Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENCARI LOKASI - DITOLAK KARENA "TIDAK BONAFID"
Selama dua minggu berikutnya, Fajar, Reza, dan Pak Ganes berburu lokasi dengan intensitas yang luar biasa.
Setiap hari setelah kuliah, Fajar langsung bertemu dengan Reza dan Pak Ganes. Mereka berkeliling kota dengan sepeda motor bekas pinjaman Pak Ganes—bertiga di satu motor, sangat penuh dan tidak nyaman, tapi mereka tidak peduli. Yang penting hemat ongkos.
Dua minggu.
Dua puluh tiga lokasi yang mereka survey.
Dan dua belas kali mereka ditolak.
PENOLAKAN PERTAMA - Ruko di Jalan Melati (dekat kampus)
Ruko itu perfect. Ukuran 4x6 meter, bersih, cat masih bagus, lokasi strategis persis di depan komplek kos-kosan mahasiswa. Harga sewa: dua juta per bulan.
Fajar, Reza, dan Pak Ganes bertemu dengan pemilik ruko—Bapak Harto, pria paruh baya dengan perut buncit dan wajah yang terlihat sombong.
"Jadi kalian mau sewa ruko ini untuk apa?" tanyanya sambil menatap mereka bertiga dari atas hingga bawah dengan tatapan menilai—tatapan yang sangat tidak nyaman.
"Untuk usaha laundry kiloan, Pak," jawab Fajar sopan. "Khusus untuk mahasiswa. Harga terjangkau, kualitas bagus."
"Laundry kiloan?" Pak Harto tertawa meremehkan. "Bisnis laundry? Di sini? Sudah banyak, Nak. Nggak akan laku."
"Kami punya unique value proposition, Pak," Reza mencoba menjelaskan dengan bahasa bisnisnya. "Harga lebih murah dari kompetitor, tapi kualitas dijamin. Plus jasa antar-jemput gratis—"
"Kamu siapa?" potong Pak Harto sambil menatap Reza dengan tatapan curiga. "Kok bahasa kamu kayak anak orang kaya?"
"Saya Reza Maheswara, Pak. Partner dalam bisnis ini—"
"Maheswara?" Pak Harto mengernyitkan kening. "Keluarga Mahkota Propertindo?"
"Iya, Pak. Tapi bisnis ini independent, tidak ada hubungannya dengan—"
"Terus kamu," Pak Harto menunjuk Fajar dengan dagu, "kamu siapa? Anak orang kaya juga?"
"Tidak, Pak," jawab Fajar jujur—meski hatinya sudah mulai tidak enak dengan nada Pak Harto. "Saya mahasiswa beasiswa. Tapi saya—"
"Dan kamu?" Pak Harto menatap Pak Ganes. "Tukang becak kan?"
Pak Ganes mengangguk pelan.
Pak Harto tertawa keras—tawa yang sangat merendahkan.
"Jadi tim kalian: anak orang kaya yang main-main bisnis, anak miskin yang nggak punya pengalaman, dan tukang becak tua?" Ia menggeleng-geleng dengan tatapan sangat meremehkan. "Maaf ya, Nak. Aku nggak bisa sewa ruko ini ke kalian."
"Tapi Pak, kami serius—" Fajar mencoba membela.
"Serius?" Pak Harto memotong dengan nada sinis. "Kamu pikir bisnis itu main-main? Kamu pikir modal nekad aja cukup? Kamu anak mahasiswa yang masih culun, nggak punya track record bisnis, nggak punya jaminan. Kalau tiba-tiba kalian bangkrut atau kabur, aku yang rugi. Ruko aku rusak, aku yang susah."
"Kami bisa kasih jaminan, Pak," Reza mencoba menawarkan. "Saya bisa—"
"Nggak usah," potong Pak Harto tegas sambil melipat tangan di depan dada. "Aku cari penyewa yang bonafid. Yang punya track record. Yang punya jaminan jelas. Bukan anak-anak yang masih idealis kayak kalian. Maaf ya."
Ia berbalik, masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan mereka bertiga berdiri di depan ruko dengan hati remuk.
DITOLAK.
PENOLAKAN KEDUA - Ruko di Jalan Anggrek (dekat terminal)
Ruko lebih kecil, 3x5 meter, tapi lokasi cukup strategis. Harga sewa: satu juta delapan ratus ribu per bulan.
Pemiliknya, Ibu Lastri, wanita tua yang kelihatan ramah di awal.
"Mau usaha apa, Nak?" tanyanya sambil tersenyum.
"Laundry kiloan, Bu. Untuk mahasiswa."
Senyum Ibu Lastri langsung luntur. "Laundry? Bisnis laundry itu susah, Nak. Kompetisinya ketat. Banyak yang bangkrut."
"Kami sudah riset, Bu," jawab Fajar dengan sopan. "Kami punya strategi yang berbeda—"
"Kamu masih mahasiswa kan?" potong Ibu Lastri sambil menatap pakaian lusuh Fajar.
"Iya, Bu."
"Nggak boleh," Ibu Lastri menggeleng tegas. "Aku nggak percaya mahasiswa. Mahasiswa itu nggak serius. Main-main. Besok-besok ditinggal kuliah, ruko aku nganggur. Aku rugi."
"Tapi Bu, kami serius. Ini bukan main-main—"
"Nggak bisa. Maaf ya, Nak. Cari tempat lain aja."
DITOLAK.
PENOLAKAN KETIGA, KEEMPAT, KELIMA...
