Dikhianati oleh dua orang yang paling ia percayai—tunangannya dan adiknya sendiri—Aluna Kirana kehilangan semua alasan untuk tetap hidup. Di tengah malam yang basah oleh hujan dan luka yang tak bisa diseka, ia berdiri di tepi jembatan sungai, siap menyerahkan segalanya pada arus yang tak berperasaan.
Namun takdir punya rencana lain.
Zayyan Raksa Pradipta, seorang pemadam kebakaran muda yang dikenal pemberani, tak sengaja melintasi jembatan itu saat melihat sosok wanita yang hendak melompat. Di tengah deras hujan dan desakan waktu, ia menyelamatkan Aluna—bukan hanya dari maut, tapi dari kehancuran dirinya sendiri.
Pertemuan mereka menjadi awal dari kisah yang tak pernah mereka bayangkan. Dua jiwa yang sama-sama terbakar luka, saling menemukan arti hidup di tengah kepedihan. Zayyan, yang menyimpan rahasia besar dari masa lalunya, mulai membuka hati. Sedangkan Aluna, perlahan belajar berdiri kembali—bukan karena cinta, tapi karena seseorang yang mengajarkannya bahwa ia pantas dicintai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10
Keesokan paginya, cahaya matahari merambat masuk melalui tirai yang terpasang di jendela. Aluna membuka kedua matanya karena cahaya itu yang menyilaukan matanya. Tak lama setelah itu, Aluna mendengar suara ketukan di pintu kamarnya beberapa kali, membuat Aluna segera beranjak bangun dari tempat tidurnya untuk membuka pintu kamarnya.
Dan di ambang pintu kamarnya, Aluna melihat sosok Zayyan dengan penampilannya yang sudah rapi memakai seragam pemadam kebakaran. Aluna baru tersadar kalau laki laki yang sudah menolongnya itu adalah seorang pemadam kebakaran.
"Maafkan aku karena harus membangunkan mu, aku cuma mau memberitahumu kalau aku sudah menyiapkan sarapan untukmu di meja makan. Aku juga ingin memberitahumu kalau aku juga tidak akan berada di rumah untuk bekerja. Aku harap kau tidak masalah jika aku tinggal pergi." ucap Zayyan yang merasa sedikit khawatir harus meninggalkan Aluna sendirian di apartemennya.
Aluna mengangguk, ia bisa mengerti dengan keadaan Zayyan. Laki laki itu sudah terlalu banyak menolongnya, dan Aluna pikir kalau ia tidak seharusnya membuat laki laki itu ikut terbebani dengan kehadirannya.
"Tidak apa-apa tuan, aku akan baik baik saja disini. Tuan pergi saja bekerja, jangan khawatirkan aku." ucap Aluna dengan penuh pengertian.
"Terima kasih Aluna, kalau begitu aku pergi dulu." ucap Zayyan yang mulai bergegas menuju ke pintu apartemennya yang diikuti oleh Aluna dibelakangnya.
Sebelum Zayyan benar benar pergi meninggalkan apartemennya, Aluna memanggil Zayyan untuk menanyakan siapa nama laki laki itu dan mengucapkan terima kasih kepadanya.
"Tuan..." panggil Aluna yang membuat Zayyan berbalik menghadapnya.
"Iya?"
"Boleh aku tahu, siapa namamu?" tanya Aluna yang membuat Zayyan berdebar sekaligus terdiam untuk beberapa saat, sebelum akhirnya ia tersenyum dan memberitahu namanya kepada Aluna.
"Namaku Zayyan Raksa Pradipta, kau bisa memanggilku Zayyan." ucap Zayyan
"Semoga pekerjaan mu lancar tuan Zayyan, terima kasih banyak untuk semua yang kau lakukan kepadaku." ucap Aluna yang membuat Zayyan mengangguk dan menjawab,
"Sama sama"
...----------------...
Setelah pintu apartemen itu tertutup, Aluna masih berdiri di tempatnya. Sunyi.
Hanya suara detik jam dinding yang terdengar perlahan, beradu dengan desir angin dari jendela kecil di ruang tamu.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Aluna berada di tempat asing, tanpa tekanan, tanpa teriakan, tanpa sorot mata penuh benci.
Namun, anehnya... hening ini justru membuat dadanya terasa kosong. Seperti ruang yang terlalu luas, kosong melompong, membuatnya bingung harus melakukan apa.
Perlahan-lahan, ia melangkah ke meja makan, tempat di mana Zayyan meninggalkan sepiring roti panggang, selai coklat, keju parut, dan secangkir susu hangat.
Semuanya disiapkan dengan sederhana tapi penuh perhatian. Ada post-it note kecil yang ditempelkan di sisi piring:
"Makanlah, jangan Bebani dirimu dengan hal hal yang tidak seharusnya kau tanggung. Dunia ini tidak sekejam yang selama ini kau kira. — Zayyan"
Aluna tersenyum kecil, tapi senyum itu cepat menghilang, ditelan oleh rasa perih yang mengoyak dalam dadanya.
Ia duduk.
Mengambil roti itu dengan tangannya yang gemetar pelan.
Mengunyahnya perlahan-lahan, seolah setiap suap adalah perjuangan.
Apartemen Zayyan tak begitu besar, tapi begitu rapi dan bersih.Di salah satu sudut ruangan, ada rak kecil bergaya klasik dan beberapa piringan hitam. Sebuah kamera tua tergantung di dinding, berdampingan dengan foto-foto hitam putih pemandangan kota.
Semua itu menunjukkan sisi lain dari sosok Zayyan — seseorang yang memiliki perasaan yang sangat dalam, sentimental, dan sangat menghargai kehidupan dalam bentuk terkecilnya.
Di balik ketegasan tatapannya, ada luka yang menganga. Dan Aluna bisa merasakannya meski ia belum tahu ceritanya.
itu sakitnya double
bdw tetap semangat/Determined//Determined//Determined//Determined/