Han Qiu, seorang penggemar berat street food, tewas akibat keracunan dan bertransmigrasi ke dalam tubuh Xiao Lu, pelayan dapur di era Dinasti Song. Ia terkejut mendapati Dapur Kekaisaran dikuasai oleh Chef Gao yang tiran, yang memaksakan filosofi 'kemurnian'—makanan hambar dan steril yang membuat Kaisar muda menderita anoreksia. Bertekad bertahan hidup dan memicu perubahan, Han Qiu diam-diam memasak hidangan jalanan seperti nasi goreng dan sate. Ia membentuk aliansi dengan Kasim Li dan koki tua Zhang, memulai revolusi rasa dari bawah tanah. Konfliknya dengan Chef Gao memuncak dalam tuduhan keracunan dan duel kuliner akbar, di mana Han Qiu tidak hanya memenangkan hati Kaisar tetapi juga mengungkap kejahatan Gao. Setelah berhasil merestorasi cita rasa di istana, ia kembali ke dunia modern dengan misi baru: memperjuangkan street food yang lezat sekaligus higienis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila ANT, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Misi Pencurian
Kasim Kepala, meski wajahnya menunjukkan jijik yang nyata, tidak berani membantah. Ia menunduk, menghela napas, lalu dengan gerakan yang sangat hati-hati, seperti menyentuh bangkai tikus, ia berlutut dan mengambil serpihan hitam itu.
Benda itu, yang tadinya hanya sebuah noda dosa, kini menjadi sebuah misteri kecil yang dipegang erat oleh tangan Kaisar sendiri. Di balik pilar, Han Qiu merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini bukan hanya tentang rasa lagi.
Ini tentang kekuatan. Kekuatan untuk melawan, untuk mempertanyakan, untuk menuntut sesuatu yang lebih dari sekadar "kemurnian" yang hambar. Kaisar Zhao Xian, sang naga yang kelaparan, baru saja menunjukkan percikan pertama dari api yang sudah lama padam.
Momen itu adalah percikan api yang membakar tekad Han Qiu. Ia butuh lebih. Ia butuh lebih dari sekadar kerak nasi goreng yang membawa aroma samar. Ia butuh senjata. Sebuah peta. Dan peta itu, ia yakin, ada di tangan sang musuh.
Malam itu, setelah para pelayan terlelap dalam kelelahan harian mereka, Han Qiu tidak bisa memejamkan mata. Otaknya berputar, menyusun strategi.
"Daftar Bahan Makanan Terlarang Istana Song,"
itu adalah nama yang sering ia dengar dari bisikan para pelayan tua. Sebuah dokumen yang diyakini disimpan di perpustakaan pribadi Chef Gao. Bukan perpustakaan yang megah, melainkan sebuah ruangan kecil, dingin, dan steril di sudut tersembunyi dekat dapur utama, tempat Gao menyimpan semua catatan dan protokolnya.
Itu adalah jantung dari tirani kuliner wanita itu.
"Harus ke sana," bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tak terdengar.
"Aku harus tahu apa saja yang dia larang, mengapa dia melarangnya. Aku butuh tahu cara kerjanya agar bisa menghancurkannya."
Rencananya harus sempurna. Ia tidak bisa membuat kesalahan sedikit pun. Satu kesalahan, dan itu berarti kematian atau pengusiran.
"Baiklah, Han Qiu, mari kita susun," ia bergumam, jari-jarinya menelusuri garis-garis kasar di selimutnya.
"Waktu: tengah malam. Patroli: Kasim Kepala yang gemuk itu berpatroli pukul satu. Kasim muda yang cerewet pukul dua. Penjaga istana: mereka menjaga koridor utama, bukan area dapur belakang. Ruangan Gao: pasti terkunci. Ini masalah."
Kecerdasan Han Qiu, yang terasah oleh kehidupan modernnya yang serba cepat, mulai berfungsi. Ia tidak tahu cara membuka kunci kuno, tetapi ia adalah seorang yang praktis. Ia ingat melihat beberapa kunci cadangan untuk gudang bahan makanan yang lama tersimpan di laci meja kerja Koki Zhang.
Kunci-kunci itu, ia tahu, terbuat dari besi sederhana, dan kemungkinan besar, mekanismenya juga sederhana.