Alasannya selalu sama:
"Kamu terlalu muda. Nggak berpengalaman."
"Bisnis laundry nggak akan laku."
"Aku nggak percaya anak mahasiswa."
"Kamu nggak bonafid."
"Tim kamu aneh. Nggak profesional."
"Aku cari penyewa yang established, bukan pemula kayak kalian."
Setiap penolakan adalah pisau yang menusuk hati Fajar. Setiap kata meremehkan adalah cambukan yang menyakitkan. Tapi ia tidak menyerah. Mereka bertiga tidak menyerah.
PENOLAKAN KEENAM - Yang Paling Menyakitkan
Ruko di Jalan Kenanga, tepat di samping minimarket—lokasi yang sempurna. Ukuran 3x4 meter, cukup untuk operasional kecil. Harga sewa: satu juta lima ratus ribu per bulan—affordable!
Pemiliknya, Pak Bambang, pria paruh baya dengan wajah galak.
"Bisnis apa?" tanyanya dengan nada tidak ramah sejak awal.
"Laundry, Pak."
"Berapa modal kalian?"
"Delapan juta, Pak."
Pak Bambang tertawa meremehkan. "Delapan juta? Mau bisnis laundry? Mimpi kali. Modal segitu nggak akan cukup. Kalian pasti bangkrut dalam tiga bulan. Terus kabur ninggalin ruko aku berantakan."
"Kami tidak akan kabur, Pak," Fajar membela dengan suara bergetar menahan marah. "Kami serius."
"Serius?" Pak Bambang menatap Fajar dengan tatapan sangat merendahkan. "Kamu masih kurus kering kayak gini mau bisnis? Mending kamu makan yang banyak dulu, Nak. Ngurusin badan kamu dulu sebelum ngurusin bisnis."
Reza yang dari tadi diam langsung angkat bicara dengan nada marah. "Pak, itu nggak etis—"
"Etis?" Pak Bambang memotong dengan nada mengejek. "Aku cuma bilang kenyataan. Liat aja tuh temenmu—kurus kayak orang kelaparan. Mana bisa orang kayak gitu sukses bisnis? Bisnis itu butuh orang yang kuat, yang sehat, yang punya energi. Bukan orang yang kayak mau mati."
Fajar merasakan seluruh tubuhnya menegang. Tangannya mengepal sangat kuat. Ia ingin memukul. Ingin berteriak. Tapi ia tahu—itu tidak akan mengubah apapun.
Pak Ganes memegang bahu Fajar dengan lembut, memberi kode untuk pergi.
Mereka bertiga keluar dengan hati hancur.
Di luar, Fajar berdiri terdiam dengan tangan masih mengepal. Rahangnya mengeras. Matanya berkaca-kaca—bukan karena sedih, tapi karena marah dan frustasi yang luar biasa.
"Jar..." Reza menatap sahabatnya dengan tatapan khawatir.
"Aku tidak apa-apa," kata Fajar dengan suara datar—terlalu datar. "Aku baik-baik saja. Kita cari tempat lain."
Tapi Pak Ganes tahu—Fajar tidak baik-baik saja. Pemuda ini sudah di ujung batas kesabarannya.
PENOLAKAN KETUJUH HINGGA KEDUA BELAS...
Semua dengan alasan yang sama. Semua dengan tatapan meremehkan yang sama. Semua dengan kata-kata yang menyakitkan.
Hari keempat belas. Sore hari. Mereka duduk di pinggir jalan, di bawah pohon rindang, dengan wajah sangat lelah dan frustrasi.
"Dua minggu," gumam Fajar dengan suara sangat lelah. "Dua minggu kita cari. Dua puluh tiga lokasi. Dua belas penolakan. Belasan lokasi lain terlalu mahal atau terlalu jelek. Kita... kita nggak akan dapat tempat."
"Jangan menyerah, Nak," kata Pak Ganes dengan suara lembut. "Masih ada satu tempat lagi yang belum kita survey. Yang terakhir di list."
Reza membuka catatannya. "Ruko di Gang Melati 3. Ukuran 3x5 meter. Lokasi di gang—bukan di jalan utama. Harga sewa: dua juta per bulan."
"Dua juta untuk ruko di gang?" Fajar mengerutkan kening. "Mahal banget."
"Iya. Makanya aku taruh paling bawah di list. Tapi... ini satu-satunya yang belum kita coba."
Mereka bertiga menatap satu sama lain.
"Coba aja," kata Pak Ganes akhirnya. "Nggak ada salahnya. Kalau ditolak lagi... ya kita mikir strategi lain."
Fajar mengangguk pelan. "Oke. Coba aja."
RUKO DI GANG MELATI 3
Gang itu sempit. Hanya cukup untuk satu motor lewat. Dinding kanan kiri adalah rumah-rumah penduduk yang sangat rapat. Jalan berbatu, sedikit berlubang. Tidak ada lampu jalan yang terang. Suasana cukup sepi—hanya terdengar suara TV dari rumah-rumah dan anak-anak main di ujung gang.
Bukan lokasi ideal.
Sama sekali tidak ideal.
Tapi di ujung gang itu, ada satu ruko kecil. Cat hijau pudar. Pintu kayu tua. Jendela kaca retak di satu sudut. Ukuran memang 3x5 meter—sangat kecil.
Pemiliknya, Pak Soleh, pria tua berusia sekitar enam puluh tahun, dengan wajah keriput tapi mata yang ramah.
"Mau sewa ruko ini?" tanyanya dengan suara parau.
"
lama" ngeselin fajar.
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.