Rasa sakit yang Maura rasakan saat mengetahui Rafa menikah dengan wanita lain tidak sebanding dengan rasa sakit yang kini dia rasakan saat tahu dirinya tengah hamil tanpa tahu siapa lelaki yang sudah membuatnya hamil.
Kejadian malam dimana dia mabuk adalah awal mula kehancuran hidupnya.
Hingga akhirnya dia tahu, lelaki yang sudah merenggut kesuciannya dan membuatnya hamil adalah suami orang dan juga sudah memiliki seorang anak.
Apa yang akan Maura lakukan? Apakah dia akan pergi jauh untuk menyembunyikan kehamilannya? Atau dia justru meminta pertanggung jawaban kepada lelaki itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dewi widya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
Fabian yang tengah memeluk tubuh mungil kasih untuk melepas rindu karena setelah dirinya dan juga Aurel berpisah tidak bertemu lagi akhirnya tersadar akan sesuatu. Dia melepas pelukannya pada tubuh Kasih dan melihat ketempat dimana Maura tadi berdiri. "Kemana dia?" Fabian melihat ke sekeliling namun tidak menemukan keberadaan Maura.
"Dia sudah pergi." Ujar Aurel saat melihat Fabian sepertinya tengah mencari seseorang. Dia tahu, pasti Fabian mencari keberadaan yang dia tahu bernama Maura. Dia tidak kenal sama Maura, tapi dia pernah bertemu dengan Maura saat disebuah pesta dimana Raka dulu pernah mengajaknya pergi ke pesta keluarga Abrisam sebelum dirinya menikah dan punya anak.
"Pergi!!" Fabian terlihat kaget mengetahui kalau ternyata Maura sudah pergi. "Kenapa tidak pamit?" Pikirnya. Dia lantas pergi menyusul Maura, namun sayangnya saat sudah didepan rumah, Maura sudah tidak ada sama sekali. Wanita itu sudah pergi dari rumahnya.
"Papa Papa!!"
Fabian kembali masuk ke dalam rumah saat Kasih memanggilnya. Dia menggendong Kasih dan duduk di ruang keluarga yang dimana Aurel sudah duduk terlebih dahulu disana.
"Pa! Asih mau pelgi ke Oma Opa." Ungkap Kasih, gadis kecil itu mendongak menatap Fabian dengan mata berbinar.
"Pergi!!" Fabian menatap Aurel untuk meminta penjelasan dari apa yang Kasih katakan.
Aurel tersenyum, "Iya. Lusa aku sama Kasih akan ke Amerika. Aku sudah memutuskan untuk tinggal disana bersama Kasih." Jelas Aurel yang sepertinya sudah bertekad untuk memulai kehidupan barunya.
"Apa kamu ingin memisahkan Kasih dengan Papanya?" Fabian sepertinya tidak terima dengan keputusan yang Aurel buat.
"Tidak. Aku tidak punya keinginan untuk memisahkan Kasih dengan Papanya. Tapi takdir yang memisahkan mereka." Seperti ditusuk sebuah belati. Hati Fabian terasa sakit mendengar sindiran dari Aurel. Dia tahu Aurel tengah menyindirnya karena perpisahan mereka, Kasih harus kehilangan sosok Ayah. "Lagian, Mama Shanti sama Papa Sandi sudah menyetujuinya. Jadi kami datang kesini untuk pamitan sama kamu." Aurel terlihat begitu tenang, bahkan sudut bibirnya juga nampak tersenyum meski sebenarnya menahan sakit sedari tadi melihat Fabian yang begitu panik saat Maura pergi tanpa pamit. Dan ini juga pertama kali baginya melihat Fabian begitu dekat dengan seorang wanita.
Fabian melihat Kasih yang ada di pangkuannya. Dia begitu sayang pada Kasih seperti rasa sayangnya pada anak sendiri. Apalagi Kasih sudah bersama dengannya sejak usia dua bulan. Berat baginya harus berpisah dengan Kasih, apalagi jarak diantara keduanya sekarang semakin jauh.
