Setelah kehilangan anaknya dan bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penghinaan dari suami serta keluarganya, Amira memilih meninggalkan masa lalu yang penuh luka.
Dalam kesendirian yang terlunta-lunta, ia menemukan harapan baru sebagai ibu susu bagi bayi milik bukan orang sembarangan.
Di sana-lah kisah Amira membuang kelemahan di mulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti Tidak Asing
Kerja belum lama, tahu-tahu sudah naik jabatan, pikir Amira. Ia pun menduga, pasti ada banyak orang di tempat ini yang sudah bekerja bertahun-tahun tapi tetap di posisi yang sama. Kalau dugaannya benar, wajar saja kalau ada yang mulai merasa iri. Apalagi sampai bentuk hukumannya bocor, Amira tidak mampu membayangkan berapa banyak ia terkena dampak iri hati dari pekerja lain.
Akhir-akhir ini Amira merasa seperti keinginannya mudah sekali terkabul. Baru kemarin ia berniat mengasah kemampuan memasaknya demi rencana membuka rumah makan, eh, kemarin malah mendapat kabar kenaikan jabatan. Ia kini diangkat menjadi pengasuh pribadi Tuan Kecil.
Pekerjaan yang sebelumnya ditangani tiga orang termasuk dirinya, sekarang menjadi tanggung jawab Amira seorang. Meski begitu, ia diperbolehkan meminta bantuan staf lain jika memang diperlukan.
Dengan posisi baru itu, otomatis masa kontrak kerja Amira juga ikut berubah. Jika sebelumnya sebagai ibu susu kontraknya bisa berakhir saat Tuan Kecil lepas ASI, kini kontraknya berlaku hingga Tuan Kecil tumbuh besar.
Amira sempat bertanya pada Pak Genta tentang isi kontrak kerja yang disodorkan kepadanya. Di sana tertulis bahwa masa kerja akan berlangsung sampai Tuan Kecil besar. Amira pun sempat menegaskan, "Sampai besar itu kira-kira umur berapa ya, Pak?"
Pak Genta hanya menjawab, "Belum bisa dipastikan sekarang, Nona Amira. Karena masa depan siapa yang bisa menebak? Bisa saja nanti ada revisi atau perubahan. Saya belum bisa memastikan usia berapa untuk saat ini. Yang penting Nona Amira fokus bekerja sepenuh hati dalam profesi barunya. Tidak perlu terlalu banyak berpikir soal kapan kontraknya akan berakhir."
Waktu itu Amira hanya bisa mengangguk-angguk saat berbicara dengan Pak Genta. Tapi baru saja ia keluar dari ruangan, Ika langsung menyergap dengan pernyataan yang terdengar lebih seperti tuduhan daripada pertanyaan.
"Mbak Amira jadi pengasuh tunggal Tuan Kecil, ya?"
"Kok tau, hehe."
"Tahu dong, Mbak. Kami itu para pekerja suka merangkai setiap peristiwa Pemberhentian dua pengurus Tuan Kecil, lanjut Mbak Amira yang masuk ruang eksekusi Pak Ketua, udah pasti deh, nggak salah lagi Mbak Amira gantiin dua pengasuh itu."
Sayangnya, obrolan mereka tidak bisa berlanjut. Jadwal Amira sudah padat. Dipercaya menjadi pengasuh tunggal, waktunya pasti tersita nyaris sepenuhnya untuk menjaga Tuan Kecil. Gajinya memang dobel, tapi waktu kosongnya hanya ada di jam tidur si bayi.
Amira terkekeh sendiri sekarang, karena teringat kemarin-kemarin dikasih uang banyak ternyata habis itu diminta kerja 24 jam. Untungnya Amira yang telah kehilangan seorang anak pun malah jadi senang menjalani hari-hari. Setidaknya dia terus bersama Tuan Kecil, dan tidak perlu bingung-bingung mengisi kekosongan waktu.
"Bobonya pules banget, Tuan," bisik Amira sambil mengelus pipi Tuan Kecil dengan penuh kasih sayang dan gemas. Bayi itu tetap terlelap, sesekali bibir mungilnya tersenyum sendiri. Lagi mimpi apa, sih? gumam Amira dalam hati.
Karena Tuan Kecil masih nyenyak dalam tidur siangnya, Amira pun iseng membuka HP pribadinya. Ia mulai berselancar di akun media sosial miliknya yang baru-baru ini dia bikin. Di sana, ia menemukan akun bernama Pak Hajat yang mana kontennya lucu-lucu dan sering pakai lagu India. Amira itu, kalau udah denger lagu India, nggak nahan, langsung auto halu jadi Anjeli.
Apalagi kontennya berisi senyuman Pak Hajat yang... kalau dilihatin kita berasa lagi disenyumin sama dia. Nular banget, bikin Amira yang lagi nonton jadi ikutan cengar-cengir.
