Kinar menerima tawaran menikah dari sang dokter untuk melunasi hutangnya pada pihak Bank. Sedangkan, dr. Raditya Putra Al-Ghifari, Sp. B menikahinya secara siri hanya untuk mendapatkan keturunan.
Awalnya Kinar menjalaninya sesuai tujuan mereka, tapi lambat laun ia mulai merasa aneh dengan kedekatan mereka selama masa pernikahan. Belum lagi kelahiran anak yang ia kandung, membuatnya tak ingin pergi dari sisi sang dokter.
Kemanakah kisah Kinar akan bermuara?
Ikuti Kisahnya di sini!
follow ig author @amii.ras
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AmiRas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Bersinggungan
Nyatanya, aura tak bersahabat Dokter Radit berlangsung hingga hari ketiga. Kinar akhirnya memberanikan diri untuk berbicara dengan lelaki itu. Rasanya begitu tak mengenakkan tinggal seatap dengan orang yang memendam kemarahan padanya.
Kinar memutuskan berbicara malam harinya ketika mereka selesai makan malam.
"Mas, kenapa?" tanya Kinar menatap Dokter Radit yang berwajah dingin.
Dokter Radit memandang balik Kinar dengan netra menajam, lalu lelaki itu mendengkus sinis.
"Bahagia ya kamu karena setelah lepas dari Saya akan ada pria kaya lainnya yang akan memberimu uang!" ucap Dokter Radit mencemooh.
"Maksud Mas apa?" Kinar menatap bingung dan tak mengerti pada Dokter Radit yang duduk berseberangan dengannya.
"Ternyata semua perempuan itu sama ya? Ditawarin kehidupan lebih enak dia akan langsung berpaling ke yang lainnya," ucap Dokter Radit lagi, semakin tajam saja ucapannya.
"Apa sih, Mas? Aku gak ngerti!" sahut Kinar mulai merasa dongkol.
"Jangan sok polos kamu, Suster Kinar! Saya tahu semua niatmu itu! Jadi, berhentilah bersikap sok baik dan peduli!"
Setelah mengucapkan kalimat kejam itu, Dokter Radit bangkit dari tempat duduknya dan meningalkan Kinar yang termanggu di tempat duduknya.
"Ya, Allah sakit banget! Pengen menghilang saja rasanya," gumam Kinar memegang dadanya yang berdenyut nyeri.
Sejak percakapan semalam, hingga pagi ini, Dokter Radit masih juga bersikap dingin. Kinar ingin sekali mencakar wajah lelaki itu, tapi setiap ia kesa dengan Dokter Radit, selau saa ia merasakan jika perutnya terasa menegang dan kram. Sang jabang bayi di rahimnya ini, seperti tahu jika sang ibu kesal pada ayahnya, dia akan menegur sang ibu dengan itu.
"Suster Kinar!"
Kinar sedang mengistirahatkan diri di kursi taman ruma sakit, ketika Suster Lina mendatanginya.
"Ada apa, Suster Lina?" tanya Kinar lesu.
"Kita diminta bantu di ruang operasi sama Dokter Radit. Ayo!" ujar Suster Lina menari lengan Kinar pelan.
"Saya lagi gak enak badan, Suster Lina. Bisa cari suster yang lain aja, gak?" tolak Kinar denga wajah memelas. Dia benaran merasa lemas sekai dan tak bertenaga. Mungkin karena kehamilannya ini, padahal ia juga tak sering merasa mual. Hanya dalam keadaan tertentu saja ia akan mual.
"Duh, gimana ya Kin? Itu Dokter Radit dah lama banget nunggu, nanti kalau aku cari suster lainnya takut kelamaan terus kena semprot deh sama Dokter Radit," ucap Suster Lina kebingungan. Dia juga menatap wajah lesu Kinar dengan pandangan tak enak.
"Ya sudah deh, Sus. Ayo! Nanti dimarahin lagi kamu," sahut Kinar akhirnya. Tidak tega juga dengan rekannya itu.
Pada akhirnya Suster Kinar kembali memasuki ruangan keramat baginya itu yaitu ruang operasi. Meski merasa lemas dan sudah berkeringat dingin, Kinar masih bisa bertahan di ruangan itu.
"Gunting!"
Kinar menyerahkan gunting pada Dokter Radit. Semuanya tampak tegang di ruangan itu.
"Jahit, Dok!" ucap Dokter Radit pada Dokter Wina yang membantunya.
Hampir dua jam di ruangan operasi akhirnya proses itu berjalan lancar. Semua wajah tampak penuh kelegaan.
"Alhamdulillah!" ucap Suster Lina lirih di samping Kinar.
"Suster Lina!" panggil Kinar berbisik pada rekannya.
"Ada apa, Kin?" Suster Lina balas berbisik. Karena para dokter masih membereskan sisa operasi.
