15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 - Rasa penasaran
Benar saja, Steven menemui Marco sang adik ipar dikantornya. Sayang, yang bersangkutan tengah rapat bersama para direksi.
"Masih lama?" tanya Steven pada sekretaris Marco.
"Sepertinya sebentar lagi Pak. Kan sebentar lagi makan siang," sahut perempuan manis berlesung pipit itu ramah.
"Kalo gitu boleh saya nunggu diruangannya?"
"Oh, mari saya antar," ucap sang sekretaris itu lalu mengantar Steven ke ruangan kerja Marco. Hampir seluruh penghuni di kantor itu tahu siapa Steven. Jadi lelaki itu pun sudah tidak canggung lagi berkunjung ke Perusahaan MM Gemilang milik suami dari adik perempuannya.
"Minum apa Pak?" tanya sekretaris itu setelah Steven dipersilahkan menunggu dan duduk di sofa.
"Air mineral saja," sahut Steven tidak ribet.
"Baik, kalau gitu saya permisi,"
Steven hanya mengangguk dan membiarkan sekretaris Marco itu berlalu keluar ruangan.
Belum sempat Lelaki itu meneliti dan mengamati plakat-plakat berjejer rapi yang dipajang dalam lemari, suara pintu ruangan terbuka lagi. Steven yang sedang menunduk mengamati isi lemari kaca itu pun mendongak, dan Marco datang begitu gagahnya datang bersama Galang dan satu staf lainnya. Mereka nampak masih membahas proyek yang tengah dikerjakan meski ini sudah waktunya makan siang. Wibawa dan kharisma Marco terpancar dari tubuhnya yang sekarang sedikit lebih gemukan. Apalagi jas rapi bermerk mahal yang menegaskan status sosialnya. Marco memang paling mendominasi diantara lelaki lain di sebelahnya.
Marco cukup terkejut dengan kedatangan Steven yang tidak ada konfirmasi sebelumnya. Begitu juga dengan Galang, ia kaget dengan adanya suami dari Rimba dikantornya ini.
"Kamu coba pelajari lagi dulu proposalnya bareng Shifa. Nanti kalo emang nggak ada celah yang bisa merugikan pihak kita, biar saya yang ambil keputusan, nggak perlu kita jauh-jauh ke Sydney. Saya akan kontek langsung Mr. Paul," jelas Marco profesional.
"Siap Pak Marco! kalau gitu saya kordinasi dengan Shifa" ujar Galang yang baru dipromosikan jabatannya sebagai manager teknik itu mantap.
"Oke, kalian bisa kembali ke ruangan masing-masing. Selepas jam makan siang nanti kita bahas kembali," ujar Marco.
Galang dan satu staf lainnya itupun mengangguk. "Sampaikan salam saya buat Rimba," ucap Galang pada Steven yang hanya diam tak menyapanya. Bukan bermaksud sombong atau pura-pura tidak kenal, Steven hanya bersikap profesional saja. Ini dikantor, bukan dirumah.
"Ya, nanti saya sampaikan," jawab Steven akhirnya sedikit menyunggingkan senyum pada kakak ipar yang usianya masih 4 tahun dibawahnya itu.
.
"Ada apa?" tanya Marco selepas Galang dan staf lainnya itu pergi.
"Aku lagi butuh saran?"
"Ya?" Marco mengernyitkan keningnya. "ada masalah kah?" tanyanya.
Belum sempat menjawab pertanyaan Marco tiba-tiba sekretaris Marco mengetuk pintu ruangan dan membawakan sebotol air mineral pesenan Steven dan segelas kopi untuk atasannya, Marco.
"Cla, tolong kamu pesankan saya makan siang ya! saya nggak keluar, makan disini saja," perintah Marco pada Clara sang sekertarisnya itu.
"Baik, Bapak mau makan apa?"
"Seperti biasa masakan Jepang. Emmhh...." Marco berfikir sejenak. "Sukiyaki beef rice, chicken katsu curry udon seperti biasanya. kamu makan apa, Steve?" tanyanya kali ini pada Steven.
Mendengar kata Jepang membuat pikiran Steven jadi terbelah.
"Hey!" panggil Marco membuyarkan lamunan Steven. "pesen apa?" tanyanya.
"Ya? hmm, samakan saja," sahut Steve.
"Masing-masing dua porsi," pinta Marco pada Clara. "Kamu udah makan?" tanyanya.
"Mungkin setelah ini Pak," jawab Clara.
"Kalau gitu sekalian pesen 3, satunya buat kamu. Kamu bisa makan siang diruangan kamu tanpa harus keluar. Hemat waktu kan?" ujar Marco pada sekertarisnya.
"Ah, terimakasih Pak. Kalau gitu saya pesankan dulu via online. Permisi," ucap Clara terlihat senang. Pasalnya perempuan itu memang tengah berhemat untuk persiapan pernikahannya dua bulan lagi.
