NovelToon NovelToon
MERENDAH UNTUK MELANGIT

MERENDAH UNTUK MELANGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Kehidupan di Kantor / Kebangkitan pecundang / Bepergian untuk menjadi kaya / Romansa / Mengubah Takdir
Popularitas:5.7k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

​Di Desa Asri yang terpencil, Fajar Baskara, seorang pemuda multitalenta ahli pengobatan tradisional, harus menyaksikan keluarganya hancur—ayahnya lumpuh karena sabotase, dan adiknya difitnah mencuri—semuanya karena kemiskinan dan hinaan. Setiap hari, ia dihina, diremehkan oleh tetangga, dosen arogan, bahkan dokter lulusan luar negeri.
​Namun, Fajar memegang satu janji membara: membuktikan bahwa orang yang paling direndahkan justru bisa melangit lebih tinggi dari siapapun.
​Dari sepeda tua dan modal nekat, Fajar memulai perjuangan epik melawan pengkhianatan brutal dan diskriminasi kelas. Mampukah Fajar mengubah hinaan menjadi sayap, dan membuktikan pada dunia bahwa kerendahan hati sejati adalah kekuatan terbesar untuk meraih puncak kesuksesan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kembali ke kota

Pak Wira menatap anaknya lama sekali. Kemudian ia menangkup wajah Fajar dengan kedua tangannya yang gemetar.

"Kamu... kamu adalah kebanggaan terbesar Ayah, Nak," katanya dengan suara bergetar penuh emosi. "Ayah mungkin gagal sebagai kepala keluarga. Tapi Ayah berhasil punya anak seperti kamu. Itu... itu sudah cukup membuat hidup Ayah berarti."

Mereka berpelukan lama—seorang ayah yang sudah hancur dan seorang anak yang bertekad mengangkat ayahnya dari kehancuran itu.

---

Satu jam kemudian, Fajar berjalan menuju halte bus di pertigaan desa. Langkahnya berat. Hatinya berat. Tapi tekadnya semakin kuat.

Ia melewati rumah Bu Darmi—rumah yang catnya masih bagus, pagar besinya masih kokoh, halaman depannya rapi dengan tanaman hias dalam pot. Jelas rumah orang yang hidupnya jauh lebih baik dari keluarga Fajar.

Bu Darmi sedang duduk santai di teras dengan beberapa tetangga—ibu-ibu yang suka bergosip sambil minum teh manis.

"Eh, lihat tuh!" Bu Darmi menunjuk Fajar dengan dagu, suaranya cukup keras agar Fajar dengar. "Si Fajar mau balik ke kota. Katanya sih kuliah di universitas bagus. Tapi ya... apa gunanya kuliah tinggi kalau keluarganya udah rusak begini?"

Ibu-ibu yang lain tertawa kecil—tawa yang terdengar sangat jahat.

"Iya, kan kemarin Rani ketahuan mencuri di sekolah," sahut Bu Sumi, tetangga sebelah yang rumahnya juga jauh lebih layak dari rumah Fajar. "Dasar keturunan miskin. Emang udah gen-nya kayak gitu kali ya. Suka nyolong."

"Eh tapi kalian tahu nggak?" Bu Darmi melanjutkan dengan nada penuh kepuasan yang menjijikkan. Ia mengeluarkan amplop dari kantong bajunya. "Kemarin aku dapat bantuan dari desa lagi loh. Lima ratus ribu. Alhamdulillah banget. Lumayan buat beli kulkas baru."

"WAAAH ENAK BANGET!" Bu Sumi berteriak girang. "Aku juga dapat! Udah aku pakai buat bayar motor!"

"Keluarga Pak Wira nggak dapat ya?" tanya Bu Lastri—ibu-ibu yang lain—dengan nada pura-pura heran tapi jelas ada nada mengejek.

"Ya nggak lah!" Bu Darmi tertawa keras. "Masa keluarga yang anaknya pencuri dikasih bantuan? Nanti uangnya malah dipakai buat nyolong lagi. Lagian, mereka kan nggak pinter cari muka sama Pak Kades. Saya sih rajin bantu-bantu acara desa, sumbang sana-sini, jadi ya dikasih. Namanya juga harus pinter cari peluang."

