"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bertemu Rendra
Hari berlalu begitu cepat.
Kini usia kandungan Laras sudah menginjak tiga puluh dua minggu. Perutnya semakin membesar, langkahnya semakin pelan, dan senyumnya semakin sering—terutama setiap kali merasakan gerakan kecil dari dalam rahimnya.
Pagi itu, Bani mengantar Ameera ke sekolah seperti biasa. Setelah itu, ia langsung menuju gedung TK yang tak jauh dari sana. Hari ini ia berniat mendaftarkan Naura.
Laras memilih menunggu di dalam mobil. Tubuhnya mudah lelah, dan Bani tak ingin mengambil risiko. Naura pun ikut turun bersama Bani, menggenggam tangan papanya dengan langkah kecil yang penuh semangat.
Proses pendaftaran berjalan lancar.
Hingga suara tangisan dan teriakan kecil memecah suasana.
“Bohong! Itu punyaku!”
“Enggak! Aku duluan pegang!”
Bani menoleh cepat.
Naura berdiri dengan wajah merah, matanya berkaca-kaca, berhadapan dengan seorang anak laki-laki seusianya. Keduanya sama-sama memegang sebuah mobil-mobilan kecil.
“Naura?” Bani segera mendekat. “Kenapa, sayang?”
“Papa, dia ngambil mainan Naura!” protes Naura sambil menunjuk anak itu.
“Aku gak ngambil! Ini punyaku!” balas anak laki-laki itu tak kalah keras.
Bani jongkok, berusaha menenangkan. “Tenang dulu, ya. Kita bicara baik-baik.”
"Itu punya aku Om!" Ucap anak laki-laki itu.
"Tapi Pa, itu punya aku loh, dari Gus Atheef. Coba papa lihat, sama kan?"
Bani menghela napasnya. "Naura, mainannya memang mirip tapi Naura ingat tidak? Mainan Naura kan ada sama bunda di dalam mobil."
Naura diam, tampak berpikir dan mengingat. "Eh iya ya Pa, Naura lupa."
"Nah kan.... Sekarang Naura harus minta maaf ya sama teman Naura itu."
Naura menunduk, lalu mengulurkan tangannya. "Maaf ya, Naura tidak ingat. Sekali lagi Naura salah, maaf ya."
"Aku gak ma_"
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, terdengar suara langkah dewasa mendekat.
“Kenapa, Nak?”
Seorang pria muncul dari balik lorong. Wajahnya tegas, rapi, dengan aura yang tak asing—meski Bani sendiri belum pernah melihatnya secara langsung.
Tak lama kemudian, seorang perempuan menyusul di samping pria itu. “Kenapa ribut nak?” tanyanya lembut, namun matanya langsung mengarah pada Naura.
Bani berdiri.
“Anak-anak hanya berebut mainan,” ucapnya tenang. “Tidak apa-apa. Namanya juga anak-anak.”
Pria itu mengangguk singkat. “Iya. Anak saya memang agak keras kalau soal mainan.”
Bani tersenyum tipis. “Tidak masalah.”
Tak ada yang menyadari.
Tak ada yang mengenali.
Pria itu adalah Rendra.
Perempuan di sampingnya adalah Aurel.
Dan anak kecil yang berdiri dengan wajah cemberut itu—adalah anak mereka.
Begitu pula sebaliknya.
Rendra dan Aurel sama sekali tidak tau siapa Bani.
Bani pun tidak tahu siapa mereka.
Sementara itu, di dalam mobil, Laras menunggu.
Ia duduk bersandar, satu tangannya mengelus perutnya pelan. Pandangannya sesekali tertuju ke arah pintu gedung TK, menunggu Bani dan Naura kembali.
Ia sama sekali tidak tahu…
Bahwa masa lalunya sedang berdiri begitu dekat.
Hanya dipisahkan oleh beberapa langkah.
Dan takdir perlahan mulai membuka kembali luka lama yang selama ini ia kubur rapat-rapat.
Langit siang itu cerah. Terlalu cerah untuk sebuah pertemuan yang kelak akan mengguncang banyak hal.
***
Sore itu, Bani benar-benar dibuat panik.
Ekskul paduan suara Ameera sudah selesai sejak tiga puluh menit lalu, sementara ia masih terjebak di jalan karena tadi ia mengantar Laras dan Naura pulang setelah itu meeting dengan klien. Berkali-kali Bani melirik jam di pergelangan tangannya, dadanya terasa sesak oleh rasa bersalah.
