SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27. Everything Goes Fine
Everything Goes Fine
(Semua berjalan dengan baik)
***
Jakarta
Tama
"Jadi itu, alasan kamu ... ngasih nomor walikelas. Daripada nomor Mama kamu?"
Icad kembali menundukkan pandangan.
Sementara anak laki-laki di sebelah Icad, masih sibuk menghitung jemari sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Kamu lebih percaya sama walikelas ... daripada Mama kamu sendiri?"
Icad mengangkat kepala dan menatapnya datar.
"Saya pikir ... orang pertama yang berhak tahu tentang keadaan kamu ... adalah Mama kamu. Bukan orang lain."
"Saya nggak mau Mama sedih," jawab Icad dengan wajah murung.
Ia tersenyum, "Kamu memang nggak boleh buat Mama kamu sedih."
Mulut Icad terlihat berkedut. Sepertinya ingin mengucapkan sesuatu. Tapi tertahan. Bibir yang sudah setengah terbuka itu terkatup kembali. Icad tetap diam, sama sekali tak menanggapi pernyataan pancingannya.
Sementara anak laki-laki di sebelah Icad, kini telah beralih menghitung jumlah botol air mineral yang tersimpan di atas meja.
"Satu ... tiga ... lima ...."
"Gimana bisa ikut tawuran?" tanyanya ingin tahu. "Itu teman kamu?"
"Kakaknya teman," jawab Icad singkat.
"Teman kamu yang sekarang dirawat di rumah sakit?" tebaknya.
Icad mengangguk.
"Kalian cuma berempat atau ada yang lain?" ia kembali bertanya.
"Cuma berempat."
"Kalian yang nantangin duluan? Atau cari ribut?" selidiknya.
Icad menggeleng, "Kena sweeping di atas bus."
"Kamu kenal sama anak-anak yang bawa senjata tajam?"
Icad kembali menggeleng.
"Pernah terjebak tawuran berapa kali?" ia menyipitkan mata.
"Baru pertama."
Ia manggut-manggut, "Ini juga pertama kali ... kamu dibawa ke kantor polisi?"
Icad mengangguk.
"Sebelas ... tiga belas ... lima belas ...." anak laki-laki di sebelah Icad, sekarang sudah berjongkok di depan meja. Mengamati jumlah botol air mineral dengan sungguh-sungguh.
"Apa kamu pikir ... di hari menjelang malam seperti sekarang ini, Mama kamu nggak khawatir ... karena kamu belum pulang ke rumah?"
"Mama sampai rumah menjelang Isya," jawab Icad dengan muka ditekuk.
"Oh ...." ia baru teringat. "Mama kamu biasa pulang kerja jam segitu?"
Icad mengangguk.
"Bagus ... bagus ... bagus ...." anak laki-laki di sebelah Icad, kini tak lagi sibuk menghitung jumlah botol air mineral. Tapi telah beranjak menuju ke depan meja kerjanya. Mengagumi seperangkat komputer yang tersimpan di atasnya.
"Ko!" panggil Icad setengah menggerutu. Langsung bangkit lalu menarik tangan anak laki-laki tersebut agar duduk kembali.
"Nggak boleh kemana-mana. Duduk yang baik!" sungut Icad memberi peringatan.
"Itu bagus ... itu bagus ... itu bagus ...." gumam anak laki-laki tersebut, seraya menunjuk-nunjuk ke atas mejanya.
"Sssttt!" tapi Icad kembali menggerutu. "Duduk. Nanti Boni marah!"
"Boni?" tiba-tiba wajah anak laki-laki itu berubah sedih. "Boni sakit ... Boni sakit ...."
"Sssttt!" Icad melotot menyuruh diam.
"Sssttt! Sssttt! Sssttt!" anak itu kembali mengikuti ucapan Icad.
Ia mengembuskan napas panjang, "Kamu senang ... Mama kamu kerja?"
Well, pertanyaan macam apa ini? batinnya sambil tertawa dalam hati.
