Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Kehancuran Alaric
Fajar di Solaria menyapa dengan cahaya keemasan yang terasa dingin dan menghakimi. Aula Agung, sebuah plaza terbuka yang melayang di bawah bayang-bayang pilar kristal utama, telah dipadati oleh ribuan warga Elf. Udara pagi yang biasanya harum oleh aroma bunga Azure kini terasa berat dan menyesakkan, dipenuhi oleh kebencian kolektif yang diarahkan pada satu titik: altar marmer di tengah plaza.
Kaelan diseret keluar dari lorong bawah tanah oleh empat penjaga elit. Rantai obsidian yang melilit pergelangan tangannya bergemerincing kasar, beradu dengan lantai marmer yang suci. Wajahnya pucat pasi, efek dari cairan penebusan pahit yang diberikan High Lord Valerius semalam masih menyisakan rasa mual di pangkal lidahnya. Namun, di balik kelopak matanya yang lelah, pendar putih Ignition miliknya tidak padam. Justru, energi itu mulai berputar lebih cepat, memurnikan residu racun dan mengubahnya menjadi bahan bakar untuk sesuatu yang lebih besar.
"Berdiri tegak, Manusia!" bentak seorang penjaga sambil menyentakkan rantai Kaelan.
Kaelan tidak membalas. Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah altar. Di sana, Lyra berdiri dengan jubah putih polos yang kusam. Matanya masih tertutup perban kain yang ternoda debu hitam Abyss. Di sampingnya, Pangeran Alaric berdiri dengan zirah perak yang berkilau sempurna, tangannya diletakkan di bahu Lyra dengan pose seorang pelindung yang penuh kasih, namun Kaelan tahu itu adalah cengkeraman seorang predator.
"Kau melihatnya, Kaelan?" Alaric berbicara dengan suara yang diperkuat oleh sihir, bergema ke seluruh plaza. "Rakyatku berkumpul di sini untuk menyaksikan pembersihan. Hari ini, pengaruh kotormu akan dihapus dari ingatan sang Putri selamanya."
"Kebohonganmu yang akan dihapus hari ini, Alaric," jawab Kaelan, suaranya parau namun memiliki otoritas yang membuat para penjaga di sekitarnya merasa tidak nyaman.
"Masih sombong meski sudah di ambang maut?" Alaric tertawa sinis, lalu berpaling ke arah massa. "Warga Solaria! Lihatlah bukti dekadensi ini! Manusia ini tidak hanya menculik putri kita ke dasar Abyss, dia juga menggunakan sihir hitam untuk membutakannya agar dia tidak bisa melihat pengkhianatannya!"
Sorakan penuh amarah meledak dari kerumunan. Batu-batu kecil kembali beterbangan, beberapa mengenai bahu Kaelan, namun ia tidak bergeming. Ia merasakan getaran hebat melalui hubungan jiwa mereka—resonansi ketakutan Lyra yang begitu tajam hingga membuat dada Kaelan terasa sesak.
"Ayah... tolong hentikan ini," suara Lyra terdengar lirih, nyaris tertelan oleh riuh rendah massa.
High Lord Valerius duduk di singgasana tinggi di atas podium, wajahnya tampak seperti pahatan batu yang kaku. Matanya menatap Kaelan dengan kebimbangan yang mendalam, mengingat percakapan rahasia di penjara tentang residu mana pada batu yang dilemparkan warga sebelumnya. Namun, di hadapan publik, ia adalah penjaga hukum.
"Ritual Pemurnian akan dimulai!" seru Valerius, suaranya menggelegar. "Biarkan memori tentang penderitaan dan kegelapan ini ditarik keluar dari jiwa Putri Lyra!"
Para pendeta mulai melantunkan mantra dalam bahasa kuno. Cahaya biru pucat mulai berpendar di sekeliling altar, membentuk sulur-sulur energi yang merayap menuju pelipis Lyra. Lyra mulai gemetar, napasnya tersengal seolah-olah oksigen di sekitarnya sedang dihisap habis.
"Hentikan!"
Teriakan itu bukan berasal dari Kaelan, melainkan dari Lyra sendiri. Dengan gerakan yang tidak terduga, ia menyentakkan bahunya, melepaskan tangan Alaric. Ia meraba-raba ke dalam lipatan jubahnya yang compang-camping dan menarik keluar selembar kain yang sudah kusam, robek di berbagai sisi, dan ternoda darah kering yang sudah menghitam.
"Kalian ingin bicara tentang bukti?" suara Lyra mengeras, tangannya yang gemetar mengangkat kain itu tinggi-tinggi. "Ini adalah sapu tangan yang kuberikan kepada Kaelan saat dia masih menjadi budak di tambang! Kain ini telah melewati api naga di jantung dunia! Kain ini telah menyeka darahnya saat dia bertaruh nyawa melindungiku dari makhluk yang bahkan tidak berani kalian sebut namanya!"
"Lyra, kau sedang dalam pengaruh sihirnya, kembalilah!" Alaric mencoba meraih tangan Lyra kembali, namun Lyra mundur selangkah.
