Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 28 ~ Gara~ gara Katro
Jam kerja Dara sudah selesai sejak sore. Bisa saja ia lembur mengerjakan pekerjaan yang sempat tertunda, tapi memilih istirahat setelah mengganti seragamnya. Entah jam berapa, saat ponselnya berdering membuat terjaga.
“Halo,” sapa Dara lalu menguap, bahkan belum sempat melihat siapa yang menghubungi.
“Kamu di mana? Aku hubungi berkali-kali, baru dijawab.”
“Masih di hotel, lagi tidur.”
Terdengar hela nafas Pandu di ujung sana. “Tunggu di depan lobby.”
“Tidak bisa, saya sudah ganti pakaian. Lewat pintu biasa aja. Kalau nggak tunggu aja di rumah, makan malam di rumah.” Dara sudah beranjak bangun dan mencari sepatunya.
“Tunggu aku, sebentar lagi sampai,”
“Hm.”
Sudah sepuluh menit berlalu, bahkan Dara sudah menunggu tidak jauh dari pintu keluar khusus pegawai. Akhirnya mobil Pandu tiba lalu berhenti. Sempat melihat sekitar, memastikan tidak ada yang mengawasi atau melihat Dara memasuki mobil mewah milik Pandu.
Pandu menatap Dara yang sudah duduk dan memasang seatbelt, meski hanya memakai celana jeans dan kemeja serta rambut yang digerai. Pesona gadis itu tidak pudar, rasanya ingin sekali Pandu mendaratkan bibirnya di salah satu pipi atau bahkan tersasar di bibir semerah ceri milik Dara.
“Belum jalan, tunggu apa lagi?” tanya Dara menatap Pandu yang sedang menatapnya.
“Tunggu kamu sadar,” sahutnya lalu mulai melaju.
Sambil fokus dengan kemudi, sesekali ia menoleh ke samping mengajak Dara bicara. Tidak ingin membuat suasana menjadi canggung apalagi sungkan, sebisa mungkin ia akan membuat Dara nyaman dan terbiasa dan terbuka padanya.
“Masih jauh nggak?” Dara bertanya karena sudah lapar, kemana pula Pandu akan membawanya.
“Di depan.”
“Restonya di depan?” Dara malah balik bertanya, karena penjelasan Pandu masih ambigu.
“Di depan ada belokan, dari sana sekitar … dua kilo lagi. Macet pula.”
“Mending cari tukang bakso atau nasi goreng di pinggiran aja, udah lapar nih.”
Ternyata mobil sudah berbelok ke sebuah restoran, Pandu mengerjai Dara. Nyatanya memang sudah dekat dan sekarang mereka sudah sampai.
“Turun, katanya lapar.”
Pandu sudah mereservasi dan memilih private room. Dara sempat melirik sinis, untuk apa pula pria itu memilih ruang private. Entah mengapa Dara malah berpikir kalau Pandu bakal aneh-aneh.
“Kenapa harus private room?” tanya Dara ketika pelayan sudah membuka pintu dan mempersilahkan pasangan itu untuk masuk.
“Kenapa tidak? Aku ingin makan tanpa gangguan."
Sambil menunggu pesanan, Dara hanya diam dan memainkan ponsel. Ia tahu kalau Pandu sedang menatapnya, membayangkannya saja sudah membuat jantungnya jedag jedug. Entah apa jadinya kalau ia balas menatap dan sama-sama tenggelam dalam pandangan cinta.
“Hei,” ucap Pandu sambil menendang pelan kaki Dara di bawah meja.
Gadis itu hanya berdehem dan tetap fokus pada ponselnya dan tidak menyadari gerak tangan Pandu yang gesit mengambil ponselnya lalu dimasukan ke dalam saku jas.
“Om, ponsel ….”
“Berhenti memanggilku, Om. Perbedaan umur kita hanya dua atau tiga tahun,” cetus Pandu menyela ucapan Dara.
“Bukan masalah umur, tapi kakaknya Om Pandu adalah Papaku.”
“Kamu bukan anak kandung Surya, jadi hentikan memanggilku Om atau Paman. Kecuali kamu memang ingin dihukum.”
“Dihukum? Mau dongggg.”
Pandu hendak berpindah duduk karena Dara menantangnya, tapi urung karena dua pelayan memasuki ruangan membawakan pesanan mereka.
“Makanlah dan habiskan, kamu terlihat seperti kurang makan,” ejek Pandu mendorong piring berisi main course ke hadapan Dara.
“Hm, sepertinya lezat. Selamat makan,” ujar Dara. Di sela mengunyah, ia bertanya. “Om Pandu, juga makan dong.”
“Astaga, aku bilang jangan panggil aku dengan sebutan itu.”