Tapi ia harus mulai membangun komunikasi yang sehat dengan anak pemberani ini. Dan topik tentang Mama, sepertinya menjadi hal yang paling menarik untuk dibahas.
Namun Icad justru diam seribu bahasa. Sama sekali tak merespon pertanyaan penuh tendensiusnya.
"Kamu lebih senang ... kalau Mama di rumah dan nggak kerja. Begitu?" tebaknya di antara rasa ingin tahu yang cukup menggelitik.
"Apa ini masih termasuk dalam proses penyidikan?" tanya Icad seraya menatapnya datar.
"Kalau saya nggak menjawab, apa dianggap melawan petugas?" tatapan mata Icad tetap datar namun menghujam.
Membuatnya tak mampu menahan tawa. Skakmat. Skor sementara dirinya 0 : Icad 1. Hmm, wanna play with me, buddy (ingin bermain-main denganku)?
"Menurut kamu?" ia sudah berpengalaman menghadapi berbagai macam tipe karakter manusia. Tapi menangani anak menjelang ABG, yang terang-terangan berani menatap matanya dengan ekspresi datar. Jelas akan menjadi pengalaman yang sangat menarik.
Kepala Icad kembali tertunduk dengan muka dilipat sepuluh kali. Masam bukan main.
Namun proses membuka gerbang komunikasi dengan anak jelang ABG yang berkarakter kuat ini, harus tertahan sementara waktu. Ketika seorang anggota mengetuk pintu ruangannya untuk meminta tanda tangan.
"Tunggu sebentar," ujarnya ke arah Icad, yang masih menundukkan kepala dalam-dalam.
Lalu beranjak ke mejanya. Mendengarkan laporan, memberi arahan, sekaligus menandatangani berkas yang diajukan.
***
Icad
Dari sudut mata, ia diam-diam memperhatikan pria yang sedang duduk di belakang meja.
Pria berkaos biru gelap, yang kemarin berkunjung ke rumahnya bersama akung dekgam. Pria yang mengobrol dengan mama di dapur. Juga pria yang selalu menatap wajah mama, di saat mama tak menyadarinya.
Semula, ia merasa sedikit kesal karena harus bertemu dengan pria yang tak disukainya. Tapi jauh di dasar hati terbersit rasa syukur. Sebab kemunculan pria tersebut, sedikit banyak bisa mengurai ketakutan yang menggumpal di dada. Sekaligus memberi harapan, bahwa dirinya akan baik-baik saja.
Namun bukan berarti ia mulai menyukai pria, yang kini sedang memberi perintah dengan bahasa yang tegas dan lugas pada bawahannya. Sebab sebaik apapun kesan yang ditampilkan oleh pria tersebut, tetap tak mampu menandingi kehebatan satu-satunya sosok, yang terpatri abadi di hatinya. Yaitu Teuku Iskandar Muda, ayah terhebatnya.
Diam-diam ia masih memperhatikan pria, yang kini sedang membubuhkan tanda tangan itu. Sementara Ko Rafa kembali asyik menggumamkan sederet angka. Menyesuaikan dengan jumlah permen yang ada di dalam toples.
"Satu ... tiga ... lima ...."
"Lapor, Pak!" begitu sejumlah orang keluar masuk ke dalam ruangan. Menyibukkan pria di belakang meja selama beberapa menit.
Ketika orang terakhir keluar ruangan, pria tersebut beranjak dari balik meja dan kembali menemuinya di sofa.
"Om harus minta maaf nih," ucap pria tersebut dengan wajah menyesal. "Karena Om nggak bisa membantu."
Jantungnya mulai berdegup kencang. Apakah mama sudah mengetahui keberadaannya di kantor polisi?
"Mama kamu sudah ada di sini."
Kepalanya langsung tertunduk lesu.
"Sekarang sedang menunggu di ruang rapat bersama orangtua yang lain."
