NovelToon NovelToon
Jangan Salahkan Aku, Ibu

Jangan Salahkan Aku, Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Poligami / Bullying dan Balas Dendam / Hamil di luar nikah / Cintapertama / Mengubah Takdir
Popularitas:300
Nilai: 5
Nama Author: Widhi Labonee

kisah nyata seorang anak baik hati yang dipaksa menjalani hidup diluar keinginannya, hingga merubah nya menjadi anak yang introvert dengan beribu luka hati bahkan dendam yang hanya bisa dia simpan dan rasakan sendirian...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widhi Labonee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Anak siapa ini?

Dua orang laki-laki dewasa itu tampak berjalan santai sembari menikmati rokok yang menempel di bibir masing-masing. Mereka hendak mengambil alat dan memulai lagi pekerjaan yang sempat ditinggalkan untuk istirahat makan siang tadi.

“Lho Ri, sepeda siapa ini kok ada disini?” Tanya Tarmo pada Saturi temannya.

Yang ditanya segera mendekat dan memeriksa sepeda yang disandarkan di pohon Nangka itu.

“Kalau dilihat dari modelnya kayaknya ini punya anak-anak Mo, coba lihat di bungkusan ini ada boneka nya. Trus kemana anaknya ya?” Saturi bertanya sembari kepalanya nengok kanan kiri mencari sosok pemilik sepeda merah ini.

Tarmo pun berjalan ke dalam rumah yang belum jadi itu, dia berkeliling memeriksa tiap ruangan, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa ada anak kecil yang bersembunyi di sana.

“Nggak ada i Ri?”

“Hm, atau mungkin anak itu sedang ke lahan tebu yang sedang ditebang itu ya?” 

“Oh iya ya, namanya juga anak kecil, senang kalau lihat panen tebu.” ujar Tarmo sembari mengambil alat kerjanya dan mulai kembali bekerja diikuti oleh Saturi. 

Waktu berlalu tanpa terasa hari sudah sore. Kedua tukang dan kuli itu pun bersiap-siap untuk pulang. Mereka membereskan alat kerja dan akan meninggalkan bangunan itu. Tapi pandangan mata mereka menangkap jika sepeda merah itu masih tetap ditempat semula.

“Loh? Kok sepeda nya masih disini, kemana sih yang punya? Masak lihat panen tebu sampai sore begini?” tanya Tarmo.

“Lahwong sudah kosong gitu loh! Sudah pulang semua orang di kebun tebunya,” ujar Saturi yang melihat ke arah kebun tebu yang sudah tidak satupun manusia di sana.

Tarmo merasa ada yang janggal disini.

Tiba-tiba keduanya samar-samar mendengar ada isak kecil. Kedua orang itu pun saling pandang. Dan segera menaruh barang bawaannya. Kemudian berpencar mencari asal suara dari mana. Mereka yang sehari-hari bekerja disitu percaya jika tempat ini aman dan tidak ada hantu nya. Tarmo berputar ke arah belakang rumah, diperiksanya tumpukan kayu dan juga batu dan pasir. Tapi tidak ada siapapun disana. Saturi yang keluar dari dalam bangunan hanya menggelengkan kepalanya. Tanda jika tidak ada siapapun di sana.

“Hiks..hiks..hiks.. bapaak… “ kembali terdengar lirih suara anak kecil menangis. 

Kedua orang itu kembali berpandangan, kemudian mereka melangkah ke arah sumur yang belum jadi itu. Melongok ke dalamnya, menajamkan mata agar lebih jelas pandangan, dan betapa kagetnya ketika mereka melihat ada anak kecil yang sedang meringkuk memeluk kakinya dengan bahu terguncang.

“Astaghfirullah Riiiii… rupanya anak itu jatuh ke dalam sana, makanya kita tunggu dia balik dari panenan tebu ya nggak datang noh…” seru Tarmo.

“Ya Allah, ambil tampar kang, aku aja yang turun, badanku lebih kecil, ayo kang cepetan!” Seru Saturi gopoh.

Dia segera mencari sesuatu yang bisa dijadikan tiang kokoh penahan tali tambang dan juga tubuhnya yang nanti akan membawa anak kecil itu. Beruntung ada sisa batang pohon yang tingginya sekitar satu meteran lah, tapi cukup kuat. Tarmo segera mengikatkan tambang di batang kayu itu, dan Saturi pun melilitkan tambang ke pinggangnya, kemudian perlahan turun ke dalam sumur yang belum jadi itu.

Setelah sampai di dasar, ditariknya anak kecil yang sedang terisak dan lemah itu dengan segera di gendongnya.

“Ayo, pegangan yang kuat ya, Paklik mau berusaha naik ini.” Ucap Saturi sembari menggendong Tiwi di punggungnya.

Tarmo membantu menarik dari atas, sementara Saturi berusaha naik dengan menumpukan pijakan kakinya ke dinding sumur. Perlahan namun pasti mereka akhirnya bisa sampai di bibir sumur. Tarmo segera membantu mengangkat Tiwi dari punggung Saturi. Setelah itu diturunkannya anak kecil yang sudah lemas itu di tempat yang bersih..

Saturi yang sudah berhasil naik ke daratan itu mendekati anak kecil yang sudah ditolongnya. Tarmo mengambil botol air minum yang masih tersisa sedikit air dan memberikannya kepada Tiwi. Anak kecil itu menerima dan segera meminumnya sampai habis. Kedua lelaki dewasa itu memperhatikan Tiwi, dan alangkah kagetnya mereka ketika menyadari jika anak kecil dihadapannya ini adalah seorang perempuan.

“Ndhuk? Kamu perempuan?” tanya Tarmo meyakinkan.