“Jangan begitu, karena itu panggilan sayang aku untuk Om Pandu, adik iparnya Bunda,” jelas Dara lalu terkekeh dan kembali fokus dengan alat makannya.
“Jangan banyak bicara, nanti tersedak. Bicara nanti saja, aku selalu ada waktu untuk kamu.”
Mendengar Pandu yang mulai menggombal, Dara mencebikan bibirnya. “Om Pandu kenapa sih masih aja perhatian.”
“Perhatianku ini sebagai tanda kasih sayang, spesial untuk keponakan aku. Biar makin baper.”
Dara hanya melengos mendengar ucapan Pandu. Keduanya fokus dengan makanan mereka, bahkan pelayan sudah membawakan desert.
“Jadwalmu besok pagi atau ….”
“Siang, kenapa?” tanya Dara mulai menyendok es krim di hadapannya.
“Siang aku jemput di rumah, kebetulan besok ada rekanan yang harus aku temui dekat rumah.”
“Hm, tidak usah,” ujar Dara lalu menyeka bibirnya dengan tisu. “Besok mau berangkat lebih awal, ke tempat bunda dulu.” Dara kembali menyuap es krim.
“Tidak masalah, aku akan antar.”
“Bukan gitu, rencananya mau makan siang dengan sahabat Bunda.” Pandu mengernyitkan dahinya mendengar penjelasan Dara. “Sahabat Bunda itu punya anak cowok dan mau dikenalkan gitu. Bunda berharap kami cocok terus berjodoh.”
Pandu melepaskan alat makannya dengan kasar lalu bersandar pada kursi dengan posisi tangan bersedekap. Dara belum menyadari kalau tatapan pria itu berubah garang.
“Hm, ini enak deh. Manisnya itu ….”
“Aku bisa belikan lagi, bahkan setiap hari, tapi jangan temui apalagi sampai kenalan dengan laki-laki itu.”
“Ya nggak bisa begitu dong. Gimana kalau dia ternyata lebih muda, tampan dan masih kinyis-kinyis. Uh, jadi penasaran deh. Moga aja sesuai harapan.”
“Kamu senang dijodohkan begitu?”
“Kalau cocok, kenapa nggak,” jawab Dara sambil mengedikkan bahunya.
“Hei, semalam kamu bilang ingin menata hati dan menolak perhatianku. Sekarang berharap berjodoh dengan laki-laki yang bahkan belum pernah kamu temui. Otakmu sudah geser?”
“Kalau tampan ya … nggak masalah.”
“Apa aku kurang tampan?”
“Hah!”
“Jangan datang dan menemui pria itu. Biar aku yang sampaikan pada Bundamu kalau kamu sibuk dan ada pekerjaan.”
Baru saja Dara akan menjawab ucapan Pandu, tapi urung karena ponsel Dara berdering. Ia pun mengeluarkan ponsel dari sakunya. Ternyata panggilan dari Kemala segera ia geser tomb hijau fan mengaktifkan mode loudspeaker.
“Iya Bun.”
“Jangan lupa besok di café X, reservasi atas nama Aryo. Nama lengkapnya Karyono.”
“Hm, iya.”
“Jangan kecewakan Bunda,” ujar Kemala lagi.
“Iya.”
Setelah berbincang sebentar, panggilan pun berakhir. Dara mengajak Pandu pulang, dengan alasan ia sudah lelah dan ingin istirahat.
“Aku belum selesai.” Pandu menunjuk ke desert yang belum disentuhnya.
“Cepetan dong, saya mau lulur terus maskeran. Biar besok makin kinclong dan glowing,” ungkap Dara bangga.
“Demi si Katro?”
“Ck, Karyono.”
“Bagiku tetap saja dia … Katro. Jangan coba-coba temui laki-laki itu atau dia akan terima akibatnya. Kamu juga siap-siap terima hukuman dariku.”
“Om Pandu, apaan sih!”
Gregetan dengan bibir Dara yang masih menyebutnya dengan sebutan Om. Pandu berdiri lalu mencondongkan tubuhnya, meraih tengkuk Dara dengan tujuan silaturahmi bibir mereka. Dara yang tidak menduga hanya bisa terbelalak dengan perbuatan Pandu.
Bibirku sudah tern0da, batin Dara lalu mendorong wajah Pandu agar menjauh.
"Dasar mesum, itu ciuman pertamaku," teriak Dara dan Pandu tergelak lalu menepuk dadanya.
""Aku bisa hukum kamu lebih dari ini."
\=\=\=\=\=
Pembaca : Mau dong dihukum Pandu
Pandu : Ogah, cintaku murni untuk Dara seorang
Author : Halah, dari kemarin belum ditembak juga
Atun mo dikemanain, mas?
Gak salah????