Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
(POV Dion Arya 2 )
Suasana menjadi amat canggung, ketika papa mengenalkan ku dengan temannya itu. Om Ahmad Hartono namanya, seorang lawyer seperti papa ku. Ia juga pernah menjadi rekanan firma hukum yang di bangun papa dulu, hanya beliau kini lebih banyak berkecimpung di bidang penasehat keuangan. Beliau memiliki istri bernama Sandra, dan dua orang anak laki-laki yang kini sedang menimpa ilmu di luar negeri. Sandra istrinya hanya ibu rumah tangga biasa, yang sehari-harinya sibuk mengurusi butik milik teman baiknya. Itulah sepenggal obrolan, yang ku dengar dari bibir lelaki tua itu. Karena aku lebih tertarik dengan berita panas di Internet, tentang pelakor yang merebut tahta istri sah. Tidak biasanya aku tertarik dengan hal remeh-temeh begini, tetapi ada satu nama yang membuat dahi ku mengeryit. Haruna Hariwijaya, nama perempuan yang pernah menjadi primadona ketika masa SMU dulu di Surabaya. Haruna adalah kakak kelas ku, teman Diana. Ia kini menjadi model majalah dewasa, pantas saja Haruna tak pernah ku jumpai lagi. Ternyata ia bermukim di Jakarta, dan terjun di dunia gemerlap. Sementara, aku melarikan diri ke USA. Tapi sayang karirnya sebagai model kurang begitu bersinar, hanya sensasi dan skandalnya yang mencuat. Ia memacari seorang putra konglomerat, yang sudah memiliki istri dan kini Haruna bisa berbangga diri menyingkirkan saingannya.
"Dion!" suara papa, terdengar menyentak pendengaran. Segera ku simpan gawai di saku celana, dan menatap lekat tuan Sasongko. "Iya pa, ada apa?" tanya ku cuek.
"Bisa gak, sekali saja dengar perkataan orang tua" Papa terlihat marah, karena aku mengabaikan beliau.
"Pa, jangan marah-marah terus. Ingat, apa kata dokter?" Diana kakak ku, mencoba meredakan emosi Papa. Ia mengusap lengan papa, yang ada di atas meja.
"Lihatlah anak lelaki ku, Ahmad. Ia semakin besar kepala, dan selalu saja menentang keinginan ku" ucap Papa, mengalihkan perhatiannya pada temannya.
"Seperti kata Diana, kamu harus jaga kondisi tubuh mu. Biarlah Dion dengan keinginannya, mungkin satu hari nanti ia akan sadar betapa pentingnya meneruskan bisnis keluarga" terdengar bijak, perkataan Om Ahmad di telinga ku. Tetapi tanggung, aku yang memang ilfil pada beliau jadi sebal mendengar nasehatnya.
"Aku pergi dulu. Maaf Om, ada yang lebih penting yang harus aku lakukan" aku beranjak pergi dari ruang makan, di bawah pandangan mata semua orang yang ada di sana.
"Dion!" sekali lagi, suara papa terdengar. Aku melenggang pergi, tanpa menghiraukannya. Cukup sudah, aku di bohongi selama ini. Mendengar papa tergolek lemah di ranjang rumah sakit, aku begitu syok dan terpukul. Namun ternyata hanya akal-akalan beliau saja, untuk memaksa ku pulang dan mengabdi padanya. 'Dasar laki-laki tua egois, gak pernah memahami sekali pun keinginan anaknya' gerutu ku dongkol.
Ku sulut zat mematikan yang di sebut orang cigaret, lalu mengisapnya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara. Tenang rasanya hati, setelah membakar sebatang rokok dan mengulangnya kembali dengan yang ke dua. Entah berapa lama, aku termenung sendiri di balkon kamar. Tamu papa sudah pergi sejam lalu, itu terlihat dari mobilnya yang ke luar halaman.Tetapi aku masih betah, menikmati kesendirian ku di sini.
"Dek!" tepukan pada bahu, mengembalikan ku dari lamunan. Kata 'dek' yang terucap dari bibir merah Diana, mengingatkan ku betapa sayangnya ia pada ku. Kata yang sudah lama tak ia ucapkan, kini kembali mampir di telinga.
"Iya kak" ku pegang tangan halusnya, yang kini berada di dalam genggaman ku. Tetapi, dengan perlahan ia menguraikannya. Kakak ku duduk bersisian, sambil mengangkat sebelah kakinya dengan anggun.
"Jangan lagi berbuat seperti itu, pergi ketika masih ada tamu. Apalagi beliau sahabat Papa, yang dulu bahu-membahu membesarkan firma hukum" selembut dan sehalus itu, suara Diana kakak ku. Pantas, kalau papa begitu sayang dan mempercayai Diana.
"Aku malas dengar pembicaraan soal bisnis, sepertinya gak ada yang lain saja" ucap ku kesal.
