Elegi Grilyanto adalah kisah penuh haru yang dituturkan oleh Puja, seorang anak yang tumbuh dengan kenangan akan sosok ayah yang telah tiada—Grilyanto. Dalam lembaran demi lembaran, Puja mengajak pembaca menyusuri jejak hidup sang ayah, dari masa kecilnya, perjuangan cintanya dengan sang ibu, Sri Wiwik Budi, hingga tantangan pernikahan mereka yang tak selalu mendapatkan restu. Lewat narasi yang jujur dan menyentuh, kisah ini bukan hanya tentang kehilangan, tapi juga tentang mengenang, menerima, dan merayakan cinta seorang anak kepada ayahnya yang telah pergi untuk selamanya.
real Kisah nyata
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Dua bulan setelah masa istirahat Sri dijalani dengan penuh kehati-hatian, badai kecil kembali datang menguji ketabahan keluarga kecil di rumah kontrakan Bumiarjo.
Hari itu dimana langit mendung dan udara cukup lembab ketika Sri tiba-tiba merasa nyeri di bagian perut bawah saat hendak berdiri dari tempat tidurnya.
Tak lama kemudian, darah mulai mengalir pelan di bagian bawah roknya.
“Mas... Mas!” serunya lirih namun panik.
Grilyanto, yang sedang menyuapi Pramesh di ruang tengah, bergegas menghampiri.
Matanya langsung membelalak saat melihat noda darah yang membasahi sprei.
“Ya Allah, Sri! Ayo kita ke rumah sakit sekarang!”
Tanpa pikir panjang, ia menyambar tas, menggendong Pramesh dan menggamit tangan istrinya.
Di luar rumah, ia menghentikan becak yang kebetulan lewat, dan mereka segera menuju RKZ (Rumah Sakit Katolik Ziekenhuis), rumah sakit yang sudah beberapa kali mereka datangi sejak awal kehamilan.
Sesampainya di UGD, Sri segera ditangani oleh dokter kandungan.
Grilyanto mondar-mandir di depan ruang periksa, memeluk Pramesh yang mulai rewel karena suasana yang asing dan suara-suara gaduh di sekitar mereka.
Setelah hampir satu jam menunggu, dokter keluar. Grilyanto langsung menghampiri, jantungnya berdetak cepat.
“Pak Grilyanto, alhamdulillah janinnya masih bisa diselamatkan. Tapi istri Bapak harus istirahat total. Tidak boleh berdiri terlalu lama, tidak boleh mengangkat beban, dan harus dijaga kondisinya sampai usia kehamilan matang.”
Grilyanto menghela napas panjang, antara lega dan cemas.
“Baik, Dok. Saya akan jaga Sri sebaik mungkin.”
Sri dipindahkan ke ruang rawat inap untuk observasi satu malam.
Di dalam kamar, ia tampak lemas namun matanya menatap suaminya dengan lirih.
“Aku takut, Mas...”
Grilyanto duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Sri yang dingin.
“Jangan takut. Kamu sudah kuat sampai sejauh ini. Kita akan lewati ini sama-sama. Pramesh butuh adik, dan aku butuh kamu tetap sehat.”
Malam itu, Grilyanto tidak tidur. Ia bergantian menjaga Sri dan menenangkan Pramesh yang sulit tidur di tempat asing.
Dalam doanya yang panjang, ia memohon kekuatan untuk dirinya, istrinya, dan kehidupan kecil yang sedang mereka perjuangkan bersama.
Keesokan paginya, dokter memperbolehkan Sri pulang, tapi menekankan bahwa tidak boleh ada aktivitas rumah tangga sama sekali.
Di becak dalam perjalanan pulang, Sri bersandar di bahu suaminya.
Pramesh duduk di pangkuan Grilyanto, memainkan ujung kerudung ibunya.
Sesampainya di rumah, suasana lebih hening dari biasanya.
Grilyanto menyiapkan tempat tidur di ruang tengah agar Sri bisa berbaring tanpa naik tangga.
Ia menghubungi Bu Siti dan beberapa tetangga untuk membantu memasak dan mengurus rumah selama beberapa minggu ke depan.
Hari-hari mereka berubah drastis. Kini Grilyanto harus menyeimbangkan pekerjaannya, menjadi ayah penuh waktu untuk Pramesh, suami yang siaga, sekaligus perawat untuk Sri.
Tapi semua dilakukannya dengan cinta, karena baginya, keluarga kecil ini adalah dunia.
Dan di dalam keheningan rumah kontrakan itu, dengan segala kekurangan dan doa yang tak pernah putus, kehidupan kecil di dalam rahim Sri terus bertumbuh menjadi simbol harapan bahwa setelah badai, akan selalu ada pelangi.
Pagi itu, rumah kecil di Bumiarjo terasa berbeda dan Sri terbangun lebih awal dari biasanya meski tubuhnya masih terasa lemas.
Sinar matahari menerobos lembut melalui celah jendela, membelai wajahnya yang pucat. Grilyanto tengah sibuk menyiapkan sarapan seadanya: nasi hangat telur dadar, dan teh manis.
Tak lama kemudian, suara becak berhenti di depan rumah mereka. Grilyanto membuka pintu dan di ambang pintu berdiri seorang perempuan berusia empat puluhan dengan raut wajah penuh kehangatan Nanik, kakak sulung Grilyanto, datang dari Magelang.