"Kau menyukai masakan Jepang?" tanya Steven iseng setelah sekertaris Marco itu pergi.
"Baru-baru ini, sejak kenal Tuan Hideyoshi. Kami melakukan kontrak kerjasama dengan perusahan Tokai Asahi di Tokyo beberapa bulan lalu," sahut Marco terkekeh. "Kenapa emang?" tanyanya kemudian.
Benar saja dugaan Steven. Dia merasa tak asing dengan nama Hideyoshi. Ia masih ingat saat Mitha meminta dirinya menginap dirumahnya waktu itu karena anak Mitha tengah demam tinggi, sementara Marco sedang berada di Tokyo menemui Presdir perusahaan Tokai Asahi, Tuan Hideyoshi.
Nama itu memang terdengar pasaran bila Jepang. Tapi yang membuat Steven yakin kalau orang itu adalah orang yang sama karena Sean mengatakan kalau ayah tiri dari gadis yang mirip Rimba itu bukan orang sembarangan. Ia seorang pengusaha ternama.
"Waktu itu aku pernah cerita tentang gadis kecil yang selama ini aku tunggu dan aku cari padamu kan?"
"Ya, Rimba kan maksud mu? kenapa?" sahut Marco sambil mengesap kopinya mumpung masih panas.
Steven membasahi bibir bawahnya, "Ada kemungkinan kalo Rimba itu bukan gadis cilik yang aku cari selama ini," ucapnya mulai bercerita.
"Heh?" Marco hampir tersedak mendengar penuturan Steven. "Wait! maksudnya gimana?" tanyanya bingung.
Steven akhirnya menceritakan semuanya kepada Marco. Mulai dari kedatangan Sean dari Paris, sampai kecurigaannya tentang siapa gadis cilik masalalu Steven yang selama ini dicarinya selama kurang lebih 15 tahun belakangan ini. Termasuk tentang latar belakang perempuan bernama Rimiko dan nama kedua orangtuanya, Akiyo dan Hideyoshi.
"Kau coba pikir gimana rasanya ada diposisi ku? aku baru saja nikahin Rimba, dan kabar ini datang tiba-tiba seperti menggoyahkan keputusan ku buat memantapkan hati selamanya ke dia," ujar Steven jujur.
Marco tertegun dan segera menyimpan cangkir kopinya kembali keatas meja.
"Pelik juga!" kritik Marco setelah ia memikirkan kalimat apa yang pantas untuk mendeskripsikan kebingungan Steven.
"Apa perlu saya temuin gadis ini untuk memastikan? cuma itu yang bisa ngasih jawaban yang sebenarnya," tanya Steven meminta saran.
"Kalau memang itu nggak memicu masalah antara kau dan Rimba, lakukan aja dari pada penasaran terus. Mantapkan dulu perasaan kamu buat Rimba. Aku yakin, kamu itu cintanya sama Rimba," nasehat Marco bijak.
Steven manggut-manggut. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa jika akhirnya pun gadis bernama Rimiko itu gadis kecilnya dulu, tetap saja yang ia cintai saat ini adalah Rimba. Tidak peduli jika antara dirinya dan Rimba tak terikat apapun dengan masa lalu.
Tak lama kemudian, Clara datang kembali dengan membawa kotak makanan pesanan bosnya itu. "Ini Pak, makan siang sudah datang," ucapnya.
"Terimakasih, Cla."
"Sama-sama Pak Marco," perempuan itu mengangguk dan berpamit kembali.
"Aku akan bantu cari tahu tentang keluarga Tuan Hideyoshi. Apakah benar Rimiko itu anaknya, atau anak dari Hideyoshi yang lain," ujar Marco mulai penasaran. "Tapi sekarang kita makan dulu," pintanya sambil membuka kotak makan itu dan langsung melahapnya.
Steven mengangguk lemah. Ketimbang pusing memikirkan mengenai siapa sebenarnya malaikat kecil yang selama ini dicarinya, mending juga makan. Tak lama ponselnya bergetar. Nama Rimba my wife muncul untuk kesekian kali di layarnya tapi Steven sedang tidak ingin bicara apapun pada Rimba. Hatinya tidak ingin menyalahkan Rimba karena memang Rimba tidak tahu apapun tentang masa lalu kelamnya.
"kok nggak diangkat? kalian sedang berantem?" tegur Marco tak tahan juga untuk bertanya.
"Nggak apa-apa, abis ini nanti aku telpon balik," jawab Steven kemudian sama-sama mulai melahap makanan jepang yang dipesan Marco.
.
.
.
Rasa penasaran itu terus-menerus memenuhi benaknya hingga memberikan getaran aneh di hatinya. Namun perlu diketahui juga bahwa penasaran itu ibarat pisau bermata dua. Disatu sisi sangat berguna, dan disatu sisinya lagi bisa membuat luka.