Aku Raima Nur Fazluna, gadis yang baru saja menginjak usia 21 tahun. Menikah muda dengan Sahabat Kakakku sendiri yang sudah tertarik sejak awal pertemuan kita.
Namanya Furqan Hasbi, laki-laki yang usianya berbeda 5 tahun di atasku. Dia laki-laki yang sudah menyimpan perasaannya sejak masa sekolah dan berjanji pada dirinya sendiri akan menikahiku suatu saat nanti ketika dirinya sudah siap dan diantara kita belum ada yang menikah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Aksara memberikan buku menunya padaku, memintaku untuk memesan makanan yang aku suka.
"Aku mau ice americano aja,"
"Makanannya enggak Nur?" tawar Aksara dengan akrab.
Aku menggelengkan kepalaku menolaknya, "masih kenyang aku."
Dia mangut paham mendengarnya, "kamu mau pesen apa?" tanyaku.
"Samain aja sama Nur!" jawabnya.
"Ice americano 2 ya Mas," pesanku tanpa menoleh sedikitpun pada Kak Furqan yang mencatat pesanannya.
Dia langsung kembali masuk membuatkan pesanan. Aku izin ke toilet sebentar pada Aksara.
"Kak Furqan," bisikku membuatnya menoleh.
"Apalagi sih?" ketusnya.
"Biasa aja kali," kataku tidak suka, "cuman mau nanya toilet di sebelah mana."
Kak Furqan menunjuk pintu di lorong belakang. Dia tidak berbicara sedikitpun padaku.
Aku segera masuk ke toilet, terlihat semua tertata rapih dan bersih.
"Kak Furqan kok kayaknya gak cemburu aku sama Aksara," gumamku pelan.
Sembari merapihkan kerudungku yang sedikit berantakan karena dijalan tadi.
toktoktok....
"Gak usah lama-lama di toiletnya, orang mau pada pake juga!" teriak Kak Furqan setelah mengetuk pintunya cukup keras.
Aku keluar dengan wajah kesal, dia terlihat sedang menunggu sembari melipat kedua tangannya di dada.
"Kan aku pelanggan, jadi bebas dong gunain toiletnya sebagai fasilitas," ucapku protes.
"Ya tapi gak lama juga,"
Aku melihat jam tanganku, "ini baru 5 menit lalu loh Kak."
"Pelit banget heran!" gumamku pelan tapi masih bisa didengarnya.
"Dia siapa Nur?" tanyanya dengan nada dingin namun matanya menatapku.
"Aksara," jawabku singkat. "Kenapa Kak Furqan cemburu aku bawa cowok lain?" tanyaku memancingnya.
Matanya langsung mengedar, "gak usah ge-er, saya cuman gak mau kamu kenapa-napa aja."
Aku menahan senyumanku, "berarti Kak Furqan masih peduli sama Nur kan?"
"Saya bilang gak usah ge-er," katanya sembari melengos pergi.
Aku menahan senyumku lalu segera kembali ke meja bersama Aksara. 2 gelas americano sudah ada di sana.
"Kenapa Nur? Sakit perut?" tanya Aksara beruntun.
Aku menggelengkan kepalaku, "enggak, tadi benerin kerudung doang."
Rekan Kak Furqan dengan isengnya berbisik, "kamu gak cemburu dia sama cowok lain? Mana ganteng lagi cowoknya."
"Diem Lo, berisik!" kesal Kak Furqan dengan tatapan tajamnya.
Sesekali mata Kak Furqan bertemu denganku yang curi-curi pandang padanya. Ingin melihat bagaimana reaksinya jika aku bisa akrab dengan laki-laki lain di depannya.
Aku mengobrol cukup lama dengan Aksara, sampai dia pamit duluan karena ada kerjaan mendadak.
Aku masih berdiam diri di sana, mulai membuka laptop yang ku bawa tadi. Kak Furqan mengetuk meja agar aku mendongak padanya.
"Apa Kak?" tanyaku dengan santai.
"Bisa pergi gak?" tanyanya ketus.
Aku menelan ludahku kesal lalu berdiri berhadapan dengannya, "Kak Furqan usir aku?"
"hmm"
Mataku mulai memerah, "kenapa? Apa hak Kak Furqan buat usir aku dari sini?"
"Gak ada alasan buat gak usir kamu dari sini, sekalipun kamu seharian ngeluarin uang berapapun di sini. Saya harap kamu pergi dari sini dan jangan temui saya lagi!" cetusnya.
Aku mulai menangis mendengarnya, perlahan mendekati dan mencoba meraih tangannya.
Dia menepis tanganku dengan kasar, "Nur, saya udah bilang kalau hubungan ini berakhir dan saya gak akan pernah balikan lagi sama kamu. Jadi berhenti ngikutin saya dan jangan jadi wanita murahan."
