Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Sore itu rumah terasa hidup dengan warna dan aroma. Dari dapur tercium wangi cokelat yang menguar, menandakan kue buatan Zhea hampir selesai. Ia menata krim di sekeliling black forest itu dengan teliti, lalu menambahkan buah ceri merah di atasnya. Senyum samar menghiasi bibirnya, bukan senyum bahagia, melainkan senyum seseorang yang sudah mempersiapkan sesuatu dengan penuh perhitungan.
Di ruang tengah, Arin sibuk menghias. Balon warna emas, putih, dan hitam bergantungan di langit-langit, sementara pita berkilau menjuntai di dinding. Ia tampak riang, sesekali tertawa kecil saat pita menempel di rambutnya.
"Kayaknya udah hampir selesai nih," katanya sambil menatap hasil dekorasi. "Semoga Kak Zavi senang," gumamnya ceria.
Zhea keluar dari dapur, membawa kue di atas nampan kaca. "Waw! Dekorasinya cantik banget! Makasih atas bantuannya, Rin. Kalau nggak ada kamu, Kakak nggak bakal sempat nyiapin semua ini."
Arin tersenyum polos. "Ya iyalah, Kak. Ini ulang tahun Kak Zavi. Harus spesial dong."
Zhea hanya mengangguk kecil. "Iya ... spesial sekali." Nada suaranya datar, tapi di matanya terpantul sesuatu yang sulit dijelaskan ... campuran luka, kecewa, dan tekad.
Sambil menatap ruangan yang kini tampak meriah, Zhea berkata pelan, nyaris seperti bicara pada diri sendiri, "Malam ini harus sempurna. Setidaknya untuk satu alasan."
Arin tak menaruh curiga sedikit pun. Ia justru tersenyum bangga melihat betapa total Zhea mempersiapkan segalanya untuk kakaknya.
Sementara itu, Zhea menatap jam di dinding. Waktu semakin dekat. Dalam diam, ia tahu, bukan hanya kue dan balon yang menanti Zavier malam ini, tetapi juga kebusukan yang selama ini lelaki itu sembunyikan.
Pintu utama rumah terbuka, dan suara ceria langsung memenuhi ruangan. "Zhea sayang!" seru Rindu, ibu mertua Zhea, dengan nada riang. Ia masuk bersama suaminya, Soni Dinata yang menyeret koper besar beroda.
Zhea yang sedang memeriksa kue di meja tengah sontak menoleh dan tersenyum lebar, menyambut mereka. "Selamat datang ... Mama, Papa! Akhirnya kalian pulang juga. Gimana liburannya? Menyenangkan tidak?"
Rindu langsung memeluk Zhea erat, penuh kerinduan. "Capek, tapi senang banget, Nak. Dingin banget di sana, Mama kangen banget sama kehangatan rumah ini. Aduh, lihat nih ... dekorasinya cantik banget!" katanya sambil melirik sekeliling. Matanya berbinar melihat ruangan yang sudah penuh hiasan balon, pita, dan tulisan besar 'Happy Birthday Zavier'."
Soni tertawa kecil, menaruh koper di dekat tangga. "Wah, hebat betul menantu Papa satu ini. Baru pulang, langsung disambut suasana meriah begini. Zavier beruntung banget punya istri kayak kamu, Zhea."
Zhea tersenyum sopan, menunduk sedikit. "Terima kasih, Pa, Ma. Semoga saja Zavier suka." Dalam hati, ada getaran halus di dadanya ... antara bangga dan getir.
Lalu Arin memeluk kedua orang tuanya.
Rindu berkeliling, menatap dekorasi. "Arin, kamu bantuin juga, ya?"
Arin yang masih menempelkan balon tersenyum. "Iya, Ma. Kak Zhea yang punya ide semuanya. Aku cuma bantu sedikit," katanya merendah.
"Sebenarnya ... yang mendekor semua ini adalah Arin, Ma. Dia hebat banget," kekeh Zhea mengatakan yang sebenarnya.
Rindu dan Soni saling melirik lalu tertawa dan menarik Arin kembali ke pelukan mereka. "Mama dan Papa bangga sama kamu, sayang ..."
"Mama, Papa ..." Arin mencium pipi kedua orang tuanya secara bergantian. "Tapi tetep, Kak Zhea lah yang punya vokal atas pesta kejutan ini."
Rindu beralih mengusap pundak Zhea. "Kamu memang selalu bikin rumah ini hidup, sayang,” puji Rindu tulus. Lalu matanya beralih lagi, mencari-cari. "Eh, cucu Mama mana? Mama kangen banget sama si gembul Zheza ..." Rindu tertawa.
"Papa juga," timpal Soni.
Zhea menjawab lembut, "Zheza lagi tidur, Ma. Di kamar, ditemenin sama Bi Acih."
Tanpa pikir panjang, Rindu langsung menepuk lengan suaminya. "Ayo, Pa, kita lihat dulu cucu kesayangan kita."
Soni tertawa. "Iya, iya. Ayo. Tangan Papa udah gatal pengen menimang dia."
Keduanya berjalan menaiki tangga, menuju kamar bayi dengan langkah penuh semangat, sementara Zhea dan Arin saling tersenyum melihat tingkah mereka.
Tapi setelah punggung kedua mertuanya menghilang, senyum di wajah Zhea perlahan memudar. Ia memandang kue di meja, lalu jam di dinding.
Waktu semakin dekat.
Sebentar lagi, bukan hanya Zavier yang akan dikejutkan malam ini ... tapi seluruh keluarga. Zhea kemudian menyusul kedua mertuanya.
