NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

27. Api di Tengah Salju

Salju turun lebat, menyelimuti Mareluna dalam selimut putih yang sunyi. Laut yang ganas kini terdiam, membeku di tepian. Untuk sementara, kehidupan nelayan berhenti. Domba-domba pun tetap berada di dalam kandang yang hangat. Ini adalah masa yang paling Rafael idam-idamkan—ketika dia bisa beristirahat tanpa merasa bersalah.

Tapi ketenangan itu hancur oleh kedatangan sebuah mobil mewah yang menyusuri jalanan berlapis salju dengan susah payah. 

Serafina Romano turun, tubuhnya dibalut mantel bulu putih yang mahal, boots kulitnya meninggalkan jejak dalam di salju. Dia telah berbohong kepada Leonardo. Dengan bantuan seorang teman yang dipersenjatai uang, dia membuat alibi sempurna. 

Pesta piyama di rumah teman. Leonardo, yang percaya pada Elio, mengizinkan. Yang tidak dia tahu, Elio justru mengantarkan Serafina ke pusat obsesinya.

Rumah Livia yang sepi kembali hidup. Serafina segera menelepon Rafael.

“Rafa, aku lapar,” keluhnya, suaranya sengaja dibuat merengek.

“Salju di mana-mana. Aku tidak bisa keluar,” bantah Rafael.

“Kalau begitu bawakan aku makanan. Aku menunggumu.”

Tidak lama kemudian, Rafael muncul di depan pintu. Tubuhnya yang tinggi tegap dibungkus jaket tebal berwarna navy, syal rajut melilit lehernya, dan wajahnya yang biasanya kecokelatan kini memerah oleh dingin. Dia membawa sebuah keranjang berisi bahan makanan sederhana dari rumahnya.

Elio, yang wajahnya masam sejak tiba, memilih untuk menunggu di ruang tamu dengan secangkir kopi hitam. Dia tidak tahan melihat permainan obsesi ini.

Dapur pun menjadi panggung. Rafael, dengan cekatan, mulai memanaskan kompor. Dia mengupas bawang putih, memotong sayuran, dan menggoreng beberapa potong ikan yang dibawanya. Aroma bawang putih dan rempah-rempah mulai memenuhi udara.

Tapi Serafina tidak memberinya ruang. Seperti bayangan, dia terus mendekat. Tangannya yang halus menyentuh lengan Rafael yang kuat melalui sweaternya.

“Kau sangat hebat,” bisiknya, nafasnya hangat di dekat leher Rafael.

Rafael mengabaikannya, fokus pada wajan.

Serafina tidak menyerah. Dia melingkarkan tangannya dari belakang, memeluk pinggang Rafael, dan menempelkan pipinya di punggungnya. “Kehangatanmu ... membuatku gila.”

“Serafina, aku harus memasak,” protes Rafael, suaranya tegang.

“Masak saja. Aku tidak mengganggumu,” bantah Sera, tapi tangannya justru merayap ke bawah, menyentuh perutnya yang keras.

Rafael menegang. Di ruang sebelah, Elio meneguk kopinya dengan geram, mencoba memekakkan telinga terhadap desahan dan bisikan samar dari dapur.

Serafina semakin menjadi. Saat Rafael membalikkan ikan, dia mendekatkan wajahnya ke leher Rafael, mencium aroma sabun. “Kau adalah canduku, Rafael. Satu-satunya yang kuinginkan.”

Tangan Rafael gemetar saat menaburkan garam. Dia mencoba untuk menjauh, tapi Serafina seperti melekat. Dalam sebuah gerakan nekat, dia membalikkan badan, mendorong Serafina hingga punggungnya menempel ke meja dapur.

“Basta,” desisnya, matanya membara. “Elio ada di ruang sebelah.”

Serafina justru tersenyum, melihat sedikit kemarahan dalam diri Rafael. Dia menganggapnya sebagai kemajuan. Tangannya meraih wajah Rafael, jari-jarinya yang dingin menyentuh kulitnya yang memerah.

“Biarkan dia melihat. Biarkan dia menderita.”

Dia menarik kepala Rafael dan mengecupnya dengan penuh gairah. Ciuman itu dalam, penuh keputusasaan dan klaim. Rafael, untuk sesaat, terbawa. Tangannya yang kasar memegang pinggang Sera, mendekatkannya. Suara gemerincing peralatan dapur tertutup oleh erangan lembut Sera.