Mereka tertawa keras-keras—tawa yang menggema hingga ke jalan.

Fajar berhenti sejenak. Seluruh tubuhnya menegang. Tangannya mengepal sangat kuat hingga kuku-kukunya menancap ke telapak tangan dan berdarah. Rahangnya mengeras. Giginya gemeretak. Matanya menatap tajam ke arah ibu-ibu itu dengan tatapan penuh amarah yang sangat besar.

*Mereka. Mereka yang seharusnya tidak dapat bantuan, malah dapat. Sementara keluarga kami yang benar-benar butuh, diabaikan. Karena kami terlalu jujur. Terlalu rendah hati. Tidak mau menjilat. Tidak mau nyogok. Tidak mau main politik kotor.*

Ia ingin berbalik. Ingin berteriak. Ingin memaki mereka habis-habisan. Ingin membela keluarganya.

Tapi ia tahu—itu tidak akan ada gunanya. Orang-orang seperti mereka tidak akan pernah mengerti. Mereka hanya bisa menghina, meremehkan, dan menertawakan penderitaan orang lain.

Jadi Fajar menarik napas dalam-dalam, memaksa kakinya untuk terus melangkah. Tidak menoleh. Tidak merespon.

Tapi setiap kata hinaan itu tertanam sangat dalam di hati—bukan sebagai luka yang melemahkan, tapi sebagai bahan bakar yang membuat api kemarahannya menyala semakin besar.

*Suatu hari nanti,* tekadnya dalam hati dengan kemarahan yang sangat besar, *aku akan pulang ke desa ini dengan mobil bagus. Dengan pakaian rapi. Dengan uang di kantong. Dengan kesuksesan yang tidak bisa kalian remehkan lagi. Dan aku akan lihat wajah kalian—wajah kalian yang menyesal karena sudah meremehkan keluarga kami. Aku tidak akan membalas dengan hinaan. Tapi aku akan buktikan dengan kesuksesan bahwa kalian semua salah. Bahwa keluarga yang kalian injak-injak ini justru bisa melangit jauh lebih tinggi dari kalian.*

---

Bus ekonomi yang penuh sesak akhirnya membawa Fajar kembali ke Kota Gemilang. Enam jam perjalanan yang terasa sangat panjang—bahkan lebih panjang dari biasanya karena pikirannya tidak bisa berhenti.

Wajah Rani yang hancur total—mata kosong, luka sayatan di pergelangan tangan.

Wajah ayah yang putus asa—mata yang sudah menyerah, tubuh yang semakin kurus.

Suara ibu yang menangis histeris—suara seorang ibu yang hampir kehilangan anak.

Suara radio yang memberitakan korupsi ratusan triliun—sementara keluarganya berjuang untuk tiga ratus ribu.

Video anggota DPR yang joget-joget senang karena gaji naik—sementara rakyat demo di jalanan.

Hinaan Bu Darmi dan tetangga-tetangga—sambil pamer bantuan sosial yang seharusnya untuk keluarganya.

Semuanya bercampur jadi satu menciptakan tekad yang sangat besar, amarah yang sangat besar, motivasi yang sangat besar di dadanya.

*Aku harus sukses. Ini bukan lagi "ingin" atau "berharap". Ini adalah "HARUS". Tidak ada pilihan lain. Aku harus sukses atau mati mencoba. Untuk Rani. Untuk Ayah. Untuk Ibu. Untuk semua orang yang percaya padaku. Dan untuk membuktikan pada semua orang yang meremehkan kami bahwa mereka salah besar.*

Sampai di kota, sudah malam. Fajar langsung ke kos dengan tubuh sangat lelah tapi pikiran sangat aktif—terlalu aktif untuk tidur.

Di sakunya hanya tersisa dua puluh lima ribu rupiah—uang untuk makan dua minggu ke depan. Ia tidak tahu bagaimana ia akan bertahan. Tapi ia akan cari cara.

