Sejak malam pernikahan, Clara Wu telah diracun oleh pamannya—racun yang membuatnya hanya bisa bertahan hidup lewat penawar yang diberikan setiap minggu.
Namun setiap kali penawar itu datang, bersamanya hadir obat perangsang yang memaksa tubuhnya menjerit tanpa kendali.
Tak sanggup menanggung hasrat yang dipaksakan padanya, Clara memilih menyakiti diri sendiri, melukai tangannya agar tetap sadar.
Tiga tahun ia bertahan dalam pernikahan tanpa cinta, hingga akhirnya diceraikan dan memilih mengakhiri hidupnya.
Ketika Adrian Zhou kembali dari luar negeri dan menemukan kebenaran tentang siksaan yang dialami istrinya, hatinya hancur oleh penyesalan.
Apakah Adrian akan mampu mencintai istri yang selama ini ia abaikan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Andrian baru saja tiba di Beijing. Malam telah larut ketika ia melangkah masuk ke kediaman pribadinya yang sunyi. Aroma kayu mahal dan sedikit wangi alkohol masih menguar di udara. Ia melepaskan dasinya perlahan, lalu membuka dua kancing kemeja panjangnya yang terasa menyesakkan setelah perjalanan panjang.
Dengan langkah berat, ia menjatuhkan diri di sofa kulit hitam, menyandarkan punggung dan memejamkan mata sejenak. Keheningan malam hanya dipecahkan oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.
Kane, tangan kanan yang setia menemaninya, berdiri di hadapannya sambil menundukkan kepala.
“Tuan, semalam saya bertemu dengan nyonya,” ucap Kane hati-hati. “Semua pesan dan pesanan anda sudah saya sampaikan. Tapi… nyonya menolak pembagian aset.”
Andrian membuka matanya, tatapannya tajam namun tenang. “Alasannya?” tanyanya datar, namun ada nada dingin di balik suaranya.
“Beliau hanya mengatakan… dia tidak sempat menggunakan pemberian anda,” jawab Kane, menunduk lebih dalam.
Alis Andrian berkerut. “Tidak sempat? Apa maksudnya?” tanyanya
“Saya juga tidak mengerti, Tuan. Tapi nyonya terlihat pucat dan tidak sehat,” kata Kane.
Mata Andrian mengeras. “Apakah dia jatuh sakit? Atau terjadi sesuatu?”
“Saya belum sempat menemui pembantu nyonya. Semalam saya tiba sudah terlalu malam. Tapi… sebelum saya pulang, nyonya sempat menyampaikan satu pesan untuk anda.”
Andrian menatapnya tajam. “Pesan apa?”
Kane menarik napas dalam. “Katanya… kalau Tuan ingin bertemu dengan kekasih gelap, jangan sampai ada yang tahu.”
Andrian terdiam sejenak, lalu mengerutkan dahi dengan ekspresi kaget bercampur kesal. “Kekasih gelap? Jadi dia mencurigai aku berselingkuh?”
Kane menelan ludah sebelum menjawab. “Sebenarnya bukan sekadar curiga, Tuan. Tapi nyonya menerima pesan dari seseorang… berisi foto pertemuan anda dengan Nona Lulu, di Paris.”
Ruangan itu mendadak terasa lebih dingin. Andrian menegakkan tubuhnya, rahangnya mengeras. “Siapa yang mengirim foto itu?”
“Saya sudah melacak, tapi pesan itu dikirim dari nomor sementara. Tidak bisa dilacak lebih jauh,” jawab Kane cepat.
Andrian menatap kosong ke arah jendela besar di hadapannya. Lampu kota Beijing berkilau di kejauhan, tapi pikirannya berputar pada satu nama—Clara.
“Clara pasti mengira aku dan Lulu punya hubungan,” gumamnya lirih. “Dia pikir aku ke luar negeri demi menemui wanita itu…”
Kane menunduk. “Nyonya sudah salah paham, Tuan. Apakah perlu kita menjelaskan padanya?”