Di sisi lain, Ameera berdiri sendirian di luar pagar sekolah.
Seragamnya masih rapi, tas kecilnya digenggam erat di dada. Anak-anak lain sudah dijemput orang tua masing-masing. Suara gerbang sekolah mulai sepi, menyisakan Ameera yang sesekali menoleh ke kanan dan kiri, berharap melihat mobil Papa.
“Papa kok belum datang ya…” gumamnya lirih.
Tak jauh dari sana, dua orang pria berdiri di bawah pohon, pura-pura merokok. Tatapan mereka beberapa kali mengarah pada Ameera. Bagi mereka, anak kecil yang sendirian adalah kesempatan.
“Yang itu,” bisik salah satunya. “Iya. Cepat sebelum ada orang.”
Salah satu pria melangkah mendekat. Ameera yang peka segera merasa ada yang tidak beres. Nalurinya menjerit.
“Mau ke mana, Dek?” tangan kasar itu hampir menyentuh lengannya.
"Om siapa! Jangan sentuh aku!"
"Om cuma mau nemenin kamu." Pria itu mengeluarkan coklat, "Ini om punya coklat, untuk kamu."
"Gak!!" Amerta reflek menjauh. "Kata papa sama bunda, jangan terima sesuatu dari orang asing."
Pria itu kehilangan kesabaran lalu ia menarik paksa tangan Ameera.
Ameera menjerit sekuat tenaga. “TOLONG! PAPA! BUNDAAA!”
Jeritannya memecah keheningan. "TOLONG!! PAPA TOLONGIN AMEERA!!"
Pria itu refleks mencoba menutup mulut Ameera, namun sebelum berhasil—sebuah tangan lain mencengkeram bahunya dengan keras.
“LEPASIN ANAK ITU!!"
Suara itu tegas, penuh amarah.
Rendra.
Ia kebetulan melintas di jalan itu setelah urusan pekerjaan. Nalurinya langsung bergerak ketika mendengar teriakan anak kecil. Tanpa pikir panjang, ia menerjang.
Dua pria itu terkejut. Sempat terjadi dorong-mendorong singkat, namun Rendra lebih sigap. Dengan satu pukulan keras dan ancaman lantang, kedua pria itu akhirnya kabur, meninggalkan Ameera yang gemetar hebat.
Ameera berdiri terpaku beberapa detik… lalu menangis pecah.
Rendra berjongkok cepat. “Hey… sudah, sudah… mereka pergi. Kamu aman.”
Namun Ameera tak mendengar apa-apa lagi. Ia langsung memeluk Rendra erat-erat, wajahnya tertanam di dada pria itu, tangisnya mengguncang tubuh kecilnya.
“Papa… aku takut…” isaknya lirih, tanpa sadar.
Deg.
Rendra membeku. Pelukan itu… terlalu natural.
Terlalu hangat. Terlalu… dekat.
Ada sesuatu yang aneh merambat di dadanya. Perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Seolah ia pernah memeluk anak ini sebelumnya, padahal jelas mereka baru bertemu.
Rendra menunduk perlahan.
Wajah Ameera basah oleh air mata.
Dan saat itulah napas Rendra tertahan.
Wajah itu… Perpaduan yang menyakitkan.
Mata itu... mengingatkannya pada dirinya sendiri. Hidung dan senyum kecil itu—milik Laras. “Ya Allah…” bisiknya tanpa suara.
Ameera juga perlahan mendongak. Ia menatap wajah Rendra lekat-lekat, polos, tanpa rasa takut lagi. “Om… kenapa om mirip aku ya?” tanyanya jujur.
Rendra tak mampu menjawab.
Tangannya bergetar saat mengusap punggung Ameera pelan, seperti gerakan refleks yang lahir dari ikatan lama yang terkubur.
“Ameera…” gumamnya, entah kenapa nama itu terasa begitu pas di lidahnya.
Saat itu, dari kejauhan, sebuah mobil berhenti mendadak.
Bani turun dengan wajah panik.
Begitu melihat Ameera memeluk pria asing, jantungnya hampir berhenti.
“AMEERAA!”
“Papa!” Ameera melepaskan pelukan itu dan berlari ke arah Bani.
Bani langsung berlutut, memeluk Ameera erat. “Maafin Papa, sayang… Papa telat.”
