NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tak Terduga By Leo Nuna

Cinta Yang Tak Terduga By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / Romansa Fantasi / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:5k
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Neo terbiasa hidup dalam kekacauan.
Berantem, balapan liar, tawuran semuanya seperti rutinitas yang sulit ia hentikan. Bukan karena dia menikmatinya, tapi karena itu satu-satunya cara untuk melampiaskan amarah yang selalu membara di dalam dirinya. Dia tahu dirinya hancur, dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak peduli.

Setidaknya, itulah yang dia pikirkan sebelum seorang gadis bernama Sienna Ivy masuk ke hidupnya.

Bagi Neo, Sienna adalah kekacauan yang berbeda. Sebuah kekacauan yang membuatnya ingin berubah.
Dan kini, dia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya akan dikirim ke Swiss jauh dari Sienna, jauh dari satu-satunya alasan yang masih membuatnya merasa hidup.

Sienna tidak terima. "Biar aku yang atur strateginya. Kamu nggak boleh pergi, Neo!"

Neo hanya bisa tersenyum kecil melihat gadis itu begitu gigih memperjuangkannya.

Tapi, bisakah mereka benar-benar melawan takdir?
Yuk, kawal Neo-Siennaꉂ(ˊᗜˋ*)♡
Update tiap jam 14.59 WIB

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CYTT(Part 25) Keputusan di Tengah Kabut

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Malam itu, usai percakapan yang penuh emosi dengan Sienna, Neo duduk diam di balkon kamarnya. Angin malam Swiss yang menusuk tak terasa sebanding dengan beban yang menggelayuti dadanya. Suara Sienna masih terngiang jelas dalam pikirannya—patah, rapuh, nyaris pecah ketika dia berkata, "Aku cuma… takut kehilangan kamu."

Neo menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, matanya menatap langit yang bertabur bintang. Suasana tenang di sekitarnya kontras dengan gelisah yang bergejolak dalam benaknya.

Dia tahu, menjaga hubungan jarak jauh bukan hal mudah. Waktu, jarak, dan kenyataan bahwa dunia terus bergerak—membawa orang-orang baru ke dalam kehidupan mereka—semuanya menjadi ujian yang tak pernah ia duga sesulit ini.

Namun, jauh di lubuk hatinya, Neo tahu satu hal yang tak berubah, Sienna tetap menjadi pusat semestanya.

Meski kadang langkahnya terseok dalam keraguan, dia tak pernah benar-benar berpaling. Karena untuknya, Sienna bukan sekadar kenangan—dia adalah rumah yang selalu ingin dituju, tak peduli seberapa jauh dunia membawanya pergi.

Masih di balkon, dengan ponsel di tangan, Neo menatap layar kosong cukup lama. Berkali-kali ia membuka dan menutup aplikasi pesan, jari-jarinya menggantung di atas keyboard virtual tanpa tahu harus mulai dari mana.

Tapi akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia mulai mengetik. Neo berhenti sejenak, menatap langit lagi, lalu melanjutkan. Jarinya mengetik lebih cepat sekarang, seperti akhirnya ia tahu apa yang ingin ia sampaikan sejak tadi.

Neo memandangi pesan yang sudah ia ketik, menimbang-nimbang sejenak. Lalu dengan satu sentuhan, dia menekan tombol kirim.

Ponselnya diletakkan kembali di pangkuan. Tak ada ekspektasi, tak ada harapan berlebih. Hanya kejujuran yang ia kirimkan malam itu—dengan harapan, Sienna bisa merasakannya.

Karena terkadang, kata-kata yang dikirim dari kejauhan, bisa menjadi pelukan paling nyata.

Keesokan paginya, kabut tipis masih menggantung di halaman sekolah, membawa hawa dingin yang menelusup perlahan ke sela-sela lorong. Suasana masih sepi ketika Neo melangkah menuju kelas. Kepalanya sedikit tertunduk, pikirannya masih berat oleh percakapan semalam.

Langkahnya terhenti saat melihat seseorang berdiri di dekat papan pengumuman.

Dia adalah Luna.

Gadis itu tampak fokus membaca selebaran lomba fotografi yang tertempel di sana. Rambutnya diikat rapi, dan cardigan cokelat muda yang ia kenakan membuatnya tampak hangat di tengah udara pagi yang menusuk.

Saat menyadari kehadiran Neo, Luna menoleh. Senyum kecil mengembang di wajahnya.

“Hai,” sapanya pelan.

Neo mengangguk singkat. “Pagi.”

Luna diam sesaat, lalu menatapnya hati-hati. “Kamu kelihatan capek. Kamu nggak apa-apa?”

Neo terdiam sejenak. Pikirannya masih tersisa di malam sebelumnya—di panggilan emosional bersama Sienna, pada suara yang rapuh dan pertanyaan yang belum sempat dijawab.

“Cuma kurang tidur,” jawabnya akhirnya.