*Aku selalu cari cara. Aku akan bertahan.*

Sesampainya di kamar sempit yang bau apek, ia mereb ahkan diri di kasur tipis, menatap langit-langit yang bocor. Kemudian ia mengambil ponsel tuanya, mengirim pesan pada Reza:

> *Reza, maaf baru bales. Aku sempat pulang kampung. Ada masalah keluarga yang sangat urgent. Tapi aku sekarang udah balik. Besok kita bisa ketemu lanjutin pembahasan bisnis?*

Tiga menit kemudian, balasan masuk:

> *Of course! Besok jam 4 sore di kafe deket kampus ya. Btw, everything okay? Kalau ada masalah dan aku bisa bantu, bilang aja. Serius. Kita partner sekarang.*

Fajar tersenyum tipis membaca pesan itu. *Partner.* Kata yang terasa sangat berarti. Kata yang membuat ia merasa tidak sendirian lagi.

> *Thanks, Reza. Appreciate it banget. Sampai besok.*

---

Senin sore, jam empat tepat, Fajar duduk di kafe kecil dekat kampus. Kafe yang nyaman dengan interior kayu, tanaman hias di sudut-sudut, dan aroma kopi yang menenangkan—meskipun Fajar tidak bisa beli apapun karena uangnya sangat terbatas. Ia hanya duduk dengan segelas air putih gratis yang diberikan pelayan dengan tatapan sedikit kasihan.

Reza datang lima menit kemudian dengan senyum ramah. Ia duduk di depan Fajar, langsung memesan dua kopi dan dua slice cake—satu set untuk dirinya, satu set untuk Fajar meskipun Fajar tidak minta.

"Minum dan makan dulu," kata Reza sambil mendorong kopi dan cake ke arah Fajar. "Kamu kelihatan sangat capek. Dan kurus banget. Serius deh, Jar. Kamu harus jaga kesehatan."

Fajar ingin menolak—gengsinya tidak mau terlihat butuh. Tapi perutnya yang sudah keroncongan sejak pagi membuatnya tidak bisa menolak. Ia makan cake itu pelan-pelan, berusaha tidak terlihat terlalu lahap meskipun ingin sekali melahapnya dengan cepat.

"Pulang kampung kenapa?" tanya Reza dengan nada serius sambil menyeruput kopinya.

Fajar terdiam sejenak. Ia ragu harus cerita atau tidak. Tapi kemudian ia melihat mata Reza—mata yang tulus peduli, bukan mata yang ingin menghakimi atau mengasihani dengan merendahkan.

Jadi ia cerita. Cerita tentang Rani yang sempat dapat toleransi sekolah gratis dari Bu Rina. Cerita tentang bagaimana adiknya senang sekali—hanya seminggu sempat merasakan sekolah lagi. Kemudian tragedi: difitnah mencuri tanpa investigasi proper, dipermalukan di depan umum, dikeluarkan dengan cara yang sangat memalukan, dicaci, diludahi. Cerita tentang Rani yang hampir bunuh diri—luka sayatan di pergelangan tangan. Cerita tentang ayahnya yang semakin putus asa mendengar radio berisi berita korupsi ratusan triliun dan anggota DPR yang joget-joget senang karena gaji naik. Cerita tentang bantuan sosial yang salah sasaran—tetangga yang hidupnya jauh lebih baik malah dapat, sementara keluarganya yang benar-benar butuh diabaikan. Cerita tentang hinaan tetangga yang pamer bantuan sambil menertawakan keluarganya.

Reza mendengarkan dengan sangat serius. Wajahnya berubah—dari simpati menjadi kemarahan yang tulus, bahkan tangannya mengepal di atas meja.

"That's seriously fucked up," kata Reza dengan nada marah setelah Fajar selesai bercerita. Matanya memancarkan kemarahan yang genuine. "Sistem di negara ini memang rusak total, Jar. Orang yang seharusnya dibantu malah diabaikan. Orang yang seharusnya dihukum malah bebas dan makin kaya. Orang jujur diinjak-injak. Orang korup malah jadi pahlawan. Dan yang paling menyebalkan—mereka yang punya kuasa malah joget-joget senang sementara rakyat menderita."