Tapi kemudian, dia menyadari di mana mereka berada. Dengan napas berat, dia melepaskan diri. “Makanannya akan gosong," gumamnya kembali ke kompor dengan wajah dipenuhi konflik.

Makan malam akhirnya disajikan. Sepiring pasta dengan saus dan ikan bakar dengan rempah. Mereka duduk di meja makan. Serafina, dengan sengaja, duduk sangat dekat dengan Rafael.

Pemandangan dari ruang tamu begitu jelas. Pintu ruang makan terbuka lebar, memamerkan adegan yang membuat darah Elio mendidih. Di dalam, Serafina duduk bersila di kursi kayu yang sederhana—posisi yang tidak akan pernah diizinkan di meja makan keluarga Romano.

“Aku ingin disuapi,” pintanya, suara itu bukan lagi permintaan manja, tetapi perintah dari seorang putri yang terbiasa dilayani. Mulutnya yang merah terbuka sedikit.

Rafael, wajahnya tampak lelah dan kosong di bawah cahaya lampu gantung, menghela napas hampir tak terdengar. Tangannya yang kasar dan berotot, yang biasanya menarik jala berat, kini dengan canggung menggenggam garpu. Dia memutar segarpu pasta—sederhana, berminyak, dan harum—lalu menyuapkannya ke mulut Serafina.

Dari ruang tamu, Elio berdiri seperti patung. Tangannya mengepal di samping tubuhnya, buku-buku jarinya memutih. Setiap suapan terasa seperti penghinaan baginya, sebuah pengingat akan betapa Rafael, si nelayan rendahan, telah merendahkan nonanya—dan betapa nonanya membiarkannya, bahkan menikmatinya.

Tapi kemudian, Serafina mengambil alih.

Dia mengambil garpu dari tangan Rafael yang lemas. Dia menusuk sepotong Focaccia, mencelupkannya ke dalam minyak zaitun, dan menyuapkannya ke Rafael. Rafael, terkejut, membiarkan mulutnya terbuka. Sepotong kecil rosemary menempel di sudut bibirnya yang merah.

Dan kemudian, tanpa peringatan, Serafina mendekat.

Dia tidak membersihkannya dengan serbet. Sebaliknya, matanya yang hazel berbinar dengan intensitas yang mengganggu. Dengan gerakan seperti kucing, dia menjilat sisa minyak dan rempah dari sudut bibir Rafael. Rafael membeku, nafasnya tertahan. Elio di ruang tamu hampir-hampir melangkah masuk.

Tapi Serafina belum selesai. Dia juga menyuapkan pasta ke Rafael. Sehelai mie pasta yang pendek masih menggantung di bibir Rafael. Dengan tatapan menantang, seolah-olah ini adalah tantangan terbesar yang pernah dia hadapi, dia mendekatkan wajahnya sekali lagi. Bibirnya yang lembut menangkap ujung mie itu. 

Dia tidak langsung memutuskannya. Dia menariknya perlahan, sangat perlahan, membiarkan mie itu meluncur ke dalam mulutnya, sensasi itu membuat Rafael mengerang rendah di tenggorokannya. 

Prosesnya sensual dan merendahkan, seolah-olah dia bukan hanya memakan makanannya, tetapi juga memakan jiwa Rafael, seutas demi seutas.

Saat mie itu putus, dia tidak langsung mundur. Bibirnya masih menempel pada bibir Rafael, melumat sisa rasa dan kehadirannya dengan sebuah kepuasan gelap sebelum akhirnya menarik diri.

Serafina kembali duduk bersila, sebuah senyum kecil dan pemenang di wajahnya. “Di rumah Romano, tidak diizinkan duduk seperti ini di meja makan,” ujarnya, seolah membicarakan cuaca.

Rafael, masih terpana dan wajahnya memerah, membalas dengan suara serak, “di sini, di Mareluna, kau bisa melakukan apapun yang kau inginkan.”

“Dan aku tidak akan pernah membuangmu.” Serafina menegaskan, matanya berkilau dengan obsesi.

Untuk sesaat, sebuah senyuman yang tulus dan sedih muncul di wajah Rafael. Senyuman yang mengingatkan pada pria yang dulu.

“Tapi kau akan menikahi seorang Morello. Surat kabar membicarakannya di mana-mana. Jangan mengkhianati suamimu hanya demi seorang nelayan.”