Ameera terisak. “Tadi ada dua orang pria seram, Pa… mereka narik tangan aku. Aku mau diculik. Untung… Om itu yang menyelamatkan aku."
Ameera menunjuk ke arah Rendra.
Bani menoleh. Seketika ia terkejut—wajah itu tidak asing. Mereka baru saja bertemu di TK tempat ia mendaftarkan Naura. “Maaf, kita tadi bertemu, kan? Di TK Bunda Kasih?” tanya Bani.
Rendra mengangguk. “Iya.”
“Terima kasih sudah menolong anak saya. Saya benar-benar berutang budi.”
“Tidak apa-apa. Kebetulan saya lewat dan mendengar teriakan putri Bapak.”
“Saya Bani,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
“Rendra.”
Mereka berjabat tangan.
“Ini putri pertama saya, Ameera. Tadi yang bersama saya di sekolah, Naura—putri kedua saya.”
“MasyaAllah…” Rendra menatap Ameera sekilas. “Kedua putri Pak Bani sangat cantik.”
“Alhamdulillah, terima kasih.”
Sebelum berpamitan, Rendra menatap Ameera sekali lagi. Ada rasa asing yang menekan dadanya—kedekatan yang tak ia pahami, terutama saat mengingat pelukan tadi.
“Saya pamit dulu, Pak Bani.”
Bani menyerahkan kartu namanya. “Ini kartu saya. Jika Pak Rendra butuh bantuan, silakan hubungi. Anggap saja tanda terima kasih saya.”
Rendra menerimanya. “Semoga kelak kita bisa menjadi rekan bisnis.”
Saat Rendra melangkah pergi, Ameera menatap punggungnya dengan wajah penuh tanya.
Wajah itu terasa tak asing. Pelukan itu terasa… seperti ayah. Dan entah mengapa, di dada kecil Ameera, ada kehangatan yang tertinggal.
***
Monolog batin Rendra
Kenapa dadaku masih terasa sesak…
Padahal semuanya sudah selesai. Anak itu selamat. Aku seharusnya lega.
Tapi kenapa langkahku terasa berat meninggalkan tempat itu?
Pelukan kecil tadi… terlalu nyata.
Bukan pelukan anak yang ketakutan pada orang asing—itu pelukan yang seolah mengenal.
Saat ia memanggilku “Papa”…
Allah, jantungku seperti diremas.
Aku tahu itu refleks. Anak yang panik, mencari figur aman.
Tapi sentuhannya—hangatnya—cara tangannya menggenggam bajuku seakan takut kehilangan…
Kenapa tubuhku merespons seolah itu… hakku?
Wajahnya. Ameera.
Nama itu terus berputar di kepalaku.
Matanya… itu mataku.
Tatapan polos yang dulu sering kulihat di cermin.
Dan hidungnya, senyum kecilnya—itu Laras.
Astaghfirullah…
kenapa harus Laras?
Aku sudah lama mencoba mengubur nama itu.
Meyakinkan diri bahwa masa lalu selesai.
Bahwa aku sudah melangkah ke hidupku sekarang.
Tapi satu pelukan kecil… satu tatapan polos…
cukup untuk meruntuhkan semua pertahananku.
Bagaimana mungkin aku merasa kehilangan pada seorang anak yang baru saja kutemui?
Kenapa saat ia berlari menjauh ke pelukan pria itu—Bani—
dadaku justru kosong?
Seolah ada sesuatu yang diambil dariku. Sesuatu yang bahkan belum sempat kumiliki. Apakah ini hanya ilusi?
Atau… ada benang tak terlihat yang mengikatku padanya?
Jika benar Ameera adalah anak Laras… maka wajar ia mirip.
Tapi kenapa hatiku bereaksi seolah ia lebih dari sekadar anak seseorang dari masa laluku?
Tidak.
Aku tidak boleh melanjutkan pikiran ini. Aku sudah punya kehidupan sendiri. Aku sudah memilih jalanku.
Namun… jika takdir benar-benar mempertemukanku dengannya hari ini— bukan sebagai kebetulan— maka apa maksud Tuhan? Kenapa pertemuan singkat itu terasa seperti luka lama yang baru saja disobek kembali?
Ameera…semoga kamu baik-baik saja.
Dan semoga… aku tidak perlu lagi merasakan perasaan ini.
Karena jika aku membiarkannya tumbuh—aku takut, aku tak akan sanggup menahannya.