"Ya apalagi, mereka bertemu memang dalam rangka bisnis dan kebetulan Om Ahmad ada seminar di sini" Diana lantas berdiri, di pagar balkon kamar.
"Memangnya bisnis macam apa, yang mereka bicarakan?" tanya ku pada akhirnya. Rasa penasaran, kini menghinggapi jiwa ku.
"Klien Om Ahmad mengalami kesulitan keuangan, dan bermaksud mencari rekanan bisnis untuk menyuntikkan modal pada perusahaannya" ujar Diana menerangkan, tanpa ku minta.
"Oh...!"
"Kok, cuman oh sih?!" protes Diana, sedikit marah.
"Ya, terus aku harus ngomong apa?"
"Kamu gak tertarik untuk meng-akuisisi perusahaan itu" Diana melontarkan pendapatnya. "Siapa tau, gadis yang kamu incar jadi suka?" tanyanya penuh teka-teki.
"Maksudnya apa, Mbak?"
"Sok-sokan, gak tau! Kamu kan lagi pdkt sama anak baru, SPG bagian non food" sindirnya tajam.
"Mbak, kok tau sih?" tanya ku, makin penasaran.
"Hadeuh... Dion! Kamu ini adikku, setiap karyawan swalayan tau kalo Dion Arya ke sana pasti ada yang di incar."
"Setenar itukah, aku?"
Diana memutar bola matanya, ia terlihat gemas dengan kelakuan ku yang mungkin terlihat memalukan. "Iya, artis karbitan."
"Hahaha!" aku tertawa kencang, sampai airmata ke luar tanpa terasa. "Terus, aku harus berbuat apa? Supaya cewek yang ku taksir klepek-klepek" ucap ku lagi, sembari menghapus air mata.
"Terbanglah ke Jakarta bersama Om Ahmad, buatlah papa bangga dengan pencapaian mu" wajah serius Diana membuat ku yakin, bahwa kali ini harus bisa memberikan yang terbaik untuk papa. "Setelah berhasil, cewek itu pasti akan menerima mu dengan tangan terbuka."
"Kalo boleh tau, dengan siapa aku akan berpatner?" tanya ku, mengalihkan atensi.
"Dewa Hanggara, ia pemilik sekaligus owner beberapa butik ternama."
"Suami Haruna Wijaya, yang baru saja mendapatkan predikat suami terjahat versi netizen julid..."
"Wuih... Update juga adik ku ini" putus Diana, memotong ucapan ku. "Tapi jangan hanya gosip aja yang di perhatikan, sekali-kali coba lihat kenyataannya."
"Kenapa, ngomong kayak gitu? Apa karena, Haruna itu teman baiknya, Mbak Diana?" tanya ku heran.
"Enggak juga sih, kita udah jarang kontekan. Lagipula Mbak tau, kesibukan sebagai artis yang jobnya di mana-mana."
"Bukannya Haruna itu, terkenal karena sensasinya?"
"Mbak gak pernah ingin tau, kehidupan pribadi Haruna. Yang pasti jaman sekarang, kalo mau tenar secara instan banyak jalannya. Ya mungkin ia berbuat seperti itu, karena tuntutan pekerjaan."
"Ah Mbak ini gak asyik, padahal kita juga harus berpikir ulang untuk menanam modal di perusahaan Dewa Hanggara. Opini publik, bisa menjadi penyebab hancurnya suatu usaha."
"Oleh sebab itu, kita di tuntut untuk membersihkan nama baik perusahaan. Kita bisa mengganti sebagian direksinya, serta lakukan aksi-aksi sosial atas nama perusahaan. Atau beri konsumen diskon gede-gedean dan hadiah merchandise di setiap pembelian banyak. Jadi kita bisa menggiring publik, untuk kembali membeli dan memakai produk buatan kita."
"Ide Mbak brilian banget, gak salah kakak ku adalah Srikandi abad ini yang piawai mengelola bisnis" puji ku tulus. "Tapi aku riskan dengan keadaan perusahaan Dewa, sedikit saja salah perhitungan bisa jeblok produksi di pasaran."
"Kita bisa bentuk tim terlebih dahulu, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Semua tergantung kamu, yang akan menjalankan perusahaan" ucap Diana sedikit memaksa.
"Aku belum mahir mengelola bisnis, hidup ku selama ini hanya bersantai dan bersenang-senang. Jadi rasanya aku gak sanggup menerima tanggung jawab besar, yang papa inginkan" keluh ku pesimis, dengan keadaan.
"Jangan takut gagal, karena kegagalan adalah kunci keberhasilan yang tertunda. Mbak dan Mas mu Henry, akan membantu sekuat tenaga. Jadilah, laki-laki kebanggaan keluarga" ucap Diana, memberi ku semangat.
Ku tatap wajah kakak ku yang penuh dengan keyakinan, serta harapan besar agar aku bangkit mengalahkan keadaan.
****
yg ad hidupx sendirian nnt x