Demi melanjutkan pendidikannya, Anna memilih menjadi magang di sebuah perusahaan besar yang akhirnya mempertemukannya dengan Liam, Presiden Direktur perusahaan tempatnya magang. Tak ada cinta, bahkan Liam tidak tertarik dengan gadis biasa ini. Namun, suatu kejadian membuat jalan takdir mereka saling terikat. Apakah yang terjadi ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Proses Rekrut
Hari pertama pembukaan pendaftaran, HR sudah siap dengan formulir digital khusus yang dibuat tergesa-gesa semalam. Formatnya sederhana: pengajuan diri, pengalaman administratif, kemampuan komunikasi, dan kesiapan kerja di bawah tekanan tinggi. HR menyebarkan pengumuman itu ke seluruh karyawan lewat email blast, lengkap dengan catatan: “Posisi ini memerlukan ritme cepat. Kandidat harus siap bekerja langsung dengan Presiden Direktur.”
Sejak pagi email masuk tak henti, namun bukan untuk mendaftar—melainkan menolak. Ada yang beralasan sudah overload, ada yang terang-terangan mengatakan “tidak sanggup kerja di bawah Liam”. Namun setidaknya… ada beberapa yang mendaftar.
Tidak banyak. Tapi ada.
HR menarik napas panjang ketika melihat angka itu di dashboard. Tujuh. Hanya tujuh nama dari hampir enam ratus karyawan dan lebih dari tiga puluh anak magang.
Jumlahnya menyedihkan, tetapi jauh lebih baik daripada kosong sepenuhnya.
Pukul dua siang, saat break makan siang hampir habis, Gema masuk ke ruangan HR untuk mengecek perkembangan. Rambutnya sedikit berantakan karena seharian ikut menjembatani divisi yang masih kacau tanpa sekretaris.
“Gimana? Ada perkembangan?” tanya Gema sambil mengambil gelas kertas kopi yang disediakan HR di pojok ruangan.
“Kami dapat tujuh pendaftar, Pak Gema,” jawab salah satu officer HR sambil memperlihatkan laptopnya. “Ini daftar lengkapnya.”
Gema mendekat, melihat satu per satu data. Lima dari kandidat adalah karyawan junior yang tampaknya nekat mencoba karena melihat peluang, meski kemampuan mereka tidak terlalu mencolok. Satu kandidat adalah staf senior administrasi, namun catatan HR menunjukkan ia kurang stabil dalam tekanan.
Dan nama terakhir…
Gema langsung tersenyum kecil. “Anna?”
Officer HR ikut tersenyum canggung. “Iya pak. Dia mendaftar tadi pagi. Katanya siap bekerja ekstra.”
“Tentu saja dia daftar…” gumam Gema, seperti sudah menduga. “Anak itu memang ga pernah ragu untuk ambil kesempatan.”
HR ragu-ragu lalu bertanya, “Pak Liam tau?”
“Belum. Dan jangan kasih tau dulu,” jawab Gema cepat, seolah itu keputusan vital. “Nanti dia emosi lagi. Saya mau semua kandidat diproses dulu secara objektif. Kita ga mau ada bias.”
Officer HR mengangguk cepat. “Siap.”
⸻
Sementara itu di lantai atas, di ruang Presiden Direktur, Liam sedang membaca laporan divisi. Suasana ruangannya masih tegang, namun tidak sepanas kemarin. Setidaknya ia sudah mandi di kantor tadi pagi dan mulai bisa berpikir lebih jernih setelah semalaman hampir tidak tidur mengatur tumpukan dokumen yang seharusnya diproses oleh sekretarisnya.
Pintu diketuk dua kali. “Bos?” panggil Gema sebelum masuk.
Liam tidak menoleh. “Ya?”
“Update rekrut.”
Sekarang Liam mengangkat wajah, lebih fokus. “Gimana hasilnya?”
“Bagus,” jawab Gema sambil duduk tanpa diminta. “Udah ada tujuh orang yang apply.”
Liam langsung mengangkat satu alis. “Tujuh?” Nada suaranya terdengar seperti mengejek diri sendiri dan seluruh perusahaan. “Dari sekian ratus karyawan cuman tujuh orang?”
“Masih mending daripada ga ada sama sekali,” jawab Gema santai. “Kemarin lo bilang nol. Sekarang tujuh. Itu improvement signifikan lah.”
Liam menyandarkan tubuh ke kursi, tampak kesal tapi pasrah. “Terserah… selama ada yang bisa kerja.”
Gema tersenyum kecil—reaksi klasik Liam ketika ia sebenarnya lega tapi gengsi untuk menunjukkan.
