NovelToon NovelToon
Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Pengawal Yang Bunuh Ayahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Yatim Piatu / Action / Cinta Terlarang / Mafia / Romansa / Balas Dendam
Popularitas:100
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

"Tujuh tahun aku hidup di neraka jalanan, menjadi pembunuh, hanya untuk satu tujuan: membunuh Adipati Guntur yang membantai keluargaku. Aku berhasil. Lalu aku bertaubat, ganti identitas, mencoba hidup normal.
Takdir mempertemukanku dengan Chelsea—wanita yang mengajariku arti cinta setelah 7 tahun kegelapan.
Tapi tepat sebelum pernikahan kami, kebenaran terungkap:
Chelsea adalah putri kandung pria yang aku bunuh.
Aku adalah pembunuh ayahnya.
Cinta kami dibangun di atas darah.
Dan sekarang... kami harus memilih: melupakan atau menghancurkan satu sama lain."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 27: AIR MATA DI MALAM HARI

Pukul tiga pagi.

Lucian masih terjaga—mata merah, tubuh lelah, tapi ia tidak beranjak dari kursi itu.

Chelsea tidur lebih tenang sekarang—napasnya teratur, wajahnya tidak mengernyit lagi.

Tapi air mata masih basah di pipinya.

Lucian mengambil handuk bersih—lembut mengusap air mata di wajah Chelsea.

Gerakan tangannya pelan, hati-hati—seperti menyentuh sesuatu yang sangat rapuh, yang bisa pecah kalau tidak hati-hati.

"Kamu anak yang sangat baik," bisik Lucian lagi—suaranya serak karena tidak tidur seharian. "Kamu tidak pantas diperlakukan seperti itu."

Ia menatap wajah Chelsea—wajah yang tidur damai sekarang.

"Ayahmu... aku tidak tahu kenapa dia tidak bisa mengekspresikan cintanya. Tapi aku yakin dia mencintaimu. Dengan caranya sendiri."

Atau mungkin dia memang monster yang tidak pantas punya anak.

Tapi itu bukan salahmu, Chelsea. Itu bukan salahmu.

Lucian menarik napas dalam—mencoba menahan sesuatu yang naik di dadanya.

Tapi tidak bisa.

Air matanya jatuh—tanpa izin, tanpa bisa ditahan.

Jatuh ke tangan Chelsea yang ia genggam.

Kenapa aku menangis?

Lucian mengusap air matanya dengan kasar—marah pada dirinya sendiri.

Aku tidak seharusnya menangis. Aku sudah tidak menangis sejak... sejak kapan? Sejak membunuh Adipati Guntur?

Tapi air mata terus mengalir.

Untuk wanita di depannya yang menangis dalam tidur.

Untuk wanita yang tumbuh tanpa cinta ayahnya.

Untuk wanita yang menyalahkan dirinya sendiri atas sesuatu yang bukan salahnya.

"Maafkan aku," bisik Lucian—tidak tahu lagi ia minta maaf untuk apa. "Maafkan aku karena... karena aku tidak bisa memberitahumu kebenaran."

Kebenaran bahwa aku pembunuh. Kebenaran bahwa tanganku penuh darah.

Kebenaran bahwa aku tidak pantas berada di sampingmu.

"Tapi aku... aku tidak bisa pergi," lanjutnya sambil menangis—air mata jatuh ke selimut Chelsea. "Aku tahu aku harus pergi. Aku tahu aku bahaya untukmu. Tapi aku tidak bisa."

Ia menggenggam tangan Chelsea lebih erat.

"Karena kamu... kamu satu-satunya cahaya yang aku punya setelah delapan tahun kegelapan."

Lucian menunduk—dahi menyentuh punggung tangan Chelsea yang ia genggam.

"Delapan tahun aku hidup hanya untuk dendam. Delapan tahun aku hidup hanya untuk kebencian. Tapi kamu... kamu membuat aku merasakan sesuatu yang lain."

Suaranya pecah.

"Kamu membuat aku merasakan... kehangatan lagi. Kebahagiaan lagi. Kamu membuat aku ingin hidup—bukan hanya bertahan hidup."

Air matanya tidak berhenti—mengalir deras, membasahi tangan Chelsea.

"Tapi aku tidak pantas. Aku tidak pantas merasakan kebahagiaan. Aku tidak pantas berada di sampingmu. Karena tanganku... tanganku penuh darah."

Lucian teringat—47 orang yang ia bunuh. Wajah-wajah yang ia tidak ingat lagi. Jeritan-jeritan yang menghantui mimpi buruknya.