Luna menunduk sebentar, seperti mengerti lebih dari yang diucapkan. “Aku tahu mungkin kehadiranku bikin kamu canggung. Tapi... jujur aja, aku nggak punya banyak teman di sini. Dan, entah kenapa, aku ngerasa nyaman ngobrol sama kamu.”

Neo menatapnya lama. Tatapannya kali ini bukan tajam, juga bukan datar. Lebih kepada diam—penuh pertimbangan, seolah sedang mencoba mengenali garis batas antara rasa simpati dan perasaan lain yang mungkin belum seharusnya tumbuh.

“Gue cuma nggak mau bikin orang salah paham” ucap Neo pelan, tapi nadanya tetap tegas.

Luna tersenyum tipis. Nggak ada kekecewaan di matanya—yang ada justru tatapan tenang, seolah dia udah siap denger jawaban itu. “Aku ngerti, kok. Aku juga nggak akan aneh-aneh. Aku cuma... ingin punya teman. Kalau kamu nggak keberatan.”

Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Tak ada kata-kata, hanya pertukaran tatapan yang tenang dan jujur.

Lalu, perlahan, Neo mengangguk. “Oke.”

Dan untuk pertama kalinya, Luna tertawa kecil—lepas dan ringan, seperti beban yang diam-diam ia pikul selama ini ikut luruh bersama kabut pagi yang mulai menghilang.

Sementara itu, di Indonesia, Sienna menatap layar ponselnya berulang kali. Pesan terakhir dari Neo masih terbaca jelas, tapi belum juga ia balas. Bukan karena marah—melainkan karena pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar di kamarnya.

Hingga akhirnya, dengan satu tarikan napas, Sienna membuka laptopnya. Ia masuk ke email, mengetik perlahan namun pasti. Subjeknya tertulis jelas:

Subject: Permohonan Pindah Sekolah

Jantungnya berdetak lebih cepat, tapi jemarinya terus menari di atas keyboard. Kalimat demi kalimat tertulis rapi. Ya, Sienna sudah membuat keputusan. Ia akan menyusul Neo ke Swiss—dan akan membicarakan semuanya nanti dengan Papa Satya dan Mama Sonia.

Dia tidak ingin menunggu lebih lama.

Jika hatinya ingin tenang, maka satu-satunya jalan adalah melangkah. Dan langkah itu kini sudah jelas, menyusul seseorang yang selama tiga tahun ini jadi rumahnya, bahkan dari kejauhan.

Sienna menatap layar laptopnya, matanya mulai berkaca-kaca. Namun, perlahan, senyum kecil muncul di wajahnya—tipis, tapi tulus.

Air mata itu tak sempat jatuh. Hanya menggantung di pelupuk mata, seolah enggan turun karena sesak di dadanya mulai mengendur.

Entah keputusan ini benar atau salah, ia belum tahu. Tapi satu hal yang pasti—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Sienna merasa hidupnya benar-benar miliknya sendiri. Bukan milik harapan orang lain. Bukan milik rencana siapa pun, selain dirinya.

Hari itu, ia menghabiskan waktu dengan menyiapkan dokumen-dokumen penting—berkas perpindahan sekolah, formulir, dan beberapa surat resmi.

Rasa takut masih ada—wajar, mengingat Papa Satya bukan orang yang mudah diajak berdiskusi soal masa depan.

Namun di sisi lain, Sienna sadar, jika ia terus diam, ia tak hanya akan kehilangan Neo, tetapi juga dirinya sendiri.

Keputusan itu kini telah bulat.

Beberapa hari sebelumnya, rumah terasa lebih sepi dari biasanya. Papa Satya dan Mama Sonia sedang berada di luar kota untuk urusan dinas masing-masing, meninggalkan rumah hanya dengan ART dan kesunyian yang menyesakkan.

Di satu sisi, itu memberinya waktu untuk berpikir jernih—menimbang semua hal tanpa tekanan langsung dari orang tuanya.

Kini mereka telah kembali. Rumah kembali terasa penuh, tapi juga kembali dipenuhi ketegangan yang selama ini ia coba redam. Sienna tahu, waktunya telah tiba. Ia tak bisa terus menunda.

Sore itu, suasana rumah cukup tenang. Suara televisi dari ruang keluarga hanya menjadi latar samar. Sienna menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Di ruang tamu, ia melihat Mama Sonia duduk membaca majalah.

“Mama,” panggilnya pelan.

Mama Sonia menoleh, sorot matanya langsung waspada. “Ada apa?”

Sienna menarik napas panjang. “Aku mau bicara. Tapi... aku harap Mama mau mendengarkan dulu, tanpa menyela.”

Mama Sonia menutup majalahnya dan duduk lebih tegak. “Baik. Katakan.”

Dengan suara tenang namun tegas, Sienna membuka pembicaraan.

“Aku sudah memikirkannya dengan baik-baik. Aku tahu Papa dan Mama punya rencana besar untukku. Tapi aku juga punya hak atas hidupku sendiri. Dan sekarang, aku sudah membuat keputusan.”

Mama Sonia tak berkata apa-apa, hanya menatap putrinya lekat-lekat.