Tapi belum lama ia larut dalam senyum-senyum itu, tiba-tiba muncul notifikasi alat komunikasi satunya. Isinya:
Bersiap-siaplah, Tuan Kecil akan diajak pergi oleh Tuan Arga.
Seketika, wajah Amira berubah tegang. Ia menatap Tuan Kecil yang masih tertidur pulas. Masa harus dibangunin? pikirnya panik. Tapi untungnya, Tuan Kecil sudah ganteng dan rapi, tinggal bawa perlengkapan lainnya yang dibutuhkan, dan pakaikan topi lucunya.
Beberapa saat menunggu, akhirnya yang ditunggu-tunggu muncul juga. Tuan Arga datang dengan aura dingin. Ia mengenakan jas berwarna hitam, tapi kali ini dipadukan dengan sentuhan kasual. Tidak terlalu resmi, tapi tetap memancarkan kewibawaannya. Gantengnya? Maksimal. Selevel dengan anaknya yang sedang digendong Amira.
Seperti tokoh utama dalam film, Arga muncul diiringi oleh beberapa bodyguard yang berjalan rapi di belakangnya.
Ajaibnya, begitu Papa-nya datang, Tuan Kecil yang tadinya tertidur langsung membuka mata. Seolah ada semacam ikatan batin antara ayah dan anak. Belum sempat Arga memanggil, si kecil sudah lebih dulu terjaga.
"Papapapapa…" oceh si bayi, matanya menatap ke arah Arga.
Disambut begitu, Arga lalu mengelus kepala putranya dengan lembut. Ocehan si kecil pun berubah menjadi, "Mamamamama…" kali ini sambil melirik ke arah Amira.
Amira langsung senyum canggung, senyum yang setengah menahan tawa. Dengan gigi sedikit terlihat, ia mencoba membetulkan, "Bibi… bi-bi…" sambil pelan-pelan mengajari Tuan Kecil menyebut panggilan yang seharusnya. Ekspresi muka Amira lucu, karena ngomong sambil senyum yang menampilkan gigi. Se-gigih apapun Amira membetulkan panggilannya, malah mulutnya kena tabok tangan Tuan Kecil. Bayi itu terus mengoceh mamamama, seolah dia sedang menegaskan kalau Amira itu mamanya.
Amira pasrah, terserah Tuan Kecil sajalah. Tapi kalau sampai di dengar istri Tuan Arga, matilah dia. Pikir Amira. Eh tapi selama aku tinggal di rumah Tuan Arga, belum pernah melihat istrinya Tuan Arga. Amira bergumam lagi. Sedangkan Arga melengos saat mendengar anaknya menyebut mama ke Amira.
Tanpa banyak bicara, Arga melangkah lebih dulu. Langkahnya lebar dan cepat. Amira yang membawa Tuan Kecil buru-buru menyusul di belakang, berusaha menyesuaikan ritme jalannya mereka. Agak canggung juga, karena di antara rombongan itu, hanya dia satu-satunya perempuan. Yang lain semuanya pria berjas hitam.
Amira merasa ada di tengah-tengah geng mafia dimana Tuan Arga adalah ketuanya.
Sampai di depan, langkah mereka terhenti sebentar. Buana, yang baru dilihat Amira datang menghampirinya. Dia yang mengatur jalannya acara. Dari caranya memberi instruksi dan mengatur orang-orang di sekeliling, jelas Buana adalah orang penting dalam tim Tuan Arga. Semacam protokoler, mungkin saja dia seperti Pak Genta, pikir Amira.
Amira mendengarkan penjelasan Buana dengan saksama, lalu mengangguk paham. Penjelasannya jelas, runut, dan tidak bertele-tele. Tapi tunggu, setelah melihat-lihat Buana, Amira merasa seperti tidak asing. Seperti merasa pernah melihat wajahnya tapi tidak tahu dimana. Melirik-lirik ke arah anak buah Arga yang lain pun, beberapa darinya Amira juga merasa tidak asing. Amira baru sadar itu sekarang. Namun semakin digali, ingatan Amira semakin tidak bisa memberikan informasi apa-apa.
Ah perasaan aku aja kali.
Tak lama, mereka mulai berpencar ke mobil masing-masing. Amira yang masih menggendong Tuan Kecil ternyata tidak satu mobil dengan Tuan Arga. Tadi, saat Buana memberikan arahan, ia menjelaskan bahwa Amira akan naik di mobil milik Tuan Kecil. Sedangkan Tuan Arga akan berangkat dengan mobil lain.
Bayi saja sudah punya mobil, hehe, hebat juga kamu nak.
.
.
Bersambung.
Terlena dengan bab ini, karena ikut merasakan kehilangan seperti Arga.
Sehingga ia tahu, mana yang tulus mana yang modus