"Om yang ngasih tahu Mama?" tuduhnya dengan kepala tetap tertunduk.
"Maunya begitu," pria tersebut tertawa. "Tapi keduluan sama orang lain."
Ia menelan ludah. Ternyata keputusannya untuk menuliskan nomor telepon bu Reni, tak berjalan seperti yang diinginkan. Terbukti, ia tak bisa menyembunyikan keadaan dari mama. Mama bahkan sudah berada di tempat yang sama dengannya.
"Sekarang, kamu bergabung dulu dengan yang lain."
Ia mendongak.
"Nggak perlu ikut tes urine dan pemeriksaan lainnya," sambung pria tersebut seolah bisa mengerti kekhawatirannya.
"Cukup ikut pengarahan dari petugas sebelum diperbolehkan pulang."
Tanpa sadar ia menarik napas lega.
"Biar Om yang bicara sama mama kamu," lanjut pria tersebut seraya tersenyum. "Mau titip pesen apa ke mama kamu?"
Detik itu juga, rasa kesal kembali muncul dan menguasai diri. Dengan memasang wajah cemberut ia pun berkata, "Nggak ada pesen. Saya bisa ngomong sendiri di rumah."
Pria itu langsung tergelak.
***
Pocut
Setelah menandatangani daftar hadir. Seluruh orangtua diminta naik ke lantai dua menuju ruang pertemuan.
"Putra bapak dan ibu semua, sedang menjalani serangkaian tes dan pemeriksaan," terang petugas yang berbicara di depan.
Ia sempat mengobrol dengan seorang ibu yang duduk di sampingnya.
"Dasar belegug, budak ngora (dasar bo doh, anak muda)," gerutu ibu tersebut. "Diajakan pindah ka Jakarta kalakah gelut (diajak pindah ke Jakarta malah berantem)."
"Udah bener ... saya titipin ke ibu saya di lembur (kampung), Neng," gerutu ibu itu lagi. "Maksa-maksa ikut saya kerja di sini."
"Jadinya malah begini kan, bolak balik tawuran. Ngerakeun kolot (mempermalukan orangtua)!"
Ia mengangguk dan turut bersimpati. Meski ada beberapa kata yang tak diketahui artinya.
Dan karena para orangtua hanya diminta untuk menunggu. Tanpa ada pengarahan lainnya. Ia pun meminta izin pada petugas yang berjaga di depan ruang pertemuan.
"Musholla di sebelah mana, Pak?"
Perasaan kalut, cemas, dan takut akan nasib yang sedang menimpa Icad. Membuat sujudnya kian panjang dan lama.
Setelah hati mulai merasa tenang dan lapang, barulah ia kembali ke ruang pertemuan.
Tapi, baru juga mendudukkan diri di kursi yang tadi. Dengan ibu yang duduk di sebelah menegur, "Neng, dari mana aja kok lama? Pengarahannya udah mulai dari tadi."
Tiba-tiba seorang petugas datang menghampirinya, "Dengan orangtua Teuku Risyad?"
Ia mengernyit memandangi petugas berusia muda dengan badge nama bertuliskan Devano itu.
"Iya, saya," angguknya gugup.
"Mari ikut saya, Bu."
Ia berjalan dengan cepat, mengikuti langkah petugas melewati koridor. Menuju ruangan yang penampilannya terlihat sangat berbeda dibanding lainnya. Ditandai dengan sepasang pintu kaca berwarna hitam yang sangat mengintimidasi.
"Silakan masuk, Bu," ujar petugas dengan ramah.
Tapi ia merasa ragu, "Saya dibawa ke mana ini, Pak? Apa karena anak saya bersalah?"
"Oh, nggak, Bu," petugas menggeleng. "Bapak mau ketemu sama Ibu."
"Bapak ... siapa?" tanyanya semakin bingung dan tak mengerti.
Tapi petugas tak menjawab pertanyaannya. Justru membukakan pintu kaca berwarna hitam lebar-lebar untuknya.