"Aku monster, Chelsea. Aku monster yang berpura-pura jadi manusia."

Ia mengangkat kepalanya—menatap wajah Chelsea yang tidur.

"Tapi ketika aku bersamamu... aku lupa aku monster. Aku lupa semua dosa yang aku lakukan. Aku merasa... aku merasa seperti Lucian Andhika—bukan Alexander Rafael pembunuh itu."

Tapi itu bohong. Aku tetap pembunuh. Aku tetap monster.

Lucian mengusap air matanya—mencoba menghentikan, tapi tidak bisa.

"Maafkan aku," bisiknya sekali lagi. "Maafkan aku karena jatuh cinta padamu."

Aku jatuh cinta padamu, Chelsea.

Dan itu dosa terbesarku.

Ia duduk di sana—menangis dalam diam, memegang tangan Chelsea, menjaganya.

Yang ia tidak tahu—Chelsea tidak tidur sepenuhnya.

Demamnya memang tinggi, tubuhnya lemah, tapi kesadarannya muncul tenggelam.

Dan di saat-saat sadar itu—ia mendengar.

Mendengar bisikan Lucian.

Mendengar tangisan Lucian.

Mendengar pengakuan Lucian.

"Aku jatuh cinta padamu."

Mata Chelsea masih tertutup—tapi air matanya mengalir.

Bukan karena demam.

Bukan karena mimpi buruk.

Tapi karena kata-kata itu.

Dia mencintaiku.

Lucian mencintaiku.

Chelsea ingin membuka mata, ingin memeluk Lucian, ingin bilang "Aku juga mencintaimu."

Tapi tubuhnya terlalu lemah. Suaranya tidak keluar. Ia hanya bisa berbaring di sana—mendengar Lucian menangis, merasakan genggaman tangannya yang hangat.

Dan di tengah demam tingginya—Chelsea tersenyum kecil.

Akhirnya ada seseorang yang mencintaiku.

Bukan karena uangku. Bukan karena nama keluargaku.

Tapi karena... aku.

Air matanya terus mengalir—bahagia dan sedih bersamaan.

Bahagia karena dicintai.

Sedih karena mendengar kesedihan di suara Lucian.

"Aku monster yang berpura-pura jadi manusia."

Tidak, Lucian. Kamu bukan monster. Aku tidak tahu apa yang kamu lakukan di masa lalu. Tapi aku tahu—orang yang merawatku sepanjang malam, orang yang menangis untukku—bukan monster.

Kamu manusia baik, Lucian.

Dan aku... aku jatuh cinta padamu juga.

Tapi Chelsea tidak bisa mengatakannya.

Tidak malam ini.

Jadi ia hanya berbaring di sana—merasakan kehangatan tangan Lucian, mendengar tangisannya, tersenyum kecil dalam tidurnya.

Pukul lima pagi, Lucian akhirnya tertidur—kepala bersandar di tepi kasur, tangan masih menggenggam tangan Chelsea.

Chelsea membuka mata—demamnya sudah turun sedikit, kepalanya masih pusing tapi lebih baik dari kemarin.

Ia menatap Lucian yang tertidur—wajahnya lelah, mata bengkak, pasti menangis lama.

Dia menangis untukku.

Dia menjagaku sepanjang malam.

Chelsea mengangkat tangan bebasnya—perlahan menyentuh rambut Lucian, mengusapnya dengan lembut.

"Terima kasih," bisiknya—suara sangat pelan agar tidak membangunkan Lucian. "Terima kasih sudah menjagaku. Terima kasih sudah... mencintaiku."

Ia tersenyum—senyum yang penuh kehangatan.

"Aku juga mencintaimu, Lucian. Entah sejak kapan. Tapi aku mencintaimu."

Chelsea menutup mata lagi—kali ini tidur dengan tenang.

Karena tangan Lucian masih menggenggam tangannya.

Karena Lucian ada di sampingnya.

Karena untuk pertama kali dalam hidupnya—ia merasa dicintai.

Benar-benar dicintai.

Meski ia belum tahu—cinta ini akan membawa mereka ke kebahagiaan atau kehancuran.

Atau keduanya.

Tapi pagi itu—di kamar yang dipenuhi cahaya fajar—dua jiwa yang terluka menemukan kehangatan di satu sama lain.

Dan untuk sesaat—hanya sesaat—dunia terasa tidak seburuk itu.

Meski badai sudah mendekat.

Meski kebenaran suatu hari akan menghancurkan segalanya.

Tapi pagi itu—mereka bahagia.

Dan itu sudah cukup.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!