Ia harus mendapatkan salah satu kunci itu, lalu memodifikasinya.
Tengah malam tiba. Udara dingin menggigit, dan keheningan istana begitu pekat hingga setiap desah napas Han Qiu terasa seperti guntur. Ia menyelinap keluar dari barak, kakinya yang telanjang bergerak tanpa suara di atas lantai batu yang dingin.
Bulan sabit tergantung tinggi, memancarkan cahaya perak tipis yang cukup untuk melihat bayangan-bayangan di setiap sudut.
Target pertamanya adalah meja kerja Koki Zhang. Ia tahu Zhang sering meninggalkan laci-lacinya sedikit terbuka, karena pria tua itu terlalu lelah untuk selalu rapi. Dengan hati-hati, ia mendekati meja, matanya memindai kegelapan.
Tangannya meraba-raba permukaan kayu, mencari celah. Ketemu.
Laci itu berderit pelan saat ia menariknya. Jantungnya berdebar. Di dalamnya, di antara gulungan kertas resep tua dan perkakas masak yang usang, tergeletak tiga kunci besi berkarat. Salah satunya, ia ingat, adalah kunci gudang rempah yang sudah tidak terpakai.
Kunci itu berukuran sedang, dengan gerigi yang tidak terlalu rumit.
Sempurna.
Ia mengambil kunci itu, lalu menutup laci dengan hati-hati. Ia tidak berani membawa kunci itu langsung ke ruangan Gao. Terlalu berisiko jika tertangkap. Ia harus menyembunyikannya dulu. Di bawah tumpukan kain bersih yang baru saja ia lipat siang tadi.
Aman.
Sekarang, menuju ruangan Chef Gao.
Ia melintasi koridor-koridor yang terasa seperti labirin yang tak berujung. Setiap bayangan adalah potensi ancaman. Setiap suara gemerisik angin adalah jantung yang berhenti berdetak. Ia menghindari jalur utama, memilih jalan-jalan yang lebih gelap dan sempit, tempat hanya pelayan rendahan yang biasa lewat.
Aroma samar dari air cucian dan sisa-sisa sayuran busuk menemani langkahnya, sebuah pengingat akan statusnya di sini.
Akhirnya, ia tiba di depan ruangan Chef Gao. Pintu itu terbuat dari kayu gelap yang kokoh, dihiasi ukiran naga yang tampak mengintimidasi. Sebuah gembok perunggu besar tergantung di kaitnya, berkilauan samar di bawah cahaya bulan yang menyelinap.
"Sial," bisiknya. Gembok itu terlihat lebih tangguh dari yang ia bayangkan.
Ia mengeluarkan kunci yang ia selipkan di lipatan bajunya. Kunci gudang rempah. Ia mencoba memasukkannya ke lubang gembok. Tidak pas. Geriginya berbeda.
Panik mulai menyergap. Apakah semua ini sia-sia?
Han Qiu memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.
"Tenang, Han Qiu. Pikirkan. Bagaimana cara membuka kunci tanpa kunci?"
Ia mengingat pelajaran dari film-film spionase yang sering ia tonton di dunia modern. Penjepit rambut, kawat, apa pun yang tipis dan kuat. Ia meraba-raba rambutnya. Tidak ada penjepit. Ia tidak punya apa-apa.
Lalu, matanya jatuh pada sebuah tusuk sate bambu yang tergeletak di lantai, sisa dari perayaan tersembunyi para pelayan. Tusuk sate itu tipis, kuat, dan memiliki ujung yang runcing.
"Ini dia," gumamnya, sebuah ide melintas di benaknya.
Ia mengambil tusuk sate itu. Dengan berani, ia memasukkan ujung runcingnya ke dalam lubang kunci. Ia tidak mencoba memutarnya. Ia mencoba merasakan mekanisme di dalamnya. Gerigi kunci harusnya mendorong pin-pin kecil di dalam gembok. Jika ia bisa mendorong pin-pin itu secara manual...
Jari-jarinya gemetar, tetapi Han Qiu fokus. Ia mendengar langkah kaki di kejauhan. Kasim Kepala. Ia tidak punya banyak waktu.
