NovelToon NovelToon
Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Demi Semua Yang Bernafas Season 2

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Balas Dendam / Identitas Tersembunyi / Raja Tentara/Dewa Perang / Pulau Terpencil / Kultivasi Modern
Popularitas:12.5k
Nilai: 5
Nama Author: Babah Elfathar

Yang Suka Action Yuk Mari..

Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10

Bab 10 –

Rangga bersama Raysia berjalan santai sambil mengobrol,

“Apakah kamu tahu di mana tempatnya berada?” tanya Rangga sambil menatap Raysia dengan penuh harap.

“Kalau dulu aku masih ingat,” jawab Raysia sambil berpikir sejenak. “Tapi sekarang... tempat itu sudah sangat berbeda. Banyak gedung baru yang berdiri di area yang dulunya hanya lapangan luas. Aku tidak yakin masih bisa menemukan jalannya. Coba kamu lihat di maps, mungkin ada petunjuk.”

Rangga mengangguk, kemudian mengetik kata kunci ‘Kediaman Keluarga Stanley’ di peta digitalnya. Tak lama kemudian, dua lokasi muncul di layar — Kediaman Keluarga Stanley dan Taman Keluarga Stanley.

“Wah… sepertinya keluarga Stanley memang cukup berpengaruh ya,” gumam Rangga dengan nada takjub. “Sampai rumah mereka pun muncul secara khusus di peta?”

Raysia tersenyum tipis. “Belum tentu itu alamat asli kediamannya. Banyak tempat memakai nama yang sama. Kita coba saja datangi satu per satu.”

Rangga menyetujui usul itu. Mereka memutuskan untuk mengunjungi Taman Keluarga Stanley lebih dulu, karena menurut Raysia, tempat itu terdengar lebih masuk akal sebagai petunjuk awal. Mereka segera mengemudi mengikuti arah yang ditunjukkan oleh maps.

Lokasinya ternyata tidak terlalu jauh dari perusahaan Suryanto Weda. Setelah menempuh perjalanan sekitar setengah jam, akhirnya mereka tiba di tujuan.

Taman Keluarga Stanley ternyata cukup luas. Begitu keluar dari mobil, rasa lelah langsung terasa di tubuh mereka. Raysia menepuk perutnya sambil tertawa kecil, “Ayo makan hot pot dulu sebelum melanjutkan pencarian. Sudah hampir empat puluh tahun aku tidak makan hot pot di Kota Yanzim.”

Rangga mengangguk dan mencari restoran hot pot terdekat. Mereka menemukan sebuah tempat tua di tepi jalan, bangunannya sederhana namun tampak ramai.

Begitu melangkah masuk, Rangga langsung mendengar suara gaduh dari dalam. Suara tawa keras dan dentingan gelas membuat suasana terasa penuh riuh. Saat menoleh, ia melihat beberapa pria bertelanjang dada sedang minum-minum sambil tertawa kasar.

Namun Rangga dan Raysia tidak terlalu memedulikannya.

“Berdua saja?” tanya pemilik restoran ramah.

“Ya, berdua,” jawab Rangga dengan senyum sopan.

“Silakan duduk di sini,” kata sang pemilik sambil menunjuk ke meja kosong di dekat jendela.

Setelah mereka duduk, buku menu diberikan. Mereka memesan beberapa hidangan, lalu mengembalikan menunya. Sebelum pergi, si pemilik restoran mencondongkan tubuh sedikit dan berbisik pelan, “Tolong… jangan mencari masalah dengan orang-orang itu. Beberapa dari mereka preman, dan kabarnya mereka kejam terhadap musuhnya.”

Rangga mengangkat alis. “Masih ada orang seperti itu sekarang?”

Pemilik restoran hanya menghela napas sambil menggeleng. “Tidak banyak, tapi di mana pun pasti ada orang-orang seperti itu. Jadi, hati-hati saja, ya.”

Rangga mengangguk ringan. Ia tak terlalu tertarik membahasnya. Mereka duduk santai, berbincang ringan sambil menunggu makanan datang.

Beberapa menit kemudian, Rangga mulai merasakan sesuatu yang aneh—seolah ada yang memperhatikan mereka. Saat menoleh sekilas, ia melihat beberapa pria di sudut ruangan tengah menatap ke arah mereka, atau lebih tepatnya, menatap tubuh Raysia.

Dengan kecantikannya yang memancarkan pesona alami, Raysia tampak seperti artis. Di mana pun ia berada, selalu ada kepala yang menoleh ke arahnya. Mungkin memang ada aura bintang yang melekat padanya.

Rangga tersenyum menahan tawa. Dunia ini memang kecil—di antara para pria itu, ia melihat wajah yang tak asing baginya.

“Benar-benar dunia sempit,” gumamnya sambil menyentuh hidung.

Orang itu adalah Don, pria yang dulu pernah dipukulinya hingga babak belur. Kini Don duduk santai bertelanjang dada, memperlihatkan tato di lengannya. Wajahnya masih tampak bengkak dan lebam, terutama di bagian mata yang masih kebiruan.

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Makanan panas mengepul di tengah meja, aroma kaldu memenuhi ruangan. Rangga dan Raysia mulai menikmati makanannya dengan santai, berbeda dari meja-meja lain yang semakin ribut dan tak tenang.

Tiba-tiba, seorang pria kurus berdiri dari meja para pemabuk itu. Ia menarik kursinya dan mendekati meja mereka. Meja di restoran itu berbentuk persegi, dengan dua sisi kosong di samping Rangga dan Raysia.

