Yuna gadis yang usianya sudah cukup matang nan pekerja keras memiliki sifat terbilang sedikit galak. Sejak dulu hingga sekarang kedua orang tua Yuna meminta dirinya untuk menikah. Namun, permintaan itu Yuna tolak keras dengan alasan Yuna masih ingin bebas dan masih mau berkarir sebagai guru PNS di Sekolah SMA Bakti.
Akan tetapi, takdir berkata lain. Sebuah peristiwa mempertemukan dirinya dengan seorang pria bernama Biansyah Hermawan yang terkenal tukang onar di sekolahnya SMA Taruna.
Hingga pada akhirnya pernikahan beda umur itu terjadi dalam sekejap.
Bagaimana Yuna menyikapi pernikahannya bersama Bian yang lebih muda darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Masrianiani Hijab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Hangatnya sinar mentari pagi ini
memeluk setiap bagian tubuh yang masih kaku untuk beranjak dari tempat tidur. Dan menjadi teman
Dalam setiap perjalanan.
Ingin terasing dengan alam bebas.Terasing dalam sebuah lamunan. Ingin menyatu dengan alam bersama sinfon pagi memulai hari. Yuna membuka matanya dengan pelan dan melihat Bian sudah tidak di sampingnya.
Terdengar sayup suara Bian di luar sedang berbicara dengan seseorang. Namun, siapa?
Yuna melangkah dengan kaki putihnya menuju balkon kamar dan mendapati Bian menoleh kerahnya dengan ponsel di telinganya.
"Lakukan semuanya. Pastikan dia akan terkejut," jawab Bian di balik telepon dengan Yuna sudah disampingnya dipenuhi tanda tanya.
"Aku pasti akan datang. Tenang saja. Kita lihat apa reaksi mereka." lanjut Bian dan mengakhiri percakapannya.
"Kamu sedang berbicara dengan siapa, Bian?Kamu mau kemana? Apa kamu akan meninggalkan aku sendiri di sini? Aku tidak mau. kita pulang pagi ini."
"Hei, Siapa yang mau tinggalkan kami, Sayang. Yunaku sudah mulai gak bisa jauh dari Bian, ya?"
"Tidak usah gombal pagi-pagi. Katakan saja. Yang barusan siapa?"
"Pacar," goda Bian melirik Yuna.
"Pacar? Alea?" tanya Yuna lagi dengan ekspresi datar.
"Yunaku cemburu?" tanya Bian.
"Tidak. Siapa yang cemburu. Pacaran saja sana! Laki-laki tuh memang sama. Kalau sudah dapat apa yang di mau? Ya ... cari yang lain lagi."
"Katanya gak cemburu. Itu apa. Hayo... Mbak, ngaku. Cemburu, kan, sama Bian?" Bian melihat wajah Yuna. Yuna membuang muka.
"Helle, bilang saja, Yun lagi cemburu. Apa susahnya, sih mengakui perasaan."
Yuna memanyunkan bibirnya membuat Bian tertawa lepas. Ketika Yuna hendak masuk ke kamar, Bian lebih gesit merangkul pinggang ramping milik Yuna.
"Dia adalah asisten pribadi saya," jujur Bian pada akhirnya.
Yuna memalingkan sedikit wajahnya sehingga wajah keduanya begitu dekat. Yuna pun menyahuti. "Maksudnya kamu, Bian?"
"Kau akan tahu nantinya. Aku akan buktikan pada mereka bahwa aku bukan pria seperti yang mereka katakan."
"Aku idak mengerti maksudmu, Bian."
"Jangan pikirkan. Pikirkan aku saja. Ayo, kita bersiap pulang! Pagi ini aku antar kamu pulang. Aku ada urusan. Lain kali kita akan berbulan madu ditempat lain. Gimana?"
Yuna tersipu. Wajahnya merona. Kembali Bian menggodanya. "Aku masih mau."
"Bian, jangan lagi aneh, ya. Lepaskan aku."
"Tidak. Biarkan dulu aku memelukmu seperti ini." Bian semakin mengeratkan pelukannya hingga deru napas terdengar memburu.
"Aw... Yun, Ini sakit! Tega amat sama suami sendiri,Yun." Rintih Bian pada kaki kanannya karena Yuna menginjak kakinya.
"Siapa suruh kamu aneh lagi. Apa kamu tidak tahu aku masih sakit." Yuna tersenyum dan melenggang masuk.
Bian pun menyusul Yuna sampai di kamar Bian menggelitik Yuna hinga suara tawa keduanya terdengar.
***
Kini, Yuna dan Bian akan kembali ke rumah. Namun, justru Yuna bukannya pulang ke rumahnya. Melainkan Bian membawanya ke sebuah perumahan elit.
"Bian, kenapa kamu membawa aku kesini? Ini Rumah siapa? tampak masih rumah baru." Yuna melangkah masuk seorang diri meninggalkan Bian di luar rumah setelah mendapatkan kunci rumah dari Bian.
"Bagaimana. Kau suka rumahnya? ini memang baru. Baru kemarin penyerahan kunci. Selama ini aku renovasi."
Yuna tampak heran belum paham maksud Bian. Lalu kembali menimpali. "Bian, ini rumah siapa, punya bokap?"
"Ya... bukanlah. Ini rumah kita. Kau dan aku akan tinggal di sini membangun rumah tangga yang bahagia. Kelak kita punya anak mereka tidak akan mengemis pada kakeknya." jelas Bian dengan ekspresi datarnya mengingat wajah Tuan Hermawan.
"Bian, jelaskan padaku semuanya. Jangan membuat aku bingung." Yuna terus berjalan melihat keadaan rumah besar dua lantai itu. Rumah elit tersebut kalah besar milik Tuan Hermawan.