"Silakan masuk," ujar petugas seraya menganggukkan kepala.
Meski masih merasa ragu dan sedikit takut, ia menurut untuk memasuki ruangan berhawa dingin itu. Dan napasnya langsung terhenti, begitu melihat sosok yang sedang duduk di belakang meja.
Ia ingin berbalik pergi. Tapi sayang, pintu kaca berwarna hitam di belakang punggungnya telah tertutup rapat.
"Silakan duduk ...." sambut pria yang duduk di belakang meja seraya melempar senyum ke arahnya.
Ia mendesah tak percaya. Mengapa mereka harus kembali bertemu dalam keadaan segenting ini.
"Saya selesaikan ini dulu sebentar ...." lanjut pria itu, yang kini sedang mengetik di depan layar komputer.
Sembari mengembuskan napas panjang, dengan gerakan kaku dan amat perlahan, ia memberanikan diri untuk mengambil duduk di atas sofa.
"Saya janji ... ini nggak akan lama," sambung pria itu lagi. "Sedang ditunggu soalnya."
"Ada koran dan majalah di sebelah sana," tunjuk pria tersebut ke sebuah rak, yang berada tepat di samping kiri sofa.
"Bisa dibaca selama menunggu saya menyelesaikan ini."
Ia hanya menelan ludah dengan kening mengerut. Sama sekali tak berminat untuk membaca ataupun melakukan hal lain. Tujuan utamanya saat ini adalah, memikirkan cara bagaimana menghindari pria yang kini sedang sibuk mengetik di belakang meja.
Apa ia harus pamit pergi dengan alasan harus mengikuti pengarahan dari petugas? Atau ia berpura-pura ingin pergi ke toilet? Atau berbohong harus melakukan hal lain di luar ruangan ini?
Tapi semua itu jelas tak mungkin terjadi. Apalagi setelah matanya menangkap bayangan papan yang tersimpan di atas meja pria itu.
Papan berwarna cokelat yang terbuat dari kayu berukir dengan logo korps di atasnya menuliskan dengan begitu nyata.
Wiratama Yuda
Kapolres
Membuatnya kembali mendesah tak percaya. Kesalahan apa yang pernah dilakukannya, hingga Icad bisa tertangkap di tempat pria itu bertugas.
"Nggak suka baca?" suara bass pria tersebut kembali terdengar. "Saya lumayan lama ini selesainya."
Ia pun buru-buru meraih surat kabar yang tersimpan di sisi terluar rak. Lalu pura-pura membacanya.
***
Tama
Ia mengetik sambil tersenyum sendiri.
Ruangan yang awalnya biasa saja, kini terasa lebih menyenangkan dengan hadirnya seseorang. Membuatnya seolah terlempar ke dalam mesin waktu, kembali ke usia remaja. Saat ia merasa senang bukan kepalang, hanya karena melihat sosok gadis yang sedang diincarnya.
Damned (sialan)!
Benar-benar keanehan yang teramat nyata. Sebab kehadiran Pocut secara fisik, telah mengubahnya menjadi pria menggelikan sekaligus mengkhawatirkan. Sepertinya, ia harus segera menemui Dara dan membuat jadwal konseling secara khusus. Agar otak konsletnya bisa segera diperbaiki.
"Ehm!" ia berdehem untuk mencairkan suasana. Sebab Pocut sama sekali tak bersuara sejak pertama kali masuk ke dalam ruangan.
"Siapa yang nelepon kamu?" tanyanya sambil mengetikkan sederet kalimat terakhir di layar.
"Wali kelas Abang ... maksud saya, Icad," jawab Pocut. Dengan wajah tersembunyi di balik surat kabar yang membentang.
"Langsung ke sini?"
Pocut tak menjawab. Sepertinya sedang mengangguk. Tapi ia tak bisa melihat anggukan Pocut karena tertutup oleh bentangan surat kabar.
"Kaget nggak dapat berita begini?"