Pria kurus itu duduk seenaknya dan tersenyum miring.

“Hey, kawan. Kalian cuma berdua aja?”

Rangga mengangkat alis, lalu menjawab datar, “Ya. Kenapa?”

“Mana ada orang makan hot pot cuma berdua?” ujarnya sambil terkekeh. “Kalau mau, gabung aja sama kami. Biar seru.”

Rangga tersenyum sopan tapi tegas. “Terima kasih, tapi kami sudah cukup menikmati berdua saja.”

Penolakan itu membuat pria kurus itu menyipitkan mata. “Heh, jadi kamu meremehkan aku, ya? Aku nggak mau bikin ribut, tapi kayaknya kalian bukan orang sini?”

Rangga menatapnya tenang. “Benar. Kami bukan warga Yanzim.”

“Wah, jadi kalian pasangan kekasih? Lagi kencan, ya?” godanya dengan tatapan nakal ke arah Raysia.

Raysia menatapnya sambil tersenyum manis. “Bukan kok. Aku baru kenal dia. Kami berkenalan lewat internet dan janjian makan bareng di sini.”

Jawaban itu membuat pria kurus itu hampir ternganga. Tatapan Raysia membuatnya makin berani.

“Wah, kebetulan banget. Aku juga lagi single nih. Boleh minta nomor WhatsApp-mu, cantik?”

“What-apa tadi? Apa itu?” tanya Raysia polos, terlihat bingung sungguhan.

Memang, selama hidup di Barbar City, ia tidak pernah mendengar istilah WhatsApp. Sejak meninggalkan kota itu dan langsung ke Kota Yanzim, masih banyak hal dari dunia luar yang belum ia pahami.

Melihat kebingungan polos itu, pria kurus itu makin tergoda. “Ah, jadi belum tahu, ya? WhatsApp itu aplikasi buat ngobrol, cantik. Gimana kalau kita ngobrol sambil makan bareng?”

Raysia menatap Rangga dan menjawab manja, “Terserah sih… tapi aku takut, sepertinya dia nggak mau.”

Nada suaranya terdengar seperti menggoda, tapi bagi Rangga, itu jelas bentuk pertahanan halus dari Raysia.

Pria kurus itu lalu menoleh ke arah Rangga, nadanya mulai kasar. “Hey, si cantik ini udah mau, tapi kamu kayaknya nggak setuju. Jangan bikin aku kecewa, ya.”

Rangga masih tersenyum, suaranya tenang tapi tajam. “Kalau aku nggak setuju, memangnya kenapa? Kamu sudah lebih dulu makan di sini, kan? Kalau udah kenyang, bisa pergi. Jangan ganggu kami.”

Ucapan itu membuat wajah pria kurus itu mengeras. “Heh, bocah ini berani juga ngomong gitu!”

Rangga menatapnya datar. “Kamu panggil aku apa tadi?”

“Bocah! Kenapa? Nggak suka?” ejeknya sambil menyeringai menantang.

Perlahan Rangga meletakkan sumpitnya dan mengepalkan tangan. Melihat gelagat itu, pria kurus itu buru-buru berteriak lantang, “Teman-teman! Si cantik ini udah mau makan bareng kita, tapi bocah ini malah sok berani mau nyerang aku!”

Seketika, semua pria preman itu berdiri. Mereka mengelilingi Rangga dan Raysia, menciptakan suasana tegang.

Pemimpinnya — Don, yang wajahnya masih penuh lebam — melangkah maju dengan suara menggema, “Sialan! Siapa yang berani bikin masalah sama temanku!”

Pemilik restoran langsung panik. “Don, kalau mau ribut, keluar aja! Jangan bikin rusuh di tempatku!”

Don mengangguk cepat. “Iya, iya.”

Lalu ia berjalan mendekati Rangga dengan wajah keras.

“Jadi namamu Don, ya?” ujar Rangga santai.

Seketika mata Don melebar — ia mengenali suara itu.

Pria kurus yang tadi memancing masalah langsung merengek, “Kak Don, orang ini yang mulai! Kasih dia pelajaran!”

Suara sorakan lain ikut memanas.

Namun wajah Don mendadak pucat pasi. Ia masih mengingat jelas malam ketika dirinya dihajar tanpa ampun oleh pria Yang kini berdiri di hadapannya.

Tanpa pikir panjang, Don langsung menarik kerah si pria kurus dan menamparnya keras.

Pria itu terpaku, terkejut, tak mengerti apa yang terjadi.

Sementara itu, Don buru-buru mengambil sebungkus rokok dari saku celananya dan menawarkannya pada Rangga dengan kedua tangan gemetar.

“Rokoknya, Bos,” ucapnya dengan suara rendah penuh hormat.

Hahaha.. apa iya Don Berani lawan Rangga?

Bersambung...

1
Was pray
ya memang Rangga dan raysa yg harus menyelesaikan permasalahan yg diperbuat, jangan melibatkan siapapun
Was pray
Rangga memang amat peduli sama orang2 yg membutuhkan pertolongan dirinya tapi tidak memikirkan akibatnya
hackauth
/Pray/ mantap update terus gan
Was pray
MC miskin mantaf ..
Was pray
Rangga. dalam rangka musu bunuh diri kah?
adib
alur cerita bagus..
thumb up buat thor
adib
keren ini.. beneran bikin marathon baca
Maknov Gabut
gaskeun thor
Maknov Gabut
ceritanya seru
Maknov Gabut
mantaff
Maknov Gabut
terima kasih thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!