Kak Furqan pergi meninggalkanku masuk ke dalam. Aku menunduk seraya air mataku jatuh begitu saja.
Dengan cepat aku kembali menutup laptop yang baru saja aku buka. Segera pergi dari sana sembari menangis sepanjang jalan.
Aku duduk di taman yang tidak terlalu jauh dari restoran tempat Kak Furqan kerja. Duduk termenung di sana, melamunkan perkataan Kak Furqan yang menyakitkan tadi.
Di sisi lain, Kak Furqan terus merenungi perkataannya tadi.
Gw terlalu kejam bicara kayak gitu sama Nur!
Rekan kerjanya sadar akan hal itu, dia menepuk bahu Kak Furqan yang termenung di sampingnya.
"Kayaknya kamu keterlaluan tadi bicara kayak gitu, apalagi kamu ngomongnya di depan banyak orang. Dia cewek Furqan," katanya.
Kak Furqan menggusar rambutnya kasar, dia membuka afronnya berlari begitu saja. Matanya terus mencari keberadaan-ku ditengah kerumunan banyak orang.
Pandangannya tertuju padaku dengan napas yang terengah-engah mulai menghampiriku perlahan.
"Nur," sapanya dengan suara bergetar.
Aku mendongak tersenyum simpul padanya dengan mata yang sudah memerah. Dia duduk perlahan di sampingku, matanya terus menatap aku yang masih menunduk mengedarkan pandangan darinya.
"Nur maaf perkataan saya,-"
"Gak perlu minta maaf Kak Furqan," selaku, "Nur emang udah keterlaluan ganggu Kak Furqan."
Dia menggelengkan kepalanya, "Nur-"
Aku kembali menyela perkataannya, "Kak Furqan tenang aja, Nur gak bakal ganggu Kak Furqan lagi mulai sekarang."
Aku langsung pergi begitu saja meninggalkan Kak Furqan yang masih termenung di sana.
Malamnya, Kak Furqan pergi mengunjungi Ayahnya di rumah sakit.
"Loh Kak matanya kenapa merah gitu?" tanya Ibunya Kak Furqan kaget.
Kak Furqan hanya tersenyum simpul mendengarnya. Dia segera membuka kotak bekal yang dibawanya.
"Kak kenapa?" tanya Ayah Kak Furqan dengan nada lemah.
Lagi-lagi dia tersenyum simpul mendengarnya, "gak apa-apa Pak."
"Furqan liat Bapak!" pinta Ayah Kak Furqan.
Mata Kak Furqan terlihat merah, dia tidak bisa lagi membohongi kedua orangtuanya kali ini.
"Ada masalah sama Nur?" tanya Ayah Kak Furqan.
"Furqan udah gak ada hubungan lagi sama Nur kok Pak," kata Kak Furqan.
"Loh kenapa? Kan Nur anaknya baik," tanya Ibunya Kak Furqan.
"Furqan cuman mau fokus sama Bapak dan yang lainnya aja sekarang, Mah," jawabnya dengan senyuman hambar.
Ayahnya Kak Furqan meraih tangannya dengan hangat, "Furqan, Bapak bakal merasa bersalah kalau kamu korbankan perasaan kamu sendiri karena kita, Nak."
"Enggak sama sekali Pak, Furqan ngerasa gak pantes aja buat Nur sekarang," cetus Kak Furqan.
"Kejar dia, Furqan," pinta Ayahnya. "Sebelum kamu benar-benar kehilangan dia."
"Tapi Pak, Furqan aja masih kerja kecil-kecilan sekarang. Furqan gak mau bawa Nur dalam kesusahan Pak," ujar Kak Furqan.
Bapak tersenyum kagum mendengar kedewasaan Kak Furqan, "Furqan, percaya sama Bapak. Nur gak bakal nuntut kamu," ujar Ayahnya.
"Kejar dia lagi Furqan, Bapak tau kamu masih cinta sama dia," sambung Ayah Kak Furqan.
Kak Furqan mengangguk mengiyakan perkataan Ayahnya. Sepulang dari rumah sakit, dia pergi ke hotel tempatku menginap.
Aku baru saja datang bersama Aksara yang sejak tadi sore menemaniku. Dia menghampiri kita berdua setelah memanggil namaku cukup keras.
"Darimana Nur?" tanya Kak Furqan.
"Bukan urusan Kak Furqan," jawabku ketus.
"Nur kalau gitu aku pamit dulu ya!" aku mengangguk sembari tersenyum padanya, "besok jadikan ketemu penerbitnya?"
"Nanti aku kabari lagi tentang hal ini ya! Makasih buat hari ini," kataku.
Aksara melambaikan tangannya sembari keluar dari hotel.
merinding jadinya
jangan sampai thor kasihan si ica