"Tolong papah saya keluar! Saya gak kuat jalan, lemas banget!" ucap Kinar dengan wajah yang sudah memucat pasi.
"Ya ampun, Suster Kinar! Kamu pucat banget, tangan juga dingin. Ayo ku antar kamu ke ruang istirahat!" ucap Suster Lina agak keras, yang kontan saja membuat tiga orang dokter di ruangan itu menoleh pada kedua suster itu.
"Ehm, maaf Dok bisa kami izin keluar lebih dulu? Suster Kinar sepertinya kurang sehat," ucap Suster Lina meminta izin, sambil menahan tubuh Kinar dengan memegang bahunya.
"Silahkan!" sahut Dokter Radit datar. Menatap sejenak ke wajah Suster Kinar yang begitu pucat dengan mata sayu.
Suster Lina mengangguk. Segera memapah Kinar keluar dari ruangan operasi. Ia membawa Kinar ke ruang istirahat khusus perawat, dan membantu Kinar berbaring di brankar.
"Terima kasih, Sus!" ucap Kinar lirih.
"Kamu istirahat dulu ya! Kayaknya beneran gak sehat ini kamu," sahut Suster Lina membantu menyelimuti Kinar.
Kinar mengangguk pelan. Setelahnya ia ditinggalkan sendiri di ruangan itu, tak sampai lima menit Suster Kinar memejamkan matanya tertidur, berharap ketika bangun nanti ia sudah lebih baikan.
Dua jam setelahnya, Kinar terbangun. Ia melirik jam dinding yang ada di ruangan itu, yang sudah menunjukkan angka jam setengah satu siang. Perutnya sudah berbunyi keroncongan meminta diisi makan. Membenahi penampilannya sejenak di toilet, barulah setelah itu Kinar menuju kantin untuk mencari makan siang. Ia tak sempat membuat bekal tadi pagi, karena dirinya bangun kesiangan. Ia hanya sempat membuat susunya dan kopi untuk Dokter Radit, mereka hanya sarapan roti tawar tadi pagi. Pantaslah jika Kinar merasa begitu kelaparan sekali.
Kinar makan sendirian di kantin rumah sakit. Kantin siang itu tampak lengang, hanya terisi oleh beberapa orang saja. Lalu, tiba-tiba saja netra Kinar mendapati dua orang wanita yang begitu ia kenal. Kedua wanita itu tampak berbicara serius di meja ujung, yang agak jauh dari meja Kinar. Mereka adalah Ibu Sonia dan Dokter Ririn. Entah kenapa, Kinar merasa iri begitu melihat senyum tipis di bibir Ibu Sonia tersungging untuk Dokter Ririn. Kinar menunduk menatap piringnya, ia merasa sedih. Di saat kehamilan seperti ini, Kinar rasanya ingin ada yang memperhatikannya, atau ia yang bisa bermanja-manja. Anda saja... Orang tuanya masih ada... Dia mungkin bisa bermanja pada ibunya, meminta ibunya memanjakannya dengan berbagai masakan enak dari tangan penuh kasih itu. Tanpa sadar, Kinar mengusap sudut matanya yang berair, masih dalam posisi menunduk.
"Suster Kinar!"
Tepukan halus di pundaknya membuat Kinar mendongak. Matanya masih memerah sedikit karena menahan tangis. Dia mendongak pada lelaki bersneli putih yang kini telah duduk di kursi seberangnya.
"Ibu hamil tidak boleh bersedih, Sus!" ucap Dokter Ardi pelan.
Doktr Ardi menoleh pada arah tatapan Suster Kinar pada meja di ujung. Ia mengangguk paham melihat jika Ibu Sonia dan Dokter Ririn, yang tampak terlibat obrolan santai.
"Apakah selama ini kalian menyembunyikan pernikahan dari orang tua, Sus?"
Kinar segera menoleh pada Dokter Ardi, "jangan terlalu lancang mencampuri urusan orang lain, Dok!" ucap Kinar mengingatkan.
Dokter Ardi mengangguk mengerti. Ia memperhatikan mendung di wajah perempuan di hadapannya. Ia berharap kebahagiaan untuk perempuan yang ia cintai itu, meski tak bisa memilikinya. Melihat wajah mendung Suster Kinar, membuat Dokter Ardi rasa-rasanya ikut merasa sakit.
"Saya duluan, Dok!" ucap Kinar tanpa menghabiskan makanannya. Ia tak mau terlalu lama dekat dengan Dokter Ardi, tidak ingin memperumit masalahnya sendiri.
Kinar tidak tahu, jika netra Ibu Sonia mengikuti gerak-geriknya. Ada tatapan penuh misterius yang dilayangkan oleh wanita baya itu.
Bersambung....
Tapi gak papa suster Kinar kamu sudah ditunggu jandanya sama dr Ardi.....!