Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nadira Ranah Minang
“Pak… saya mau ambil cuti tidak masuk lima hari.”
Bram menatapnya cepat, terlalu cepat.
“Lima hari? Banyak sekali. Ke mana?”
Nadira menarik napas nya pelan “Ranah Minang, ada… urusan pribadi.”
Dahi Bram mengernyit aneh, seolah nama kota itu memukul keras dalam memorinya, " kampungnya Raga?”
Ia membeku. “Pak Bram tahu kampung Raga?”
Laki laki itu menatapnya tajam, lebih serius dari biasanya.“Jangan pergi.”
Nadira terdiam. “Pak…”
“Bapak bilang jangan.” Nada suaranya berubah ketakutan
“Saya akan menjaga diri."
“Lihat?” Bram mendadak berdiri, kursinya berderit. “ada sesuatu yang nggak beres dan kita bukan keluarganya Raga, kita cuma… orang luar nggak seharusnya ikut campur.”
“Justru itu,” kata Nadira pelan, " rahasianya ada pada Raga, apakah kita mau terus terusan diganggu dan diteror ? "
Bram tidak menjawab menatap lantai, wajahnya tegang dan pasrah. Suasana hening beberapa detik. Hingga akhirnya ia berkata:
“Kalau kamu tetap mau pergi…bapak tidak bisa melarang.”Ia menatap dengan mata terlihat lebih tua dari usianya.
“Cuma hati-hati, dan ingat apa pun yang terjadi disana, tepat lima hari kamu pulang, kalau tidak bapak akan menyusul mu dengan membawa aparat kepolisian.”
Gadis itu mengangguk dalam
\=\=\=
Sore harinya, Nadira berdiri di Terminal 2 Soetta dengan koper kecil. Tiket ke kota Siti Nurbaya ada di tangannya. Rasanya absurd—semua keputusan ini diambil dalam kurang dari 24 jam.
Suara di telepon semalam kembali terngiang:
“Dia sudah diputuskan… jangan ikut campur.”
Pesan A.R. menyusul, “Jangan percaya laki-laki itu.”
Ia tidak tahu siapa yang dimaksud “dia.”
tidak tahu siapa “laki-laki itu.” Dan tidak tahu apa yang telah “diputuskan.”
Ia hanya tahu satu hal, ada sesuatu yang menariknya ke Koto Tuo, kuat, dalam dan
tidak wajar, perutnya terasa seperti ditarik ke bawah, langkahnya berat, seperti ada yang memegang bahunya dari belakang saat boarding pass.
Tapi ia tetap berjalan bahkan sampai duduk di kursi pesawat pun, rasa itu tidak hilang, bahkan semakin jelas.
Lampu kabin mulai redup. Nadira menatap jendela. Jakarta perlahan mengecil di bawah sana. Tiba-tiba HP-nya bergetar, pesan WhatsApp, nomor tidak dikenal.“Kamu benar-benar datang.”
Detik itu juga, lampu kabin berkedip sekali.
Penumpang lain tidak terlalu memperhatikan.
Tapi Nadira menelan ludah, jantungnya memukul tulang rusuk saat melihat bayangannya sendiri di layar kaca jendela sedang tersenyum, padahal wajah nya tegang
\=\=\=
Pagi pertama di Ranah Minang seharusnya membawa ketenangan, tetapi tidak bagi Nadira. Ia berdiri kaku di depan jendela penginapan kecilnya di kota Banteng Fort de Kock memandang keluar ke arah bukit-bukit yang diselimuti kabut tebal.
Kamar sederhana berdinding kayu ditemani dengan decitan kipas tua dan aroma tanah basah pasca hujan malam, namun suasana justru terasa mengganjal.
Nadira memeluk erat kedua lengannya sendiri, tubuhnya terasa ringkih setelah semalaman tak bisa memejamkan mata.
Perjalanannya yang dimulai dari Bandara Minangkabau hingga tiba di penginapan hampir tengah malam sebuah transisi yang tak utuh—sebagian jiwanya tertinggal di kos Jakarta yang ramai, sementara sebagian lain tertarik oleh panggilan dari dalam tanah.
akhirnya ia tertidur di ujung fajar, mimpi itu pun menyambanginya tanpa ampun.
Ia berdiri di atas tanah lembap dan gelap, diselimuti hawa dingin menusuk. Angin berputar pelan di sekelilingnya, membawa bisikan-bisikan lirih doa yang tak terbaca.
Di hadapannya membentang jalan setapak dari batu yang tertanam dalam, mengular masuk ke dalam kegelapan hutan.
Dan di ujung jalan itu, berdiri seorang laki-laki punggung yang dikenalnya—Raga.