"Jangan sentuh aku, Alaric!" desis Lyra. "Aku mungkin buta, tapi aku bisa merasakan aura busukmu. Kalian menyebut dia pengkhianat? Saat naga penjaga Abyss muncul, pangeran agung kalian ini melarikan diri dan meruntuhkan jalur keluar agar kami terkubur hidup-hidup!"
Keheningan yang mencekam mendadak jatuh di plaza itu. Rakyat saling berpandangan dengan wajah bingung. Valerius berdiri dari singgasananya, matanya menyipit tajam ke arah Alaric.
"Apa yang kau katakan, Putri?" tanya Valerius dengan nada rendah yang berbahaya.
"Aku mengatakan kebenaran yang kalian takuti, Ayah!" Lyra melepas perban matanya, menunjukkan luka yang meradang namun memancarkan kilasan energi perak-ungu yang aneh. "Kaelan tidak menculikku. Dia adalah satu-satunya alasan mengapa jantungku masih berdetak hari ini. Dan sapu tangan ini... kain kotor ini jauh lebih suci daripada seluruh emas yang kau pakai di zirahmu, Alaric!"
Alaric wajahnya memerah karena malu dan murka. "Dia sudah gila! Pendeta, lanjutkan ritualnya! Segera!"
"Tunggu!" Kaelan maju selangkah, rantai obsidiannya mendadak berpendar putih menyilaukan. "Valerius, kau bertanya tentang bukti semalam? Lihatlah apa yang disembunyikan calon menantumu di bawah kulitnya!"
Kaelan memejamkan mata, memaksakan sirkulasi Ignition miliknya untuk melompat ke tahap evolusi yang dipicu oleh tekanan racun. Rasa sakit luar biasa menghantam syaraf-syarafnya, seolah-olah tulang belakangnya sedang ditempa dengan palu godam. Ignition Tahap 2 meledak secara paksa. Pendar putih di kulitnya berubah menjadi cahaya perak pekat yang memancarkan gelombang kejut, menghancurkan rantai obsidian menjadi butiran debu dalam sekejap.
"Teknik Soul Grafting... kau menggunakannya untuk mencuri mana dari prajuritmu sendiri, bukan begitu, Alaric?" Kaelan menunjuk ke arah dada Alaric dengan jarinya yang masih berdarah.
"Omong kosong!" Alaric menghunus pedang cahayanya, namun tangannya gemetar.
"Batu yang dilemparkan warga di gerbang... residu mana di sana bukan milikku. Itu adalah tanda tangan energi dari pilar sihir yang kau pasang untuk memprovokasi kemarahan massa secara paksa," Kaelan melangkah maju, setiap pijakannya di marmer menciptakan retakan yang menjalar. "Buka zirahmu, Alaric. Tunjukkan pada rakyatmu tato hitam di dadamu yang menghubungkan jiwamu dengan energi Void yang kau curi!"
Massa mulai berbisik-bisik, rasa ragu mulai berubah menjadi kecurigaan yang nyata. Valerius melompat turun dari podium, mendarat di tengah altar dengan dentuman yang mengguncang plaza.
"Alaric," ucap Valerius, suaranya sedingin es. "Buka zirahmu. Sekarang."
Tangan Alaric gemetar hebat di gagang pedangnya. Di bawah tatapan menghakimi ribuan rakyatnya dan tekanan aura High Lord Valerius yang mulai membara, dinding kepercayaan diri sang pangeran retak. Suara bisikan massa kini berubah menjadi tuntutan yang menderu, menuntut transparansi yang selama ini ia sembunyikan di balik jubah kemuliaan.
"Aku... aku tidak akan membiarkan diriku dihina oleh fitnah budak!" Alaric berteriak, suaranya melengking tinggi akibat kepanikan.
"Jika itu fitnah, maka buktikan!" Valerius melangkah maju, tangannya mencengkeram bahu zirah Alaric. Dengan satu sentakan bertenaga Sovereign, pengait zirah itu terlepas, menyingkap pakaian sutra di baliknya.
Valerius merobek kain tersebut, dan seluruh plaza mendadak senyap. Di dada kiri Alaric, sebuah tanda hitam berbentuk jaring laba-laba berdenyut pelan, memancarkan bau belerang yang samar—persis seperti yang digambarkan Kaelan. Itu adalah segel Soul Grafting, sebuah teknik terlarang yang mengonsumsi sisa-sisa jiwa prajurit yang tewas untuk meningkatkan mana pengguna secara instan.
"Alaric... kau..." Valerius mundur dua langkah, wajahnya menunjukkan kengerian yang mendalam. "Kau benar-benar melakukan ini? Kau mengkhianati ksatria-ksatriamu sendiri di Abyss demi kekuatan?"
"Aku melakukannya untuk Solaria!" Alaric membela diri dengan liar, matanya membelalak gila. "Kita butuh kekuatan untuk melawan Void! Manusia ini hanyalah alat, tapi aku... aku adalah masa depan!"