Tiwi mengangguk lemah, badannya lemas sekali, dia kecapekan mengayuh sepeda lumayan jauh dari rumahnya. Lalu jatuh ke tanah yang keras. Kepanasan, kehausan dan kelaparan. Tapi dia menyesal, mengapa dia masih hidup? Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaannya ingin bertemu sang Bapak.

“Anak siapa ini Ri?” Tanya Tarmo kemudian.

Saturi berusaha mengingat-ingat, apakah ada anak seusia dia di kampungnya.

“Rumahmu dimana Ndhuk?” Tanya Tarmo pelan.

Tiwi hanya menggelengkan kepalanya lemah. Kemudian dia mengaduh. Karena kepalanya terasa sakit digerakkan. Ada benjolan yang lumayan besar, sebesar telur ayam di keningnya. Dan sudah mulai membiru.

Tarmo melihat itu, kemudian berkata kepada anak buahnya.

“Ayo kita bawa pulang saja Ri, kasian, mungkin kalau sama istriku dia mau omong. Itu benjolan kepalanya juga biar dikasih minyak tawon nanti,” ajak Tarmo yang segera disetujui oleh Saturi.

“Kuat jalan apa tidak Ndhuk?” Tanya Tarmo lagi.

Tiwi mencoba berdiri dan berjalan tapi dunia rasanya berputar dan Brugh! Dia jatuh pingsan.

Kedua pria dewasa itu pun segera membopong anak kecil itu. Dengan dibonceng oleh Saturi, Tarmo pun memangku gadis kecil itu. Sementara tangan kiri yang tidak memegang stang gas itu dia gunakan untuk menarik sepeda BMX milik Tiwi. Dengan hati-hati kedua orang dewasa itu meniti jalan kampung yang berdebu untuk pulang ke rumah Tarmo yang jaraknya lumayan jauh dari tempat itu.

—----------

Sementara dirumah bu Mirah sudah heboh, wanita tua itu tampak sedang beradu mulut dengan anak perempuannya, Riyanti.

“Kemana anak itu Ti? Aku sungguh sangat kuatir kalau terjadi apa-apa dengannya. Kamu malah tenang dan tidak berniat mencarinya. Ibu macam apa kamu Ti !!”

“Aku sudah suruh si Suliadi untuk pergi mencari Tiwi Bu. Ini lah akibatnya jika dia kamu manja terus. Ngelunjak kan jadinya. Main tidak ingat waktu pulang. Tidak ingat kewajibannya mengaji. Semakin besar jika tidak dikerasi akan jadi apa anak itu nantinya Buk!” Riyanti malah menyalahkan bu Mirah.

Bu Mirah diam, percuma dia membantah, anak perempuannya itu telah jauh berubah. Dia hanya bisa memendam kekecewaan yang dalam. Dan dia memilih untuk berjalan ke rumah tetangga-tetangganya, siapa tau ada yang melihat cucunya.

—--------------

Sesampainya di rumah pak Tarmo, Tiwi pun direbahkan diatas kasur tipis beralas tikar di ruangan yang berfungsi sebagai ruang tamu sekaligus ruang keluarga itu. Istri pak Tarmo pun terkejut ketika mendapati sang suami pulang dengan membopong seorang anak kecil yang sedang pingsan. Segera diambilnya minyak kayu putih yang dia gosokkan ke depan hidung gadis kecil itu agar segera sadar. Pak Tarmo menjelaskan singkat kejadian penemuan Tiwi pada istrinya, kemudian dia segera menuju ke belakang rumah untuk mandi. Sementara Saturi masih setia menemani istri dari pak Tarmo itu sembari sesekali menjawab pertanyaannya.

Hidup di desa ya begini ini, ada suatu hal sedikit saja sudah menyebar ke sekitar. Dan dalam waktu singkat sudah banyak tetangga yang ikut melihat anak kecil yang ditemukan pingsan itu.

“Kalau dilihat dari baju dan sepedanya sepertinya dia ini anak orang lumayan berada. Apalagi antingnya juga bagus gini,” ucap salah satu tetangga pak Tarmo. 

“Iya, kulitnya seperti bukan orang kampung kayak kita, kayak anak yang sangat terawat ya,” imbuh yang lain.

“Anak siapa kok bisa jatuh ke sumur sana itu loh. Kok ya jauh sekali kalau main,”ujar istri pak Tarmo sembari memijit pelipis Tiwi pelan.

Saturi yang penasaran pun mengambil buntalan tas plastik di sepeda merah milik Tiwi, dia berharap ada petunjuk yang bisa diperoleh disana. Maka dibukanya tas itu, disaksikan oleh orang banyak, yang ternyata berisi beberapa potong pakaian dan sebuah boneka monyet lucu berwarna coklat tua disana.

“Kok baju? Apakah anak ini bermaksud mau pergi dari rumah?” Tanya Saturi.

“Minggat maksudmu Ri?” Tanya Pak Tarmo yang rupanya sudah selesai mandi itu.

“Ini kan musim liburan sekolah, siapa tau anak ini ingin pergi kerumah saudaranya atau kakek neneknya,” Jawab salah satu tetangga yang masih ada disitu.

“Trua dia ini anak siapa? Kok belum siuman ya? Dia ini pingsan apa tidur?” tanya tetangga lainnya.

Istri pak Tarmo mencoba menggoyang-goyang badan Tiwi, menepuk lembut pipi anak kecil ini berulang kali.

Sampai akhirnya mata Tiwi terbuka perlahan.. gadis kecil itu mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Lalu berusaha untuk duduk, tetapi badannya sangat lemas sehingga dia pun memilih untuk berbaring saja.

—---------

Apakah Tiwi akan memutuskan untuk pulang atau melanjutkan misi melarikan diri nya?

1
Widhi Labonee
Bagus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!