Nadira berusaha berteriak memanggilnya, namun suaranya macet di tenggorokan. Setiap kali ia mencoba melangkah mendekat, tanah di bawah kakinya menggenggam erat dan menahannya di tempat. “Ra… ga…” ucapnya terbata, suaranya nyaris hilang diserap kabut.
Laki-laki itu tak juga menoleh, tetapi bahunya terlihat naik-turun menahan isak. Tiba-tiba, cahaya-cahaya kecil bertebaran dari sampingnya, bukan cahaya lampu melainkan pancaran lembut bagai kunang-kunang ratusan, lalu ribuan—berkumpul membentuk siluet seorang perempuan dengan rambut panjang dan gaun putih lusuh kaki tak menyentuh bumi.
Nadira mundur ketakuatan. Lalu terdengar suara itu lagi, suara yang sama dari telepon, namun kini lebih dekat dan personal, seakan berbisik tepat di belakang telinganya: “Kembali…” Sosok tanpa wajah itu mengangkat tangan, jarinya menuding ke arahnya sebelum segalanya ditelan kabut pekat.
Gadis itu terbangun dengan terisak, napasnya tersendat dan sekujur tubuhnya basah oleh keringat dingin. Tangannya meraba ponsel di samping bantal: pukul 05.12. Saat matanya mulai bisa menyesuaikan dengan cahaya redup, menyadari sesuatu yang aneh—lantai kamarnya basah.
Bukan basah biasa, melainkan membentuk jejak-jejak kaki kecil yang memanjang dan ramping, bukan milik laki-laki dewasa ataupun anak-anak, tetapi seperti cetakan kaki yang tak sempurna, hampir tak manusiawi.
Ia menahan gelegar teriak di dadanya. Dengan hati berdebar, berjongkok dan menyentuh jejak itu, dingin, sedingin embun pagi, atau lebih tepatnya, sedingin tanah kubur yang baru saja dibongkar.
Tak sampai setengah jam kemudian ia sudah berdiri di lobi penginapan dengan tas ransel kecil di punggung dan amplop misterius A.R. tersimpan rapat di saku.
Pemilik penginapan, seorang wanita paruh baya dengan sorot mata letih, menatapnya dengan pandangan penuh tanya. “Mau keluar subuh-subuh, Nak?” tanyanya.
“Iya, Bu. Saya mau ke Koto Tuo,” jawab pelan
Seketika ekspresi wanita itu berubah; matanya membelalak lebar sementara tangannya berhenti mengatur buku tamu. “Untuk apa ke sana?”
Nadira menelan ludah. “Saya… mencari seseorang.”
Sang ibu pemilik terdiam lama, menatapnya mengukur sesuatu dari dalam diri. Lalu, dengan suara berbisik nyaris tak terdengar, ia berkata, “Kalau bisa… jangan pergi sendirian.”
Gadis itu mengerutkan kening, “Kenapa, Bu?”
Dia menunduk, suaranya semakin lirih, “Karena kadang… hutan di sana suka memanggil siapa saja yang hatinya sedang kosong.”
Ia tercekat, “Bu… Koto Tuo itu desa biasa, kan?”
Namun wanita itu tak lagi menjawab, hanya memandang keluar jendela ke arah bukit semakin tak jelas oleh kabut, lalu bergumam, “Semoga kamu tidak ikut tertarik ke dalamnya.”
Di tempat lain, di Koto Tuo yang sepi, Raga terbangun dalam keadaan napasnya tersengal dan tubuhnya menggigil tak terkendali. Matanya merah oleh kelelahan dan mimpi buruk yang terus berulang: jalan batu, kabut, dan suara yang memanggil-manggilnya.
Namun malam ini ada hal baru; di balik kabut dalam mimpinya, ia melihat seorang gadis berambut hitam berlari panik ke arahnya—wajah asing sangat dikenalnya, namun entah mengapa terasa asing. “Nadira …” gumannya sambil memegang kepala berdenyut sakit, seolah mencabik ingatannya dari dalam.
Dari balik jendela kamarnya di rumah Angku, ia melihat kabut tebal di ujung jalan tak hanya diam, melainkan bergerak, berarak pelan, dalamnya ada sesuatu—atau seseorang—sedang menunggu dengan sabar, menunggu kedatangan seorang dalam perjalanan.
Motor ojek menyusuri jalan berkelok menuju kaki bukit, Nadira merasakan dinginnya angin pagi menusuk hingga ke tulang. Setiap tikungan meninggalkan Jakarta dan dunianya semakin jauh di belakang, membawanya dekat kepada dunia baru, dunia penuh misteri.
Roda takdir telah berputar, dan kini ia seperti penumpang yang tak bisa turun. Koto Tuo menanti di balik lereng dan pepohonan, dan Nadira bisa merasakannya dalam getar udara—sesuatu di dalam kabut itu ia sedang datang, dan telah lama menunggu.