Fajar mengangguk pelan. Dadanya masih sesak mengingat semua itu.

"Makanya, Reza," kata Fajar dengan suara bergetar tapi sangat tegas, "aku harus sukses. Ini bukan lagi soal 'ingin' atau 'berharap'. Ini adalah 'harus'. Keharusan mutlak. Aku harus buktikan pada semua orang—pada Bu Lastri yang fitnah Rani, pada tetangga yang hina keluarga aku, pada sistem yang nggak adil ini—bahwa kami layak dihormati. Bahwa orang miskin kayak kami bukan sampah yang bisa diinjak-injak sesuka hati."

Reza menatap Fajar lama sekali. Ia melihat api yang menyala sangat besar di mata Fajar—api yang berbeda dari sebelumnya. Ini bukan lagi api harapan. Ini adalah api kemarahan yang sudah ditransformasi menjadi motivasi yang sangat kuat.

"Fajar," kata Reza dengan nada sangat serius, "aku mau bantu. Serius. Aku bisa kasih kamu uang sekarang juga. Modal full. Sepuluh juta, dua puluh juta, tiga puluh juta—berapapun yang kamu butuhin. Aku transfer sekarang. Anggap aja investment dari aku sebagai partner. Atau kalau kamu nggak mau dianggap investment, anggap aja pinjaman tanpa bunga yang bisa kamu bayar kapanpun kamu sanggup. Atau bahkan—"

"Stop," potong Fajar lembut tapi tegas.

Reza terdiam.

Fajar menatap mata Reza lurus. "Aku hargai niatmu, Reza. Seriously. Aku sangat-sangat hargai. Kamu salah satu orang paling baik yang pernah aku temuin. Tapi..."

Ia menarik napas dalam-dalam.

"Aku harus mulai dengan keringatku sendiri."

Reza mengerutkan kening. "Kenapa? Ini bukan soal gengsi kan? Ini soal praktis. Bisnis butuh modal. Aku punya modal. Kita partner. Wajar kalau aku invest."

"Bukan soal gengsi," jawab Fajar sambil menggeleng pelan. "Tapi soal prinsip. Reza, sepanjang hidup aku... aku udah terlalu sering jadi beban untuk orang lain. Ibu kasih aku tabungan dua tahun—tabungan hasil keringat nyuci baju orang. Mbok Jumi kasih aku pinjaman dari tabungan dia yang sangat terbatas. Kalau sekarang aku terima uang besar dari kamu, aku merasa... aku merasa kayak aku nggak bisa apa-apa tanpa bantuan orang. Aku merasa kayak aku cuma omong doang, nggak ada action nyata."

"Tapi bisnis itu memang butuh kolaborasi dan—"

"Aku tahu," potong Fajar lembut. "Dan aku akan terima partnership kamu. Tapi biar aku kumpulin modal awal sendiri dulu. Minimal setengahnya. Biar aku merasa aku udah kasih kontribusi nyata—bukan cuma ide dan omongan, tapi keringat dan pengorbanan. Aku butuh itu, Reza. Aku butuh membuktikan—bukan cuma pada orang lain, tapi pada diriku sendiri—bahwa aku bisa."

Reza terdiam lama. Ia menatap Fajar dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian perlahan, ia tersenyum—senyum yang penuh respek.

"Kamu keras kepala," katanya sambil tertawa kecil. "Keras kepala banget. Tapi aku respect itu. Seriously. Kebanyakan orang di posisimu akan langsung ambil uang tanpa pikir panjang. Tapi kamu... kamu beda. Dan itu yang bikin aku makin yakin partnership ini akan berhasil."

Reza mengulurkan tangannya. "Oke. Kita lakukan dengan caramu. Kamu kumpulin modal sesuai kemampuanmu—dengan keringatmu sendiri. Nanti kalau udah siap, kita launch bareng. Aku akan support dari sisi strategi, network, marketing plan, dan tambahan modal kalau memang dibutuhkan di tahap scaling. Deal?"