Suasana kamar Zheza terasa tenang dan lembut. Tirai tipis bergoyang pelan tertiup angin sore, sementara aroma bedak bayi samar tercium di udara. Di dalam, Zheza, bayi montok berusia tiga bulan itu sudah terbangun. Matanya yang bening menatap langit-langit, sesekali menggerakkan tangan kecilnya, menggenggam udara.
Bi Acih yang duduk di tepi ranjang bayi, segera berdiri ketika pintu terbuka. "Eh, Bu Rindu, Pak Soni?" Dia menundukkan kepala, memberi hormat.
Rindu langsung mendekat dengan langkah penuh semangat setelah melempar senyum ramah pada Bi Acih. "Aduh, cucuku sayang! Kamu makin montok aja ya!" Ia menunduk, menatap wajah Zheza yang menggemaskan, lalu tanpa bisa menahan diri mengulurkan tangan untuk menggendongnya.
Soni ikut mendekat, menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca. "Subhanallah ... wajah kamu makin mirip Papamu, Nak. Lihat pipinya tuh, Ma, kayak bakpao!"
Rindu tertawa lembut sambil mencium pipi Zheza. "Iya, tapi senyumnya mirip Zhea. Lembut banget."
Bayi kecil itu terkekeh kecil, menatap wajah neneknya sambil menggeliat manja.
Soni mengelus kepala cucunya pelan. "Tiga bulan aja udah segemes ini. Papa jadi ingin cepet-cepet mendengar dia bisa manggil 'Kakek dan Nenek'."
"Bilangnya nanti 'Nenek' dulu," timpal Rindu dengan tawa lembut. "Manggil Kakek-nya belakangan!"
Tawa mereka memenuhi kamar, hangat dan tulus.
Zhea yang sedari tadi berdiri di ambang pintu hanya menatap, tersenyum kecil melihat pemandangan itu. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga getir yang menekan pelan.
Keluarganya terlihat begitu bahagia, begitu sempurna. Dan mungkin justru karena itu, kebenaran yang akan ia ungkap malam nanti akan terasa semakin menghancurkan.
"Ma, Pa, nanti bawa Zheza ke ruang tengah, ya," ujar Zhea lembut.
Rindu mengangguk sambil terus mengelus rambut lembut cucunya. "Iya, Nak. Nanti Mama akan membawanya turun."
Zhea tersenyum lagi, lalu menutup pintu pelan dan melangkah pergi, membiarkan kebahagiaan kecil itu berlangsung sejenak, sebelum semuanya berubah.
Mobil hitam melaju tenang di jalan utama. Langit sore mulai berwarna oranye keemasan, sementara lampu kota perlahan menyala satu per satu. Di dalam mobil, suasana terasa sedikit canggung meski diiringi musik pelan dari radio.
Elara duduk di kursi penumpang depan, menatap jalan dengan alis sedikit berkerut. Ia menoleh pada Zavier. "Babe ... aku masih nggak ngerti," katanya lembut tapi penuh penasaran. "Kenapa tiba-tiba istri kamu mengundangku makan malan bersama di rumahmu? Aneh banget ih ..."
Zavier, yang sedang fokus menyetir, menghela napas pelan. "Aku juga nggak tahu, sayang. Mungkin dia lagi sadar kali," sahut Zavier asal. Dia tak terlalu ambil pusing.
Elara memiringkan kepala, menatap Zavier dengan senyum tipis. "Apa dia menyesal ya, karena di dua kali pertemuanku dengan dirinya ... dia selalu berkata ketus dan sinis kepadaku?"
Zavier diam sejenak. Ia tahu Elara benar. Tapi dia terlalu malas untuk berpikir. "Sudahlah, sayang. Jangan terlalu dipikirkan. Mungkin dia memang menyesal," ujar Zavier akhirnya, santai.
Elara terkekeh pelan, nada tawanya sedikit sinis. "Semoga saja. Awas aja kalau dia mengundangku hanya untuk mempermalukanku ... aku tidak akan segan untuk membalasnya."
Zavier menatap sekilas ke arahnya, tapi segera kembali fokus ke jalan. "Kamu ini, ada-ada aja. Ya nggak mungkinlah. Ngapain juga Zhea mempermalukanmu."
"Tapi beneran, Babe," lanjut Elara, memainkan rambut panjangnya. "Aku was-was aja kalau dia beneran punya niat kayak gitu. Ini terlalu tiba-tiba."
Zavier terdiam lagi. Ada kegelisahan samar di hatinya, tapi ia memilih menepisnya. "Udahlah. Kamu nggak usah overthinking. Santai, sayang. Bentar lagi kita ke Thailand." Senyum nakal terbit. Tangan Zavier menjawil dagu Elara, lalu turun ke dada dan meremas daging kenyal itu.
"Ahhh ... Babe." Elara menggigit bibir, memejamkan mata. "Mau main dulu sebelum sampai ke rumahmu?" Tawaran gila itu membuat Zavier hampir menginjak rem mendadak.
Senyum miring sekaligus genit terbit. Zavier menepikan mobilnya sejenak. "Kamu jangan menggodaku. Di sini terlalu ramai, Elara sayang," desisnya melirik Elara dengan mata berkabut.
Elara menjentikkan jarinya yang lentik. "Kamu bisa tetap menyetir, dan aku akan memanjakanmu menggunakan mulutmu ... bagaimana?"
memang cocok mereka berdua sama-sama iblis
gimana yah reaksi zavier kalau lihat El lagi kuda" sama laki laki lain
seperti istrimu yg melihat mu pasti booom like nuklir