“Mas Gril…” ucapnya sambil tersenyum, kemudian memeluk adiknya erat.
“Ini kakak bawakan wedang jahe dan gethuk dari Magelang. Aku dengar dari ibu tentang Sri. Makanya aku langsung berangkat kemari.”
“Terima kasih, Mbak. Kami memang sedang butuh bantuan.”
Begitu masuk, Nanik segera menghampiri Sri yang tengah berbaring dengan wajah lesu.
Ia menggenggam tangan adik iparnya itu dan membelai lembut punggung tangannya.
“Sri, kamu harus istirahat total, ya. Jangan pikirkan apa-apa dulu. Aku di sini untuk bantu. Kalau kamu terus memaksakan diri, bisa bahaya untuk janinmu.”
“Maaf, Mbakbmerepotkan.”
“Justru kami yang merasa harus lebih hadir buat kamu. Pramesh juga akan kakak bawa ke Magelang, biar kamu tenang dan bisa benar-benar istirahat.”
Sri menoleh pelan ke arah putri kecilnya yang sedang duduk di sudut ruangan, menggenggam boneka kayu kecil pemberian Grilyanto.
Mendengar ia akan diajak pergi, Pramesh terlihat gelisah dan merangkak menghampiri ibunya.
“Ma... mamam…” ucapnya terbata.
Air mata Sri menetes. Ia mencium kening putrinya, memeluknya lama.
“Pramesh, sebentar saja, ya. Nanti kalau sudah sehat, Mama jemput.”
Grilyanto menggendong Pramesh, lalu menyerahkannya kepada Nanik.
“Jaga Pramesh, Mbak dan jangan biarkan dia merasa jauh dari kami.”
“Tenang, Mas. Aku akan perlakukan dia seperti anakku sendiri. Ibu juga sudah menyiapkan kamar khusus buat Pramesh.”
Setelah makan siang bersama, Nanik dan Pramesh berangkat kembali ke Magelang naik travel yang sudah dipesan.
Sri duduk bersandar di dipan kayu dekat jendela, matanya terus menatap jalanan sampai mobil yang membawa anaknya menghilang dari pandangan.
Grilyanto memeluk pundaknya dari belakang.
“Kamu kuat, ya... Demi anak-anak kita.”
Sri menundukkan kepalanya dan matanya jatuh pelan.
Tapi kini, beban di dadanya sedikit terasa ringan. Ada harapan dan keteguhan dalam kesunyian rumah kontrakan mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian minggu, Sri tidur lebih tenang dengan tangan Grilyanto menggenggam erat jemarinya.
Di luar, bulan bersinar terang, seolah ikut menjaga doa yang terus terucap dalam hati mereka.
Keesokan paginya, suasana rumah kecil mereka di Bumiarjo terasa tenang namun hangat.
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis jendela dapur, menyinari lantai yang masih dingin oleh embun malam.
Grilyanto bangun lebih awal dari biasanya dan ia tahu, kini segalanya harus ia tangani dengan lebih penuh perhatian.
Dengan langkah perlahan, ia masuk ke dapur dan mulai menanak nasi.
Sambil menunggu, ia memotong-motong tempe untuk digoreng dan menyiapkan sayur bening bayam yang sederhana namun hangat.
Aroma harum mulai menyebar, menyusup ke kamar tempat Sri masih terbaring istirahat.
Di meja makan kecil yang terbuat dari kayu tua, Grilyanto menata piring, segelas air putih, dan satu mangkuk kecil sayur.
Tak lupa ia mengambil kotak kecil berisi vitamin dan obat yang diberikan dokter untuk Sri dan menaruhnya tepat di sisi piring makan istrinya.
Setelah semuanya siap, Grilyanto masuk ke kamar, membuka tirai jendela pelan-pelan agar sinar matahari menyapa wajah istrinya yang masih terpejam.
Ia duduk di tepi ranjang dan membelai lembut rambut Sri.
“Sri, ayo bangun sebentar. Mas udah siapin sarapan dan vitaminnya.”
Sri membuka matanya perlahan, tersenyum lemah.
“Terima kasih, Mas…”
Grilyanto membantu Sri duduk dan menopang punggungnya dengan bantal.
Ia lalu membawa nampan berisi sarapan ke kamar, menyuapi istrinya perlahan sambil mengobrol ringan.
“Mas mau berangkat kerja sebentar lagi. Tapi sebelum berangkat, mas sudah cek semua, ya? Kamu cukup istirahat di rumah. Kalau butuh apa-apa, tinggal telpon Mas, oke?”
“Iya, Mas. Hati-hati ya di jalan.”
Sebelum keluar rumah, Grilyanto kembali ke kamar, mencium kening istrinya, lalu menghela napas sebentar, seolah ingin menyerap kekuatan dari cinta yang mereka bagi.
Di luar rumah, suara motor tetangga mulai terdengar, menandai awal hari yang baru.
Hari itu, meskipun terasa sunyi tanpa tawa kecil Pramesh di rumah, Grilyanto dan Sri tetap saling menguatkan dalam diam.
Dalam kesederhanaan dan cinta yang penuh ketulusan, mereka menjalani hari demi hari, satu langkah kecil menuju harapan besar.