Jesika terpaksa menggantikan adik angkatnya untuk menikah dengan pria kaya, tapi mentalnya sakit. Namun, keterpaksaan itu membawa Jesi tahu akan seberapa tersiksanya kehidupan Jonathan dengan gangguan mental yang dia alami.
Mampukah Jesi menyembuhkan sakit mental sang suami? Lalu, bagaimana jika setelah sakit mental itu sembuh? Akankah Jona punya perasaan pada Jesi yang sudah menyembuhkannya? Atau, malah sebaliknya? Melupakan Jesi dan memilih menjauh. Temukan jawabannya di sini! Di Suamiku Sakit Mental.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
*Episode 28
"Tidak perlu berterima kasih, Jesika. Sudah sewajarnya papa melakukan hal itu, karena kamu adalah menantu papa, kan?"
Jesi tidak menjawab. Kata-kata itu seakan duri yang menyesakkannya kembali. Dia diinginkan oleh papa mertua, tapi ditolak oleh mama mertua. Apakah ini jalan hidup yang selalu harus dia tempuh. Karena sejak awal, dia juga sudah ditolak oleh mama angkat dulunya. Yang menginginkannya hanya papa. Di sini, juga di rumah lama itu sama saja.
....
Hari berlalu dengan cepat. Kondisi Jona semakin hari semakin terlihat membaik. Dia sudah sering keluar dari kamar sekarang. Meski tidak keluar dari pekarangan rumah, tapi dia tidak mengurung diri di kamar lagi.
Jona juga sudah bisa berinteraksi dengan orang lain dengan baik. Dia bisa makan di meja makan, juga sudah bisa menonton televisi di ruang keluarga. Ya, meskipun itu semua masih dilakukan bersama Jesi, tapi dia sudah jauh berubah sekarang.
Sementara itu, pagi ini Jesi terlihat sedikit berbeda dari biasanya. Pagi-pagi lagi, dia sudah terlihat rapi dengan pakaian sopan yang membalut tubuhnya.
"Kamu ... jadi berangkat ke makam papamu, Jes?" tanya Jona yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan Jesi ke kamarnya.
"Ya. Aku sudah siap sekarang." Jesi berucap dengan senyum manis di bibirnya.
Namun, senyum itu seketika memudar karena wajah Jona yang terlihat tidak bahagia. Jona sedang murung dengan tatapan yang sayu melihat ke bawah.
"Ada apa, Jo? Kenapa kamu sepertinya sangat tidak senang sekarang?"
"Kamu gak ngizinin aku pergi ya? Aku pergi gak akan lama kok, Jo. Hanya sebentar saja. Setelah berdoa, aku akan pulang."
Jona masih tidak menjawab. Dia masih tetap diam dengan tatapan yang sama seperti sebelumnya. Hal itu membuat Jesi sedikit kecewa. Diapun berusaha lagi untuk meyakinkan Jona akan kepergiannya ini.
"Jo, aku pergi gak akan lama kok. Dan, kamu tahu, kan? Kalo aku pergi itu karena ada sebabnya. Hari ini, adalah hari lahir papaku. Meskipun papa sudah tidak ada, tapi kami akan datang ke makamnya untuk berdoa."
"Aku tahu akan hal itu, Jes. Kamu pergi ada sebabnya. Tapi ... bisakah kamu ajak aku ikut serta? Aku juga ingin pergi," ucap Jona lirih.
Tentu saja ucapan itu langsung membuat Jesi kaget. Hal yang Jona murung kan ternyata karena dia tidak diajak.
"Ka-- kamu ... serius ingin pergi?"
"Tentu saja. Apa aku terlihat seperti orang yang sedang berbohong?"
"Bu --bukan begitu. Bukan begitu maksudku, Jo. Kamu ... ah, baiklah kalau kamu ingin ikut aku. Ayo kita pergi sekarang."
"Eh, tapi sebelum itu, kamu harus siap-siap terlebih dahulu. Hayo!" Jesi berucap sambil senyum.
Sekarang, ada hal yang semakin membuat hatinya bahagia. Juga ... sekaligus membuat hati Jesi sedih dan takut.
Semakin bersama dengan Jonathan, dia semakin merasa takut untuk melepaskan Jonathan. Tapi, perubahan Jonathan sekarang juga sangat membahagiakan buat Jesi. Seolah-olah, dia telah berhasil melakukan apa yang dia ingin lakukan.
Beberapa menit kemudian, Jona siap melakukan persiapan. Saat melihat Jona yang sudah rapi, Jesi seketika terpaku. Wajah pria itu semakin tampan saja sekarang. Tak kalah artis yang didandani supaya tambah menarik saat ingin tampil di depan semua orang.
Karena Jesi yang diam mematung, Jona terpaksa harus memanggil Jesi agar sadar dari lamunannya. Jona menyentuh pundak Jesi dengan pelan.
"Jes."
"Ah, iy --iya," ucap Jesi dengan gugup.
"Kenapa kamu diam? Apa aku tidak cocok dengan pakaian ini?"
Pertanyaan Jona itu membuat Jesi merona. Dia malu karena telah ketahuan memperhatikan Jona sampai Jona harus menyadarkannya dari lamunan.
"Ah, i-- itu ... itu, ngg-- nggak kok. Kamu, cocok dengan pakaian ini. Kamu ... tampan," ucap Jesi sambil nyengir kuda. Berusaha menyembunyikan rasa gugup yang sedang menguasai hatinya.
"Kamu yakin?"
Eh, Jona malah menggoda Jesi lagi. Tentu saja itu bikin Jesi semakin terpojokkan dan semakin tidak bisa menyembunyikan apa yang dia rasa.
"Tentu saja."
"Ayo berangkat sekarang!" ucap Jesi cepat sambil beranjak dengan langkah besar agar bisa menghindar dari Jona sesegera mungkin.
Jona tersenyum. Dia tahu kalau Jesi sedang berusaha menyembunyikan rasa gugup. Karena sebenarnya, rasa dan pikiran Jona kini sudah mulai normal. Dia sudah semakin pulih saja sekarang.
Jona dan Jesi berjalan beriringan menuruni anak tangga. Tentu saja ada banyak mata yang melihat mereka berdua yang turun dari lantai atas menuju lantai dasar rumah mewah tersebut. Dan, ada juga mata julid yang langsung menatap tak suka ke arah Jesi. Namun, sebagian dari pelayan itu setuju, kalau keduanya adalah pasangan yang paling serasi.