Kelahiran Senja Putri Baskara bukanlah awal, melainkan akhir.
Awalnya, ia adalah janin yang dikandung ibunya, janin yang membawa badai-badai kehadirannya merenggut nyawa kakak laki-lakinya, Fajar Putra Baskara, menghancurkan bisnis keluarga, dan melenyapkan kebahagiaan sang ibu. Sejak hari pertama dirinya hadir, Senja adalah bayangan yang dicap sebagai pembawa sial.
Satu-satunya cahaya di hidupnya adalah sang ayah. Pria yang memanggilnya 'Putri' dan melindunginya dari tatapan tajam dunia. Namun, saat Senja beranjak dewasa, cahaya itu pun padam.
Ditinggalkan sendirian dengan beban masa lalu dan kebencian seorang ibu, Senja harus berjuang meyakinkan dunia (dan dirinya sendiri) bahwa ia pantas mendapatkan kebahagiaan.
Apakah hati yang terluka sedalam ini bisa menemukan pelabuhan terakhir, ataukah ia ditakdirkan untuk selamanya menjadi Anak pembawa sial? ataukah ia akan menemukan Pelabuhan Terakhir untuk menyembuhkan luka dan membawanya pada kebahagiaan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
4
Jarum jam menunjukkan pukul 04.00 pagi. Suara azan subuh samar-samar terdengar, bercampur dengan detak jantung Senja yang berdentum di telinganya. Ia menggigil, bukan karena dingin, tetapi karena adrenalin dan ketakutan.
Di tangannya, ia memegang sebuah ransel kecil, berisi foto sang ayah Baskara, beberapa lembar pakaian, dan kunci rumah baru yang diberikan Damar semalam. Ia harus melewati kamar sang ibu tanpa membuat bunyi sekecil apa pun. Jika ibunya terbangun, pernikahan ini akan batal, dan ia akan kehilangan satu-satunya pintu keluar.
Senja membuka pintu kamarnya perlahan, setiap langkahnya terasa seperti menapak di atas pecahan kaca. Ia berhasil melewati kamar ibunya, menuruni tangga utama yang gelap, dan membuka pintu depan.
Di luar, mobil sederhana milik Damar sudah menunggu, mesinnya menyala pelan.
Senja berlari, tidak menoleh ke belakang, seolah rumah itu adalah penjara yang sedang runtuh. Ia segera masuk ke kursi penumpang.
"Kau menggigil," kata Damar, memegang tangan Senja. Genggamannya hangat dan cepat.
"Aku takut." bisik Senja.
"Tidak apa-apa. Sekarang, fokus. Kita hanya perlu sampai di KUA. Ibumu tidak akan bisa menjangkau kita di sana." Damar melajukan mobilnya dengan tenang dan penuh perhitungan.
Upacara pernikahan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA), dihadiri hanya oleh keluarga inti Damar: Bagus Saputra dan Fatimah Suyoto sebagai saksi dan wali, serta beberapa kerabat dekat. Paramita menolak hadir, mengirim surat yang isinya lebih berupa sumpah serapah terselubung daripada restu.
Damar duduk di depan penghulu, wajahnya tegang tetapi matanya teguh menatap Senja.
"Saudara Damar Saputra, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan Senja Putri Baskara binti Baskara Hadi dengan maskawin..."
Kata-kata Damar saat mengucapkan ijab kabul terdengar lantang dan jelas.
Setelah ijab kabul selesai, Damar menoleh kepada Senja. Dia memegang tangan Senja untuk pemasangan cincin. Tidak ada gairah, hanya ketenangan dan tanggung jawab.
"Selamat datang di rumah, Senja," bisik Damar. "kau aman sekarang"
Fatimah, Ibu Damar, segera memeluk Senja. Pelukan itu terasa tulus, berbeda dengan sentuhan palsu Paramita.
"Nak, sekarang Ibu adalah ibumu juga," kata Fatimah, air matanya menetes. "Jangan takut lagi. Rumah ini adalah tempatmu yang baru. Rumah ini tidak mengenal sial, hanya mengenal Damar dan kebahagiaan."
Sore harinya, mereka tiba di rumah Damar yang kecil dan sederhana, rumah bergaya minimalis yang tertata rapi. Rumah itu tidak mewah seperti rumah Baskara, tetapi terasa hidup.
"Ayo, masuk," ajak Damar.
Senja melangkah masuk. Ia melihat ruang tamu yang bersih, dapur yang fungsional, dan bingkai foto Damar dengan keluarganya yang tersenyum hangat. Senja memejamkan mata, menghirup aroma sabun dan kopi, aroma yang tidak pernah ia temukan di rumahnya yang berbau parfum mahal dan amarah.
Damar mengantarnya ke kamar. "Ini kamar kita. Aku sudah menyiapkan semuanya."
"Damar," panggil Senja, akhirnya memberanikan diri. "Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih. Aku merasa seperti... benalu."
Damar menoleh, matanya tegas. "Hentikan, Senja. Jangan pernah bicara begitu. Kau adalah istriku. Sekarang, mari kita bicara dari hati ke hati, bukan sebagai pengantin, tapi sebagai dua orang yang harus membangun kehidupan yang realistis."
Damar duduk di tepi ranjang. Senja duduk di kursi di seberangnya. Ada jarak fisik, tetapi emosi mereka berdekatan.
"Aku tahu ini cepat," kata Damar memulai. "Aku tidak menikahimu dengan cara romantis apa pun. Aku menikahimu karena alasan yang sudah aku katakan: yaitu melindungimu, Kamar ini, rumah ini, dan nama Saputra, semuanya adalah milikmu. Aku ingin kau tahu, aku tidak akan menyentuhmu sampai kau benar-benar merasa aman dan siap."
Senja terkejut dengan kejujuran yang menenangkan itu. "Kau tidak marah karena aku hanya melarikan diri?"
"Marah? Tidak," Damar menggeleng. "Aku marah pada Ibumu. Aku marah pada takdir yang membuatmu menanggung semua itu. bebanmu sekarang juga akan menjadi bebanku, Aku tidak peduli dengan masa lalu. Aku peduli dengan masa depanmu, Senja."
Air mata Senja tumpah, namun kali ini bukan air mata ketakutan, melainkan kelegaan. Ia berdiri dan mendekati Damar.
"Aku tidak bisa membalasmu dengan cinta yang kau harapkan, Damar," kata Senja, suaranya parau. "Belum. Tapi aku bersumpah demi Ayahku. Aku akan setia padamu. Sepanjang hidupku, aku akan menjadi istri yang setia. Aku akan belajar mencintaimu, karena kau adalah seseorang yang menyelamatkanku."
Damar tersenyum, senyum yang tulus. Ia tidak memeluk Senja, hanya memegang tangannya dengan lembut. "aku pegang janjimu senja, sekarang tidurlah kau aman berada disini jangan pernah takut pada apapun lagi"
Damar berbaring di sofa ruang tamu, dan Senja tertidur di kamar, untuk pertama kalinya dalam hidup, tanpa takut akan pukulan atau sumpah serapah yang menunggunya di pagi hari. ia sudah aman