Pocut melipat surat kabar. Lalu berucap lirih, "Takut."
Ia mengakhiri ketikan, lalu mengirimkan filenya melalui email kepada Metro 1.
Setelah konfirmasi email terkirim diterima, ia segera beranjak menuju sofa.
"Minum dulu," tawarnya. Sambil mengangsurkan botol air mineral, yang ia buka sealnya terlebih dahulu.
"Terima kasih," jawab Pocut. Meski tak langsung meraih botol air mineral pemberiannya.
"Tadi saya sudah ketemu Icad."
Sepasang bola mata indah itu langsung membulat, "Bagaimana keadaannya? Apa ada yang luka? Apa Icad yang mulai? Apa anak seusia Icad bisa dihukum?"
Ia tersenyum berusaha menenangkan, "Icad baik-baik aja. Lebam sedikit kena pukul."
Pocut mengembuskan napas panjang dengan wajah cemas.
"Bukan Icad yang mulai," terangnya lagi. "Dia dan teman-temannya kena sweeping anak yang tawuran."
"Ibarat berada di tempat dan waktu yang salah," lanjutnya menegaskan kronologi bagaimana Icad bisa terseret ke dalam masalah ini.
Pocut mengangguk mengerti. Lalu bergumam dengan penuh kelegaan, "Alhamdulillah. Saya sudah khawatir kalau ...."
Tapi Pocut tak melanjutkan kalimatnya.
"Sekarang anaknya lagi ikut pengarahan," imbuhnya seraya melihat arloji di pergelangan tangan kanan. "Mungkin sebentar lagi selesai."
"Terima kasih," Pocut mengangguk ke arahnya.
Ia tersenyum, "Icad nggak mau kamu tahu masalah ini."
Pocut mengernyit menatapnya.
"Itu sebabnya, dia ngasih nomor walikelas daripada nomor kamu."
Pocut menghela napas panjang. Lalu mengembuskannya dengan lunglai.
"Icad nggak mau kamu sedih dan khawatir."
"Dia bener-bener bodyguard kamu yang paling militan."
"Keren," ujarnya sambil mengacungkan jempol.
Pocut tersenyum. Dan ini jelas menjadi angin segar baginya.
"Menurut kamu ... apa yang bisa menaklukkan bodyguard sekeren Icad?"
Pocut menatapnya tak mengerti. Sepasang alis hitam nan indah itu saling bertaut sebagai tanda ingin tahu.
"Atau kira-kira ... orang seperti apa yang bisa menaklukkan Icad?"
Tatapan Pocut semakin bertambah bingung.
Ia tersenyum berusaha menenangkan diri sendiri.
Tenang, Tama. Tenang. Target sudah berada dalam jangkauan. Jangan sampai merusak satu-satunya jalan yang terbentang secara cuma-cuma.
"Saya nggak ngerti," Pocut terpaksa berucap. Mungkin karena ia tak kunjung berkata.
"Ini akan ... sedikit rumit," ia berusaha keras untuk memilih kalimat yang tepat dan mudah untuk dimengerti.
"Apa tentang hukuman untuk Icad?" tanya Pocut dengan polosnya.
"Oh, bukan," ia menggeleng. "Bukan tentang Icad."
"Tapi tentang saya," ia menelan saliva sebelum kembali berkata.
"Sebelum kamu salah sangka. Saya mau cerita sedikit."
Pocut mengernyit. Kembali memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
"Anak saya satu-satunya seumur Icad. Sama-sama kelas tujuh. Sekarang tinggal di Surabaya dengan bundanya."
Pocut semakin mengernyit.
"Kami telah berpisah."
Bola mata indah itu membelalak.
"Saya sudah bercerai dengan istri saya," sambungnya cepat. "Dengan ini ... mungkin kamu nggak perlu menghindar atau takut kalau ketemu sama saya."
Pocut mendesah sambil menundukkan pandangan.
"Sebenarnya ... apa yang membuat kamu takut dan menghindari saya?"
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