“Tidak perlu,” ujarnya akhirnya. “Walau dia menolak, dia tetap berhak mendapatkan bagiannya. Kalau dia tak mau menerima apartemen, mobil, atau aset lainnya, transfer saja uang dalam jumlah cukup ke rekeningnya. Setidaknya… dia tidak perlu bersusah payah mencari kerja di luar untuk bertahan hidup.”
Kane menatap Andrian yang kini terlihat lelah dan rapuh di balik ketenangannya.
“Baik, Tuan,” jawab Kane.
Kane menunduk sejenak sebelum kembali bersuara, suaranya terdengar pelan namun tegas,
“Ada satu hal lagi, Tuan… Nyonya sudah pindah. Kunci rumah apartemen --” Kane mengeluarkan sebuah gantungan kunci kecil dari saku jasnya, “—sudah dikirim oleh beliau."
Kane meletakkan kunci itu di meja rendah di depan Andrian. Suara logamnya yang beradu dengan kaca meja terdengar nyaring di antara keheningan ruangan.
Andrian terdiam. Pandangannya jatuh pada benda kecil itu, seolah menatap sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar kunci. Jemarinya perlahan mengambilnya, dan dalam sekejap, kenangan pun menyeruak.
Bayangan Clara muncul begitu jelas di kepalanya — senyuman hangatnya saat menyambut Andrian pulang, langkah cepatnya menuju pintu setiap kali mendengar suara mobilnya berhenti di depan rumah. Suara lembutnya yang selalu berkata, “Sudah makan?”
Kini semua itu hanya tinggal kenangan yang membekas di dinding-dinding sunyi. Tak ada lagi tawa lembut, tak ada aroma teh hangat yang biasa disajikan Clara di sore hari.
Tiba-tiba sebuah panggilan masuk, nada dering ponsel Andrian terdengar begitu nyaring di ruang tamu yang sunyi.
Ia melirik layar ponselnya. Nama “My Wife” terpampang di sana. Clara.
Seketika napasnya tercekat. Tanpa berpikir panjang, ia langsung menekan tombol hijau dan menjawab panggilan itu.
“Halo, Clara!” serunya cepat, nada suaranya sedikit bergetar.
Namun, bukan suara lembut wanita yang ia ceraikan, melainkan suara berat seorang pria di seberang sana.
“Apakah Anda mengenal pemilik ponsel ini?”
Andrian langsung menegakkan tubuhnya. “Dia istriku. Anda siapa, dan di mana Anda sekarang?” tanyanya cepat, suaranya menegang, firasat buruk mulai menjalari dadanya.
“Tuan…” suara pria itu terdengar pelan tapi jelas. “Istri Anda… bunuh diri. Kami menemukan ponsel dan kopernya di tepi pantai. Saat ini tim penyelamat sedang berusaha mencarinya.”
Dunia Andrian seketika berhenti berputar.
Nada di telinganya mendadak menghilang, berganti dengan dengung kosong yang menyayat. Ponsel yang masih dipegangnya jatuh menghantam lantai, mengeluarkan suara keras.
Andrian menatap kosong ke depan, wajahnya seketika pucat pasi. Ia menyentuh dadanya—rasa nyeri yang tajam menusuk dari dalam, seperti ada sesuatu yang diremas paksa.
“Tuan, ada apa?” suara Kane terdengar panik, berlari menghampiri.
Namun Andrian tak menjawab. Napasnya memburu, dadanya naik turun cepat, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya.
Dengan sisa tenaga, ia menggenggam lengan Kane. “Cepat… pergi ke tepi pantai. Cari dia sampai dapat!” suaranya bergetar keras, antara marah dan putus asa. “Clara… bunuh diri!”
Kane tertegun. “Apa…?”
“Dia tidak boleh mati…” bisik Andrian, matanya mulai buram.
Tubuhnya limbung, lalu ambruk, Kane segera menahan tubuh tuannya yang sudah kehilangan kesadaran.