"Baiklah kalau itu sudah keputusan kamu." Akhirnya Fabian menyetujui keputusan Aurel yang akan tinggal di Amerika bersama kedua orang tuanya yang selama ini memang menetap disana. "Jaga diri kalian. Jangan sampai putus komunikasi meski kita sudah berpisah." Pesan Fabian mengingat mereka masih keluarga karena Kasih adalah anak dari mendiang kakaknya, juga merupakan cucu dari kedua orang tuanya. Ditambah dia sendiri juga sudah menganggap Kasih seperti anaknya sendiri karena sejak usia dini sudah bersama dengan dirinya.
"Tidak akan. Kecuali kamu yang memang susah sekali dihubungi karena terlalu sibuk." Ucap Aurel tersenyum menatap Fabian. "Atau mungkin kamu yang akan melupakan kami karena sudah dapat keluarga baru." Lanjut Aurel mengucapkan dalam hati.
🌷🌷🌷
"Kak Rafa!!" Maura tergugu saat kembali ke taman komplek untuk mengambil mobilnya justru bertemu dengan Rafa yang ternyata menunggunya sedari tadi.
Maura beberapa kali menelan air ludahnya sendiri karena gugup bertemu dengan Rafa. Apalagi Rafa tadi sempat mendengar pembicaraannya dengan si penjual rujak buah. "Apa Kak Rafa ingin menanyakan kebenarannya?" Batin Maura dalam hati karena Rafa begitu rela menunggunya sedari tadi.
"Mana kunci mobil kamu?" Rafa meminta kunci mobil Maura dengan ekspresi wajah yang sangat tidak biasa menurut Maura. Ekspresi yang terkesan dingin, tidak seperti Rafa yang dia kenal, yang memiliki ekspresi wajah ramah namun sedikit cuek bila bersama wanita yang tidak dikenalnya maupun tidak dekat dengannya.
Dengan ragu Maura merogoh kantong celana pendek selutut yang dia kenakan. Dia menyerahkan kunci mobilnya kepada Rafa ragu-ragu dengan sesekali melirik ke arah Rafa.
Rafa menerima kunci mobil dan segera membuka pintu mobil dan masuk kedalam. "Cepat masuk! Ini sudah petang, sebentar lagi akan adzan Maghrib." Ucap Rafa sama sekali tidak menatap Maura.
Dengan berjalan perlahan dan menundukkan kepalanya, Maura akhirnya membuka pintu mobil dan masuk kedalam, duduk di bangku belakang. Bukan karena menganggap Rafa sebagai supirnya, melainkan karena memang sudah kebiasaan mereka sejak dulu. Rafa tidak ingin saat dia menyetir mobil ada wanita yang duduk di bangku depan bersama dirinya selain muhrimnya.
Maura diam saja selama perjalanan pulang, begitupun dengan Rafa yang juga diam saja mengemudikan mobil. "Kenapa kesini?" Tanya Maura saat mobil berbelok ke sebuah resto milik Oma Marissa yang sekarang dikelola sama Anelis karena Oma Marissa sudah meninggal tiga tahun lalu.
"Sudah mau adzan. Kita sholat disini juga ada yang ingin aku tanyakan sama kamu." Jawab Rafa yang segera keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam resto meninggalkan Maura yang menunduk sedih. Dia yakin seratus persen kalau Rafa ingin menanyakan kebenaran kabar tentang kehamilannya yang didengarnya secara tidak sengaja tadi.
"Apa yang harus aku katakan? Apa aku harus jawab jujur kalau aku hamil? Kalaupun bohong, perut ini bertambah bulan akan semakin membesar." Maura menunduk dan mengusap perutnya dalam keadaan bimbang. Kenapa harus sekarang, pikirannya. Dia takut nantinya kalau Rafa tahu dirinya hamil, Rafa akan semakin jauh darinya walau kenyataannya memang Rafa sudah tidak bisa dia gapai lagi. Apalagi kalau sampai Rafa tahu penyebab dirinya sampai hamil, pasti Rafa akan menyalahkan dirinya sendiri.
🌷🌷🌷
"Jadi benar kamu hamil?" Rafa memastikan lagi kalau pendengarannya tidak salah. Apa yang Maura katakan tadi sungguh membuatnya tidak bisa berpikir jernih untuk sesaat. Pengakuan Maura tadi juga membuatnya terkejut bukan main. Apalagi Maura belum menikah dan sekarang hamil. Sudah pasti itu hasil dari perbuatan terlarang.
