Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.
Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Dua Aurora
Ruko di Jalan Merdeka nomor 88 kini berdenyut dengan energi kreatif. Ruangan yang tadinya kosong kini diisi oleh empat wajah baru, masing-masing dengan keahlian dan antusiasme yang berbeda. Ada Sarah, seorang desainer UI/UX yang bisa mengubah data yang rumit menjadi visual yang mudah dipahami. Ada Reza, seorang data scientist muda yang jenius dan sedikit gila. Lalu ada dua magang, Dina dan Rizki, yang bertanggung jawab atas riset pasar dan media sosial.
Setiap pulang sekolah, Edward langsung menuju ke kantornya. Dia bukan lagi seorang CEO yang hanya memberi perintah. Dia adalah seorang konduktor orkestra digital. Dia memandu diskusi, menantang asumsi, dan memastikan setiap orang di timnya bekerja pada visi yang sama. Hendra, sang arsitek, dan Bima, sang jenius kode, menjadi pilar teknis yang kokoh. Mereka adalah mesinnya.
Perusahaan mereka, Catalyst AI, sekarang mulai terbentuk. Prototype yang dibuat Edward dan Hendra kini dikembangkan menjadi produk yang sesungguhnya oleh tim ini. Ruangan itu selalu ramai hingga larut malam, dipenuhi oleh debat sengit tentang algoritma, tawa saat menemukan bug lucu, dan aroma kopi serta mie instan.
***
Suatu malam, setelah timnya pulang, Edward memutuskan untuk berjalan kaki ke halte bus terdekat. Udara malam terasa segar di kulitnya. Dia menikmati kesunyian sesaat setelah hiruk pikuk di kantor.
Tiba-tiba, sebuah notifikasi darurat dari sistem muncul di matanya, membuatnya langsung waspada.
**Misi Darurat: Perlindungan Sipil**
**Deskripsi:** Sebuah tindakan kejahatan sedang terjadi di dekat Anda. Kekuatan tidak hanya digunakan untuk membangun, tapi juga untuk melindungi.
**Tugas:** Hentikan aksi pencopetan yang sedang berlangsung di perempatan di depan Anda.
**Waktu:** 30 Detik
**Hadiah:**
- **Skill:** [Refleks Insting (Level 2)] - Meningkatkan kecepatan reaksi tubuh secara signifikan.
- **Rp 2.000.000
**Gagal:** Seorang warga akan menjadi korban.
Edward langsung menatap ke arah perempatan yang ramai. Matanya yang tajam segera menyaring kerumunan. Dia melihat seorang pria dengan jaket hoodie bergerak dengan mencurigakan di sebelah seorang wanita paruh baya yang sedang asyik melihat-lihat etalase toko. Tangannya, dengan gerakan yang sangat halus, sudah masuk ke dalam tas wanita itu.
Edward bergerak. Dia tidak berlari. Dia berjalan dengan cepat, melewati kerumunan seperti air yang mengalir. Saat pencopet itu berhasil mengambil dompet dan akan berbalik, Edward sudah ada di belakangnya.
Tangan Edward mencengkeram pergelangan pencopet itu dengan kuat. Bukan dengan tendangan maut atau pukulan, tapi dengan gerakan presisi yang langsung melumpuhkan saraf di tangannya.
"Kembalikan," kata Edward, suaranya rendah namun mengandung ancaman yang jelas.
Pencopet itu meringis kesakitan, dompet itu jatuh ke aspal. Tanpa pikir panjang, dia menendang Edward dan berlari secepat mungkin, menghilang di antara kerumunan.
Edward mengabaikannya. Dia mengambil dompet itu, lalu menoleh pada wanita yang baru saja menjadi korbannya.
" Ini dompetnya bu," kata Edward sambil mengulurkannya.