"Aku mau pindah sekolah ke Swiss. Bukan cuma karena Neo, tapi juga karena aku pengin berkembang di tempat yang bisa bikin aku jadi diri sendiri. Swiss adalah pilihanku, bukan pelarian.”

Raut wajah Mama Sonia tampak terkejut, tapi dia tetap diam.

“Aku sadar ini keputusan besar. Tapi kalau aku terus berada di sini, aku hanya akan hidup di bawah bayang-bayang ekspektasi. Aku ingin membuktikan bahwa aku bisa bertanggung jawab atas pilihanku sendiri.”

Beberapa saat, tak ada yang berbicara. Hanya suara detik jam di dinding yang terdengar.

Akhirnya, Mama Sonia menghela napas. “Papa kamu sudah tahu?”

Sienna menggeleng. “Belum. Aku akan bicara dengan Papa malam ini.”

Mama Sonia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya kembali. “Kalau itu pilihanmu, Mama harap kamu siap dengan segala risikonya. Karena begitu kamu melangkah keluar dari lingkaran ini, kamu tidak bisa lagi mundur.”

Sienna mengangguk mantap. “Aku tahu, Ma. Dan aku siap.”

Malam pun tiba. Papa Satya pulang lebih awal dari biasanya. Wajahnya tampak lelah usai perjalanan dinas, namun sorot matanya tetap tegas. Makan malam berlangsung dalam keheningan. Tak ada percakapan, hanya suara sendok dan garpu yang beradu.

Hingga akhirnya, Sienna meletakkan sendoknya dan menatap ayahnya lurus.

“Pa, aku mau bicara.”

Papa Satya menoleh, menaikkan alis, tapi tetap diam.

“Aku mau pindah sekolah ke Swiss.”

Ruangan langsung sunyi. Satya yang baru keluar dari ruang kerja menatap putrinya, wajahnya berubah kaku.

“Kamu serius?” tanyanya, nadanya tak sekeras yang Sienna kira, tapi jelas terdengar tak senang.

Sienna mengangguk. “Aku tahu ini keputusan besar, dan aku udah mikirin semuanya. Aku siap.”

“Siap?” Satya mengulang, kali ini dengan nada lebih tinggi. “Kamu pikir hidup di luar negeri itu semudah pergi liburan? Kamu masih SMA, Sienna. Hidup kamu bukan cuma soal perasaan sama pacar!”

Tatapan Papa Satya langsung tajam. “Apa karena Neo?”

Sienna tak mengalihkan pandangan. “Salah satunya, iya. Tapi bukan hanya karena dia. Aku ingin belajar hidup mandiri. Bukan hanya menjadi bagian dari rencana Papa. Aku ingin menulis rencana hidupku sendiri.”

Hening kembali menyelimuti ruangan. Udara terasa berat, menekan.

Namun yang keluar dari mulut Papa justru bukan amarah, melainkan suara yang jauh lebih tenang dari yang Sienna bayangkan.

“Kapan kamu berangkat?”

Sienna terpaku. “Apa... Papa setuju?”

Papa Satya perlahan bangkit dari kursinya. Sorot matanya tajam, namun tidak lagi penuh amarah—melainkan tegas, seperti seseorang yang sudah mengambil keputusan dan tidak ingin membalikkan arah.

“Papa tidak setuju,” ucapnya dengan nada dalam. “Tapi kalau kamu merasa sudah cukup dewasa untuk mengambil keputusan ini… maka kamu juga harus cukup dewasa untuk menanggung semua konsekuensinya.”

Kata-katanya menggantung di udara, berat, namun penuh makna.

Papa Satya menghela napas panjang, lalu berbalik menuju ruang kerjanya. Namun sebelum benar-benar pergi, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh, “Kamu tetap anak Papa. Dan karena itu, kamu tetap akan mendapat dukungan... meskipun mungkin tidak seperti dulu.”

Sienna terdiam. Air mata menggenang di pelupuk matanya—bukan karena sedih, tetapi karena untuk pertama kalinya, ia merasa suaranya didengar. Pilihannya, meski tak sepenuhnya diterima, diakui sebagai sesuatu yang nyata.

Dan di tengah segala ketidakpastian yang menyelimuti hidupnya sekarang, pengakuan itu… sudah lebih dari cukup.

»»——⍟——««

Hallo semua✨

Sebelum makasih udh mampir🐾

Buat yg suka cerita aku mohon dukungannya ya, biar aku semangat updatenya💐

Dan jangan lupa follow akun ig aku @nuna.leo_ atau akun tiktok aku @im.bambigirls. Karena disana aku bakal post visual dan beberapa cuplikan.

Oke see you semua!(⁠◠⁠‿⁠◕⁠)

1
Saryanti Yahya
karya yg cukup bagus, lanjut thor, semangat
Leo Nuna: Makasih Kak😻
total 1 replies
Suluk Pudin99
Semoga sya jga sperti cinta mereka ,tak terduga.Sampai ke pelaminan,Amin Allahumma istajib dua,na ya Robb🤲🏻🤲🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!