“Aku tidak akan menikahi siapapun. Hanya kau,” bantah Serafina, suaranya tiba-tiba saja bergetar, seperti anak kecil yang memegang mainannya erat-erat.

Rafael menggeleng, dan kali ini, ada belas kasihan yang menusuk dalam tatapannya. “Kau akan membuangku untuk keselamatanku. Aku tahu.”

Kalimat itu seperti tamparan.

Di dalam hati Serafina, sebuah realisasi yang pahit dan menyakitkan akhirnya menyergap. 

Kenapa harus menyakitkan seperti ini? Kenapa dia harus terus menerus memainkan peran ini—menjadi algojo bagi pria yang dia cintai, membuatnya tampak hina dan terbelenggu hanya untuk memuaskan obsesinya yang tak terkendali? 

Dia melihat ke dalam mata Rafael dan dia melihat bukan pada seorang pahlawan atau pelarian, tetapi pada seorang pria yang lelah dan terluka oleh cintanya sendiri.

Tapi obsesi itu, seperti candu, lebih kuat. Dia meraih gelas wine-nya dan meneguknya habis, berusaha menenggelamkan rasa sakit dan rasa bersalah yang mulai menggerogoti. Dia akan terus memegangnya, bahkan jika itu berarti menghancurkannya sedikit demi sedikit. Itulah satu-satunya cara dia tahu untuk tidak dibuang lagi dalam hidupnya.

Setelah makan, Rafael berdiri. “Aku harus pergi. Mila dan orang tuaku menungguku.”

“No!” Serafina berdiri, menghadangnya. “Jika kau pergi, aku akan datang ke rumahmu. Aku akan tidur bersamamu.”

Ancaman itu efektif. Rafael tahu betapa kacau yang akan terjadi jika Serafina muncul di rumahnya di depan orang tuanya. Dia menghela napas panjang, kekalahannya terasa pahit.

“Aku akan tinggal lebih lama,” katanya, suara hampa.

Kelelahan dan wine yang diminumnya selama makan akhirnya mengambil alih. Serafina tertidur di kursi makannya, kepalanya bersandar di bahu Rafael, tangannya masih menggenggam erat lengan Rafael.

Dalam keheningan yang hanya diselingi oleh napas teratur Serafina dan desiran angin salju di luar, Rafael akhirnya membiarkan pertahanannya runtuh. 

Dia memandangi wajah Serafina yang tertidur. Di bawah cahaya lampu yang redup, dia terlihat begitu muda, begitu rapuh, seperti peri yang tersesat.

Dengan gerakan yang hampir tidak terlihat, tangannya yang kasar dan penuh luka mengangkat, lalu dengan sangat lembut mengusap rambut coklat Serafina yang halus. Jari-jarinya menelusuri setiap helainya, penuh dengan rasa iba dan sesuatu yang lebih dalam yang tidak berani dia akui.

“Kau benar-benar anak seorang cameriera hasil kesalahan tuannya?” batin Rafael.

Setelah kejadian di pantai saat Serafina mengaku dia anak cameriera, Rafael tidak membahas hal itu karena berpikir Serafina berbohong.

Dia membungkuk. Perlahan, sangat perlahan, bibirnya menyentuh dahi Serafina yang halus dalam sebuah ciuman yang penuh penyesalan dan kerinduan.

“Putri terkutuk,” bisiknya, suara serak bergetar. “Apa yang telah kau lakukan padaku?”

Tapi dia tidak tahu. Dari balik jendela yang dibekukan oleh embun salju, sebuah lensa kamera yang dingin telah mengintai.

Setiap momen kelembutan yang tidak disengaja itu tertangkap. Usapan di rambut, ciuman di dahi, tatapan penuh konflik. 

Sebuah senyum puas terbentuk di balik kerah mantel sang pengintai sebelum dia menghilang kembali ke dalam kegelapan dan salju, membawa serta bukti yang bisa menghancurkan sisa-sisa kedamaian yang Rafael perjuangkan.

...🌊🌊🌊...

Rafael membeku melihat Serafina. “Apa yang kau lakukan di sini?”

“Dingin di rumah Livia. Dan kau bilang rumah itu punya jiwa. Mungkin malam ini jiwanya menginginkan teman,” jawab Serafina dengan kepolosan palsu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!