"Masa depan tidak dibangun di atas tumpukan jiwa yang kau curi, Alaric," sela Kaelan. Ia melangkah maju, cahaya perak Ignition Tahap 2 di kulitnya kini begitu pekat hingga udara di sekitarnya tampak membeku. "Kau melarikan diri saat naga itu menyerang, membiarkan Lyra dan pasukanku terkubur, lalu kembali ke sini untuk merayakan kemenangan palsu. Kau bukan hanya pengecut, kau adalah parasit."
"Diam kau, Binatang!"
Dalam keputusasaan terakhirnya, Alaric memicu seluruh simpanan mana di dalam segel dadanya. Sebuah ledakan energi gelap keluar dari tubuhnya, bukan untuk menyerang Kaelan, melainkan untuk meledakkan pilar kristal utama di belakang altar. Ia berniat menciptakan kekacauan masif agar bisa melarikan diri di tengah puing-puing.
"Awas!" teriak Bara dari kejauhan, mencoba menerobos barisan penjaga.
Namun, Kaelan jauh lebih cepat. Dengan evolusi energi barunya, ia tidak lagi hanya mengandalkan kekuatan fisik. Ia menghentakkan kakinya ke lantai marmer, menciptakan Silent Shield dalam skala yang jauh lebih luas. Cahaya perak menyelimuti seluruh area altar, meredam ledakan gelap Alaric sebelum sempat menyentuh pilar. Suara ledakan itu hanya terdengar seperti dentuman tumpul yang teredam oleh air.
Kaelan muncul dari balik kepulan asap tipis, tangannya melesat secepat kilat dan mencengkeram leher Alaric. Ia mengangkat pangeran Elf itu hingga kakinya menendang-nendang udara.
"Ini untuk setiap fitnah yang kau ucapkan sejak di Red Line," desis Kaelan, suaranya dingin dan menusuk.
Kaelan mengirimkan gelombang energi Ignition murni langsung ke dalam meridian Alaric. Terdengar bunyi retakan yang mengerikan—bukan tulang yang patah, melainkan Mana Core Alaric yang hancur berkeping-keping. Pangeran itu menjerit memilukan saat seluruh kekuatannya ditarik paksa keluar, meninggalkannya sebagai Elf biasa tanpa setetes pun mana di tubuhnya.
Kaelan melemparkan tubuh Alaric yang lemas ke hadapan Valerius. "Dia milikmu, High Lord. Hukum dia menurut hukum yang kau agungkan itu."
Rakyat Solaria tertegun. Ribuan Elf yang tadinya menghujat kini menundukkan kepala dalam rasa malu yang kolektif. Beberapa dari mereka, termasuk Nyonya Elara yang berdiri di barisan depan, mulai menyuarakan nama Kaelan dengan nada hormat yang kaku.
"Maafkan aku, Kaelan," Lyra melangkah mendekat, tangannya yang gemetar mencari-cari lengan Kaelan. "Aku seharusnya lebih kuat sejak awal... aku membiarkanmu menanggung semua ini sendirian."
Kaelan meraih tangan Lyra, menggenggamnya erat. Ia mengabaikan rasa perih di sekujur tubuhnya akibat overload energi. "Kau sudah cukup berani hari ini, Lyra. Sapu tangan itu... ia telah pulang."
Ia menyerahkan kain kusam itu kembali ke tangan Lyra. Meski compang-camping, kain itu kini menjadi simbol kemenangan mereka atas tirani opini. Namun, kemenangan itu terasa pahit. Kaelan merasakan tanah di bawah kakinya bergetar pelan—bukan karena kekuatannya, tapi karena sesuatu yang jauh di bawah sana, di kedalaman Abyss, sedang bereaksi terhadap kehancuran energi Alaric.
Valerius menatap Kaelan dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia tidak memerintahkan penjaga untuk menangkap Kaelan lagi. Sebaliknya, ia berlutut di samping Alaric yang pingsan, lalu mendongak ke arah langit yang mendadak berubah menjadi abu-abu gelap.
"Kau benar tentang dia, Manusia," ucap Valerius pelan. "Tapi kau juga benar tentang satu hal lagi... dunia ini tidak akan pernah sama lagi setelah hari ini."
Kaelan tidak sempat membalas. Tubuhnya mendadak terasa sangat ringan, dan pendar perak di kulitnya mulai berkedip tidak stabil. Ia jatuh berlutut, napasnya tersengal-sengal. Ignition Tahap 2 telah menguras seluruh cadangan esensinya. Di sisa kesadarannya, ia melihat bayangan awan hitam pekat mulai menelan matahari Solaria, membawa firasat buruk tentang invasi yang lebih besar.
"Kaelan!" Lyra memeluknya, membiarkan kepalanya bersandar di bahu wanita itu.
"Tunggu aku di masa depan, Lyra..." gumam Kaelan tidak sadar, sebuah kalimat yang bahkan ia sendiri tidak mengerti dari mana asalnya, sebelum kegelapan total menjemput kesadarannya di tengah plaza yang kini dipenuhi isak tangis dan ketakutan.