“Besok pagi HR mulai screening berkas sama uji administratif. Tiga orang bakal lanjut interview langsung sama lo.”
“Gue?” Liam terdengar malas.
“Ya masa gue? Ini kan sekpri lo.”
“Sekpri sementara,” Liam menegaskan.
Gema mendesah. “Bos, sementara atau permanen, tetap butuh interview.”
Liam gelisah, menepuk-nepuk mejanya pelan. Entah karena lelah atau malas menghadapi hal teknis, tapi ia mengangguk. “Fine. Biarin HR seleksi. Gue liat finalnya aja.”
Gema tersenyum kemenangan kecil.
⸻
Di lantai tiga puluh lima, Anna duduk di depan komputernya. Tangannya dingin. Ia baru saja menerima email konfirmasi bahwa formulir lamarannya tercatat.
Sejujurnya… ia tidak berani berharap.
Setelah kejadian teh panas, seluruh divisi memandangnya berbeda. Meski Jordan bilang ia tidak perlu mengkhawatirkan hal itu, Anna tahu: reputasinya jatuh di depan orang paling berpengaruh di perusahaan.
Dan dia mendaftar… jadi sekretaris pria itu?
Bahkan Anna sendiri merasa tindakannya nekat setengah mati.
Namun tekadnya mengalahkan rasa takut.
Ia butuh kesempatan. Ia butuh ruang untuk menunjukkan kemampuan. Dan paling penting—ia butuh membuktikan sesuatu pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan selamanya berada di bawah bayang-bayang malu itu.
Jordan mendekat dari belakang kursi Anna. “Kamu beneran daftar, Na?”
Anna menelan ludah. “Iya, Pak. Kayanya ini… saatnya buat saya nyoba sesuatu yang besar.”
Jordan tidak mengerti bagaimana Anna bisa berani mencoba bekerja langsung dengan Liam, tapi ia tidak mau melemahkan semangat anak magang yang sudah bekerja keras sejak hari pertama.
“Ya udah,” kata Jordan, menepuk bahu Anna pelan. “Saya dukung. Saya juga bakal kasih evaluasi positif kalau HR nanya pendapat saya.”
Mata Anna memanas. “Makasih, Pak…”
“Tapi jangan bilang saya ga ingetin,” lanjut Jordan sambil menatapnya serius. “Posisi itu berat. Dan Liam… bukan orang yang mudah ditebak.”
Anna tertawa pelan, getir. “Saya sudah sering salah depan dia, Pak. Kayanya saya udah kebal.”
Jordan hampir membalas, tapi ia tahu Anna tidak sedang bercanda.
Ia hanya menatapnya dengan rasa iba sekaligus kagum.
⸻
Sementara itu, HR mulai menyeleksi berkas. Mereka memeriksa pengalaman administrasi, kemampuan mengetik, kepadatan jadwal kerja, serta penilaian dari atasan masing-masing kandidat.
Lima dari tujuh kandidat tersingkir pada screening pertama.
Salah satunya staf senior yang sudah diprediksi tidak stabil bekerja di bawah tekanan.
Tersisa tiga nama:
Raya – staf junior legal
Dion – staf finance baru 1 tahun
Anna – anak magang divisi strategic operation
HR cukup terkejut ketika nama Anna lolos, tapi hasilnya objektif. Nilai evaluasi kinerja dari Jordan tinggi. Kemampuan administratifnya bagus. Kecepatan kerja oke. Dan mentalnya dinilai “kuat di bawah tekanan” berdasarkan observasi Jordan dan supervisor harian.
Sebagai tahap berikutnya, HR menghubungi Gema untuk validasi terakhir.
“Pak,” ujar officer HR. “Ini tiga kandidat final untuk interview dengan Pak Liam besok. Valid?”
Gema melihat tiga nama itu di layar. Matanya berhenti di satu nama.
Anna.
Ia menarik napas panjang. “Valid. Jangan coret siapapun. Besok Liam yang tentuin.”
HR mengangguk.
“Dan jangan kasih tau Liam nama kandidatnya sekarang,” tambah Gema cepat. “Saya gamau dia bias.”
“Baik, Pak.”
⸻
Sore itu, Liam duduk sendirian di ruangannya, memeriksa agenda meeting yang kacau. Ia tidak tahu siapa saja yang mendaftar. Ia tidak tahu bahwa salah satu nama yang lolos adalah Anna.
Ia hanya tahu satu hal:
Besok ia harus interview tiga orang untuk posisi yang sangat penting namun sangat ia benci sekarang karena satu posisi ini dua minggu hidupnya kacau.
Ia tidak sadar bahwa keputusan itu… akan mengubah hidupnya dan hidup Anna.
Perlahan.
Tapi pasti.