aku tidak bermaksud—”
Belum sempat Leon menyelesaikan kalimatnya, Arthur meninggalkannya begitu saja.
“Selesai sudah hidupmu setelah ini, Leon. Dan semua karena Erick!” Leon mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Erick meminta bantuan Leon karena dia tidak bisa melakukannya sendiri. Erick ingin mengetes apakah Arthur masih normal atau tidak, dengan dosis besar obat itu.
Namun, ia tidak menyangka sasaran yang salah membuat situasi semakin kacau.