Ia mulai menggerakkan tusuk sate itu perlahan, mencoba merasakan titik-titik tekanan di dalam gembok. Klik. Satu pin terdorong. Klik. Yang kedua. Ia menahan napas. Suara langkah kaki semakin dekat.
Satu lagi. Hanya satu lagi. Ia bisa mendengar suara napas Kasim Kepala di ujung koridor. Ia bisa merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya.
Klik!
Gembok itu terbuka dengan suara nyaris tak terdengar.
Han Qiu dengan cepat menarik tusuk sate bambunya, melepaskan gembok dari kaitnya, dan mendorong pintu. Ia menyelinap masuk, menutup pintu di belakangnya dengan gerakan sehalus mungkin, hanya menyisakan celah kecil agar ia bisa melihat keluar.
Kasim Kepala lewat, langkahnya berat dan monoton, tanpa menyadari ada gangguan. Han Qiu menunggu sampai langkah kaki itu benar-benar memudar sebelum ia menghela napas lega.
Di dalam, ruangan itu gelap gulita, dingin, dan berbau seperti kertas tua dan obat-obatan herbal yang dikeringkan. Bukan aroma rempah yang kaya, melainkan aroma sterilitas yang menyakitkan. Han Qiu mengeluarkan lampu minyak kecil yang ia sembunyikan, menyalakannya dengan tangan gemetar. Cahaya kuning yang redup menyebar, mengungkapkan isi ruangan.
Ini bukan perpustakaan yang hangat. Ini adalah kantor yang klinis. Rak-rak kayu yang dipoles rapi berisi gulungan-gulungan perkamen, buku-buku bersampul keras, dan kotak-kotak kayu berlabel. Semuanya tertata sempurna, tanpa setitik debu pun. Ini adalah cerminan dari pikiran Chef Gao yang obsesif.
Han Qiu mulai mencari. Ia tahu apa yang dicarinya. "Daftar Bahan Makanan Terlarang Istana Song." Itu pasti sebuah gulungan resmi, atau sebuah buku besar yang diikat dengan pita.
Ia menyapu rak-rak, membaca label-label dengan cepat. "Protokol Penyajian Daging," "Standar Kebersihan Air," "Panduan Pengendalian Hama." Semuanya terdengar seperti mimpi buruk bagi seorang koki.
Kemudian, matanya menangkapnya. Di rak paling atas, di balik deretan buku tipis, tersembunyi sebuah gulungan perkamen yang diikat dengan tali sutra merah tua. Gulungan itu tampak lebih tua dari yang lain, perkamennya menguning dan sedikit usang. Sebuah segel lilin kekaisaran yang retak masih menempel di salah satu ujungnya.
Dengan hati-hati, ia meraihnya. Jari-jarinya menyentuh permukaan perkamen yang kasar. Ia menariknya keluar. Gulungan itu terasa berat, berisi.
Ia memegang gulungan itu di tangannya, jantungnya berdebar kencang. Ia bisa merasakan bobot informasi terlarang di dalamnya. Ini adalah kuncinya. Kunci untuk memahami, dan pada akhirnya, menghancurkan tirani rasa hambar.
Ia tidak berani membukanya di sini. Terlalu berisiko. Ia harus membawanya pergi.
Dengan cepat, ia menyembunyikan gulungan itu di dalam lipatan bajunya, merasakan kertas tua itu menempel di kulitnya. Ia memadamkan lampu minyaknya, dan menyelinap kembali ke pintu.
Ia membuka pintu sedikit, mengintip ke koridor. Kosong. Aman.
Ia melangkah keluar, menutup pintu di belakangnya, dan memasang kembali gembok perunggu itu. Dengan gerakan lincah, ia memasukkan tusuk sate bambu itu ke lubang kunci dan mendorong pin terakhir. Klik! Gembok itu terkunci kembali, seolah tidak pernah disentuh.
Han Qiu tersenyum tipis, sebuah senyuman kemenangan yang pahit. Ia telah mencuri rahasia dari jantung benteng musuh. Ia kini memiliki peta.
Tetapi, saat ia berbalik untuk melangkah pergi, sebuah suara serak dan tiba-tiba memecah keheningan malam yang gelap.
"Xiao Lu? Apa yang kau lakukan di sini?"