Saat menatap wajah wanita itu, Edward sedikit terkesiap. Dia sangat cantik. Usianya sekitar 40-an, tapi tidak ada keriput yang signifikan di wajahnya. Dia memiliki kulit yang terawat dengan baik dan postur yang sangat anggun, meskipun hanya mengenakan blouse dan celana panjang sederhana. Tapi yang paling menarik perhatian Edward adalah matanya. Matanya yang berwarna coklat tua itu... ada sesuatu yang sangat familiar di sana. Struktur wajahnya, garis rahangnya yang tegas...
Edward merasa pernah melihat wajah ini, tapi di mana?
"Oh, terima kasih, Nak. Aku pikir akan kehilangan dompet ku." kata wanita itu dengan suara yang lembut dan berwibawa. "Kau anak yang baik."
"Sama-sama, Bu. Hati-hati di jalan," kata Edward, lalu berbalik untuk pergi.
"Tunggu, Nak!" panggil wanita itu. "Aku tidak tahu bagaimana cara membalas budi mu. Biarkan aku..."
Tapi sebelum dia menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara yang familiar memanggil dari kejauhan.
"Ibu! Apa yang terjadi?"
Edward dan wanita itu menoleh. Dari arah sebuah supermarket, berjalanlah Aurora.
Edward membeku.
Aurora yang dia kenal selalu rapi, anggun, dan terkadang terlihat dingin. Tapi Aurora yang berjalan mendekat saat ini adalah dua orang yang berbeda dalam satu tubuh. Dia memakai hotpants putih yang memperlihatkan kaki jenjangnya, dipadukan dengan kaos band hitam oversized yang longgar, menyingkap satu bahunya. Rambutnya diikat kuncir kuda yang sedikit berantakan. Dia tidak memakai makeup, wajahnya segar dan polos.
Dan entah kenapa, Edward, yang otaknya selalu bekerja dengan logika dan algoritma, merasa semua proses pemikirannya macet sejenak. Aurora yang seperti ini... dia tidak terlihat seperti "singa betina" yang menakutkan. Dia terlihat... cantik Secara membabi buta. Dan itu jauh lebih berbahaya bagi ketenangan Edward.
Aurora berlari ke arah mereka, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Ibu! Kau baik-baik saja? Aku tadi lihat ada keributan."
"Ibu baik-baik saja, Sayang," kata wanita itu sambil tersenyum. "Dompet Ibu hampir hilang, tapi anak baik ini sudah membantu."
Aurora lalu menatap Edward. Matanya melebar saat menyadari siapa yang ada di depannya. "Edward? "
Edward baru bisa sadar dari "macet"-nya. "Aku... baru pulang dari kantor" jawabnya, suaranya sedikit tidak stabil.
"Ibu, ini Edward," kata Aurora pada ibunya. "Anak yang pernah kukatakan padamu."
Wanita itu menatap Edward dengan pandangan baru, penuh rasa terima kasih. "Jadi kau Edward? Terima kasih banyak, Nak. Aku Selena, ibunya Aurora."
'Ibunya Aurora?'
Akhirnya, puzzle itu terpasang sempurna. Kenapa Edward merasa wajah wanita ini terasa sangat familiar itu karena ia adalah versi dewasa dari Aurora.
"Ibu... dia yang menolong mu tadi?" tanya Aurora, matanya kembali ke Edward, kali ini dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Iya, Sayang," kata Selena. "Dia sangat sigap. Kalau tidak ada dia, mungkin dompet dan semua kartu kredit Ibu sudah raib."
Aurora menatap Edward dalam-dalam. Tidak ada lagi godaan atau candaan. Tatapannya adalah sebuah campuran antara keterkejutan dan rasa terima kasih yang mendalam. Aurora tersenyum manis yang membuat jantungnya, yang baru saja pulih, kembali berdetak tidak teratur.
"Terima kasih, Edward," kata Aurora, suaranya lembut. "Sungguh."
Edward hanya bisa mengangguk. Dia berdiri di sana, di antara dua wanita cantik. di bawah lampu jalan yang redup, Satu adalah ibunya, yang baru saja dia selamatkan. Satu adalah putrinya, yang entah kenapa membuatnya merasa bahwa pertarungan melawan 18 preman semalam jauh lebih mudah daripada berdiri diam di depannya saat ini.