"Deal." Fajar menjabat tangan Reza dengan erat—jabat tangan yang menandakan awal dari partnership yang akan mengubah hidup.

"Tapi ada beberapa syarat dari aku," kata Reza dengan nada serius tapi tetap ramah.

"Apa?"

"Pertama: kamu harus jaga kesehatan. Seriously, Jar. Kalau kamu sakit, bisnis nggak akan jalan. Partner aku harus sehat. Jadi kalau kamu nggak punya uang makan, bilang aku. Aku traktir. Bukan charity—tapi investment untuk kesehatan partner aku."

Fajar tersenyum kecil. "Oke."

"Kedua: kita bikin sistem check-in mingguan. Setiap minggu kita ketemu, discuss progress, brainstorm, troubleshoot problems. Aku pengen terlibat aktif—bukan cuma kasih uang tapi nggak tahu apa-apa."

"Setuju."

"Ketiga—dan ini yang paling penting," Reza mengeluarkan ponselnya, membuka kontak, "aku punya kenalan pengacara. Namanya David. Dia anak muda, idealis, suka handle kasus-kasus ketidakadilan sosial secara pro bono—gratis. Aku udah cerita sedikit tentang kasus Rani. Dia tertarik bantu. Kalau kamu mau, aku bisa arrange meeting.

1
Sean Eagle
yg gue bingung Fajar ini masih umur 5 tahun kah thor ?......dikit dikit nangis
Dri Andri: terlalu pedih hidupnya
total 1 replies
ceuceu
sebenarnya kasian sm fajar,tapi kerasnya yg bikin greget,ga mau minta bantuan akhirnya kerja trs ampe sakit,biaya rumah sakit gede kn .
lama" ngeselin fajar.
Meru Kristanto
udah tamatkah
Dri Andri: belum kak... aku belum update bab... masih update 2 novel lain Sultan setelah koma dan cinta beda alam

mungkin bab ini sekarang update tunggu ya 😊
total 1 replies
ceuceu
Masyaa Allah ikut senang nereka sukses bersama/Good//Good//Good/
Dri Andri: iya makasih hadirnya yah
total 1 replies
Adek Denu
nice thor💪😍
Dri Andri: makasi
total 1 replies
Dewiendahsetiowati
semoga cepat clear masalah Fajar dan Damar dapat hukuman
Dri Andri: susah kak... karena dari keluarga kaya koneksi besar hukum bisa di tutup dengan cuan
total 1 replies
ceuceu
terimakasih update nya thor
Dri Andri: sama sama makasih juga dukungan lewat komentarnya
total 1 replies
ceuceu
thor rani apa kabarnya pengacara david udh nanganin kasusnya blm?
Dri Andri: hehehe kelupaan.. kebawa suasana cerita kuliah,,, pokus dulu aja di sini
total 1 replies
ceuceu
gedeg bgt blm apa" udh ada pengacau
Dri Andri: 🤭minum dulu jngn terbawa suasana
total 1 replies
Dri Andri
ya seperti parkiran.... kan beda di sana kota... sama bahan bakar yang pake🤭
ceuceu
thor bukan nya sepeda ga pake bensin ya?
kok demi hemat fajar ga bawa sepeda ke kampus?
kalaw jalan kaki bukan nya hemat malah lebih boros di waktu dan tenaga.
Dri Andri
sama....bukan lebay yah aku aja yang tulis mau nangis
ceuceu
tiap bab penuh bawang/Sob/
Dri Andri: sama.... bukan lebay ya... aku aja yng tulis sampe mau nangis
total 1 replies
ceuceu
ga tega bgt fajar/Sob/
Dri Andri
sabar yaa
Dri Andri
terimakasih udah selalu hadir di novel saya.... ini suatu kebangaan bagi saya 🙏
Dri Andri
Terimakasih kak udah selalu hadir di novel saya ini suatu kebangaan bagi saya
Dewiendahsetiowati
bikin dada nyesek.baca 😭😭
Dewiendahsetiowati
hadir thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!