"Yun, sejak ayah sering merendahkan aku. Aku mulai belajar mandiri. Aku mati-matian bekerja keras dari sejak kelas satu SMA. Aku tanamkan dalam diriku, bahwa apa yang di tuduhkan Tuan Hermawan kepadaku akan aku buktikan di hadapannya dan akan aku pastikan dia menyesal dengan kesombongannya."
Yuna terus menyimak dan tidak percaya apa yang Bian katakan. "Terus?"
"Terus apa, Yun? Masuk lorong?" Canda Bian.
"Ceritanya, Biansyah. lanjutkan." ujar Yuna dan kini, mereka sudah di taman belakang dekat kolam. sungguh asri. Yuna tersenyum.
"Hingga pada akhirnya, aku mampu membangun sebuah perusahaan yang kuberi nama BIANGKARA. Yang bergerak dalam bidang Furniture rumah tangga," Lanjut Bian dengan bangga.
Yuna yang berjongkok bermain air, langsung menoleh melihat kearah Bian yang berdiri di belakangnya dengan gaya cool nya.
Yuna berdiri dan bertepuk tangan. memuji Bian. "Wow! Ternyata seorang Bian Adalah CEO perusahaan BIANGKARA? Aku seakan tidak percaya. Selama ini di sekolah kami kerap membeli produk milik perusahaanmu seperti sofa yang ada diruang kepala sekolah."
"Benarkah?" binar Bian tidak percaya.
"Iya, benar. Karena kualitasnya sangat bagus. 100 untukmu, Bian. Selamat, ya. Sukses terus untukmu."
"Tentu, sayang. Aku akan lebih sukses jika sudah punya anak 6 darimu." Tawa Bian melihat wajah Yuna kembali melebarkan matanya.
"Apa yang aku katakan itu jauh dari lubuk hatiku,Yun. Aku ingin memiliki anak darimu," ungkap Bian penuh kesungguhan bukan kepura-puraan.
"Sekolah saja dulu yang benar, Bian. masalah anak akan kita diskusikan kembali. Bagaimana seorang CEO perusahaan tidak memiliki Ijazah."
"Bisa? buktinya sekarang, Suamimu mendirikan perusahaan. Dan masih banyak yang tidak tahu siapa CEO perusahaan itu. Karena Sekertaris Haris yang aku percayakan. Ayah beliaulah yang memberiku dukungan saat itu."
"Aku salut padamu, Bian. Sukses terus, Bian."
"Tentu. Karena ada kamu yang akan mendukungku, Yunaku. Aku adalah pria paling bahagia mendapatkan wanita seperti kamu, Yuna," lanjut Bian. "Jadi, mulai hari ini kita tinggal di sini."
"Ya... gak bisa dong, Bian. Kita harus bicarakan dulu sama Ibu."
"Ya sudah. Terserah Mbak Yuna saja. Aku yang mana yang baiknya. Tapi, suatu hari rumah ini harus dihuni."
"Iya, Bian. Tentu."
"Bila perlu, bawa Ibu dan Anto di sini," lanjut Bian lagi.
"Kalau hal itu, Aku tidak bisa pastikan. Ibu mau atau tidak. Soalnya, rumah itu merupakan rumah peninggalan ayah Ibu yang banyak menyimpan kenangan masa kecil Ibu di sana."
"Oh, jadi itu bukan rumah yang dibelikan ayahmu?"
"Boro-boro. Mana ada. Ayah membawa sertifikat rumahnya sendiri bersama istrinya. Jangan bahas dia. Jika bahas dia, kepalaku serasa bertanduk empat."
"Serem dong. Takut." goda Bian.
"Iya. Makanya jangan bahas dia. Aku tidak suka dia dibahas."
"Iya deh, iya. Aku mengerti perasaan kamu. Ayo kita pulang! Saya harus menemui kolega bisnisku jam 10 sebentar. Aku sudah tidak sabar bertemu degan Kolega bisnis penting itu." Bian menautkan tangannya dengan Yuna dan mengandeng tangan Yuna keluar setelah berkeliling melihat-lihat rumah tersebut.
"Memangnya, siapa kolega bisnisnya. Kok bahagia sekali. perempuan, Ya?"
"Yun, kamu mulai bawel, ya? Bukanlah. Tapi, seorang pria yang sok kaya. Tuan Hermawan."
"Ha!" Yuna terkejut mendengarnya.
"Ha... he... ho... kenapa tuh muka?" Bian rasa lucu.
"Ya... aku bayangkan saja seperti bagaiman nanti pertemuan kamu degan Ayah kamu."
"Aku akan merekamnya. Seperti bagaimana ekspresinya. Kita lihat saja nanti." Bian sudah tidak sabar menanti momen itu.
"Yun, tunggu."
"Apa bian?"
"Aku dengar bisikan angin sampaikan pesanmu padaku. Aku rasakan tetesan embun sebagai lambang kasih sayangmu. Kulihat pelangi hati sebagai gambaran cintamu padaku. Kurasakan ketulusan, kejujuran, dan kesetiaanmu padaku. Kini aku menyadari bila dirimu kau sangat sayang padaku. Tapi semua terasa menjadi tiada indah tanpa dirimu. Kan kujaga semua yang pernah kau berikan padaku, cinta. Yunaku.
Yuna berbunga menyimak kata demi kata dari Bian. "Aku juga mencintaimu, Bian."
***
Ayo, Bian... Tunjukkan siapa dirimu. Bila perlu buat Tuan Hermawan bangkrut. 🤣🤣🤣
Ayo, Tinggalkan komentarnya di bawah setuju gak dengan SARAN AUTHOR. ATAU MAU DI APAKAN TUAN HERMAWAN. 🤣🤣🤣🤣