Kenapa Maura sampai melakukan itu? Apa Maura diperkosa? Atau memang itu keinginan Maura sendiri? Rafa terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Kini keduanya tengah duduk saling berhadapan di salah satu meja yang jauh dari pengunjung lainnya. Namun masih bisa dilihat orang.
Maura mengangguk membenarkan. Dia sedari tadi tidak berani menatap Rafa. Bila sebelumnya dulu dia selalu menatap Rafa dengan pandangan berbinar mengagumi ketampanan Rafa, sekarang berbeda, menatap saja Maura tidak berani. Dia terlalu malu dengan perbuatan dosa yang sudah dia lakukan.
"Astaghfirullahaladzim!!" Rafa mengusap wajahnya seraya beristighfar. Dia tidak habis pikir kenapa bisa Maura melakukan perbuatan dosa itu.
"Apa kamu melakukan itu karena aku nikah sama Mila dan bukan sama kamu?" Tebak Rafa saat mengingat Maura langsung pergi setelah acara ijab qobul selesai, bahkan dia juga ingat kalau Maura tidak datang saat acara resepsi di malam harinya.
Maura sontak saja mengangkat kepalanya menatap Rafa. Dia menggeleng kepala cepat, dia tidak membenarkan apa yang Rafa tanyakan, walau sebenarnya itu memang kenyataannya. Dia tidak ingin Rafa merasa bersalah atas penyebab dirinya hamil. Dia tidak ingin merusak rumah tangga Rafa dengan Kamila yang baru saja dibangun. Dia bukan tipikal orang yang suka merebut milik orang.
"Ini kesalahan Maura sendiri. Tidak ada hubungannya dengan Kak Rafa. Lagian, kami melakukan itu atas dasar suka sama suka." Maura menggigit bibir bawah bagian dalam saat mengatakan kebohongan itu pada Rafa.
"Kamu jangan berbohong Maura. Aku tahu kamu tidak dekat sama siapapun. Bahkan tiap ada lelaki yang mendekat kamu selalu menolak dan menghindar dan selalu bilang kalau kamu sudah punya tunangan. Tidak mungkin dengan mudahnya kamu melakukan itu dengan orang yang tidak kamu suka. Atau lebih parahnya tidak kamu kenal." Rafa tahu jelas bagaimana sikap Maura bila berdekatan dengan seorang lelaki yang tidak dikenalnya. "Jujur!! Apa semua karena aku?" Tanya Rafa menatap kedua mata Maura. Ini pertama kalinya dia menatap intens mata Maura. Mata itu berkaca-kaca, sepertinya memang penyebab Maura seperti sekarang ini adalah dirinya.
Maura memejamkan matanya dan mengangguk lemah. Dia menatap Rafa dengan air mata yang sudah membasahi wajahnya. "Aku marah sama Kak Rafa. Aku tidak terima Kak Rafa menikah dengan Mila padahal Kak Rafa tahu kalau selama ini Maura sayang sama Kak Rafa. Maura menantikan Kak Rafa selama ini. Tapi Kak Rafa justru memilih Mila daripada Maura dan melupakan janji kita." Maura menunduk, menangis. Dia mendesis pelan saat tiba-tiba perutnya terasa sakit.
"Maaf!!" Ucap Rafa yang merasa bersalah karena sudah menolak Maura, tidak menepati janji mereka. Karena selama ini dia hanya menganggap Maura sebagai adik, tidak lebih dari itu.
Maura mendongak keatas dan menghembuskan nafas perlahan. Dia mengusap wajahnya yang basah karena air mata. Dia kembali menatap Rafa yang menunduk merasa bersalah. "Kak Rafa nggak perlu minta maaf. Kak Rafa juga nggak perlu merasa bersalah karena Maura. Ini sudah jalan takdir Maura, dan Maura sudah menerimanya. Lagian Ayah dari bayi yang aku kandung mau bertanggung jawab." Ucap Maura dan berdiri dari duduknya. "Maura permisi dulu. Assalamualaikum!!"