"Apa yang sebenarnya membuat Mas enggan menyentuhku? Mas bahkan selalu menghindar jika aku membicarakan hal itu. Apapun jawaban Mas, aku akan berusaha ikhlas. Setidaknya Mas bicara. Jangan diam seolah-olah hubungan kita itu normal seperti pasangan suami istri yang lain.”
Banyu mengangkat wajahnya. Tanpa bicara apapun, ia segera meraih jas yang ia letakkan di kursi makan lalu melangkah pergi meninggalkan Haura.
***
Pernikahan yang Haura harapkan bisa mendatangkan kebahagiaan itu nyatanya tidak seindah yang gadis itu harapkan. Banyu, lelaki yang enam bulan ini menjadi suaminya nyatanya masih enggan memberikan nafkah batin kepadanya. Lelaki itu terus menghindarinya jika gadis itu mengungkit masalah itu.
Tentu saja itu menjadi pertanyaan besar untuk Haura. Apalagi saat perdebatan mereka, Haura tidak sengaja menemukan sebuah kalung indah berinisial 'H'.
Apakah itu untuk dirinya? Atau apakah kalung itu menjadi jalan jawaban atas pertanyaan besarnya selama i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MENYEBALKAN
"Masak apa?" tanya Banyu dengan sengaja menumpukan tangannya pada meja dapur. Sementara itu tubuh mungil Haura berada di depannya seakan menghilang karena dikukungan tubuh Banyu yang tinggi menjulang menutupi tubuh mungil itu.
Tubuh Haura menegang seketika saat Banyu tiba-tiba berdiri di belakangnya. Pergerakan Haura yang tadinya sedang memotong bawang pun terhenti. Mana bisa ia berkonsentrasi sementara tubuhnya saat ini menempel dengan tubuh Banyu.
"Kenapa diam?" suara Banyu lebih terdengar berbisik dan itu membuat Haura jadi meremang.
Semenjak pulang dari resepsi Hania dan Daffa, suaminya itu memang aneh. Lebih tepatnya, perilakunya seringkali tiba-tiba menempel pada Haura dan tentunya membuat Haura jadi bingung sekaligus terkejut. Banyu yang dulunya sering menjaga jarak darinya, kini tanpa canggung sering berdekatan dengannya.
"Ya gimana mau gerak kamu aja begini. Geser sana!" Haura menggerakkan tubuhnya agar Banyu segera bergeser.
Namun, bukannya bergeser Banyu justru melingkarkan tangannya di pinggang Haura. Dagunya sengaja ia tumpukan di bahu perempuan itu.
"Saya butuh kamu sekarang. Jadi boleh ya untuk sementara begini dulu." Tiba-tiba saja suara yang tadinya terdengar jahil itu kini lirih. Tangannya juga memeluk erat perut Haura. Matanya terpejam. Banyu seperti sedang menikmati momen saat ini.
Haura meletakkan pisaunya di talenan. Ia ingin mengusap tangan Banyu. Namun, ragu karena tangannya pasti bau bawang. Akhirnya kedua tangannya justru terkepal pelan di sisi tubuhnya. Sedangkan jantungnya berdebar kencang karena bisa merasakan deru hangat napas Banyu.
"Kamu kenapa?" tanya Haura cemas. Apalagi posisinya membuatnya tidak bisa melihat Banyu secara langsung.
"Meluk kamu ternyata ampuh ya buat ngilangin capek." Awalnya memang hanya memeluk. Namun, tiba-tiba Banyu mendaratkan kecupan di leher Haura.
"Mas!" seru Haura hampir berontak. "Jangan macam-macam, ya! Atau aku teriak nanti."
Banyu terkekeh. "Kalau kamu teriak yang ada nanti orang tertawa."
Haura mendengus kesal. "Mas lepasin dulu. Pegal kalau lama-lama."
Akhirnya pelukan tersebut pun terurai. Banyu juga mundur beberapa langkah ke belakang. Haura langsung memutar tubuhnya setelah itu. Ia baru saja akan mengeluarkan uneg-uneg kekesalannya kepada Banyu. Namun, melihat wajah Banyu yang terlihat berbeda itu membuat Haura urung melakukannya.
Punggung tangan Haura kemudian mendarat di kening Banyu. Mata perempuan itu lantas membulat karena baru menyadari bahwa suhu tubuh suaminya itu terasa lebih panas dari biasanya.
"Badan Mas panas banget. Kenapa nggak bilang dari tadi kalau Mas sakit." Haura segera mencuci tangannya. Setelah itu ia segera mendekati Banyu lagi. "Ke kamar aja dulu ya."
Banyu yang masih memakai setelan kerja menggeleng. Wajahnya begitu lemas. Matanya mulai sedikit memerah. "Maunya dipeluk kamu," rengek Banyu tiba-tiba sambil merentangkan tangan hendak menangkap tubuh Haura. Namun, dengan cepat ditahan perempuan itu dengan kedua tangannya.
"Ke kamar dulu. Istirahat. Nanti biar aku antarkan makanannya."
"Tapi saya beneran mau dipeluk kamu."
Haura rasanya berhadapan dengan Banyu yang lain. Selama ini mana pernah ia berperilaku seperti ini. Banyu lebih sering memasang tampang galak dibandingkan wajah memelas seperti ini.
Kalau bukan karena Banyu yang sedang sakit, Haura pasti akan menolak itu mentah-mentah. Selain karena ia yang memang menjaga jarak dari lelaki itu, ia juga menjaga hatinya sendiri agar tidak terlarut dalam perasaannya kepada Banyu.
Haura kemudian melangkah mendekat ke arah Banyu. Namun, belum sempat Haura merentangkan tangan segera memeluk Banyu, lelaki itu justru lebih dulu menjatuhkan tubuhnya pada Haura.
"Habis ini langsung istirahat, ya. Atau mau makan dulu?" Tangan Haura membalas pelukan Banyu.
"Kalau tahu saya sakit begini akan membuat kamu lebih ramah begini, seharusnya saya sakit aja dari kemarin."
"Ngomongnya yang baik-baik. Kalau Mas sakit kerjaan Mas gimana? Kalau dipecat dan nggak ada pekerjaan, aku sih ogah sama Mas," canda Haura dengan mimik dan nada serius.
"Saya masih punya banyak uang buat menghidupi kamu. Kalau uang bisa membuat kamu lebih hangat kepada saya, saya akan berikan banyak uang untuk kamu." Banyu memeluk Haura seakan tidak ingin melepaskan tubuh perempuan yang sekarang mengisi ruang hatinya itu.
"Andai sikap kamu sehangat ini sejak dulu, aku juga tidak akan sengaja menjaga jarak dari kamu, Mas...." gumam Haura dalam hati.
...***...
Banyu terbangun saat menyadari seseorang bergerak di sampingnya. Mata lelaki itu perlahan terbuka saat ia merasakan seseorang menggosok area hidung ke dadanya. Senyum Banyu perlahan mengembang saat menyadari Haura ternyata tidur di sampingnya.
Ingatan Banyu kemudian tertuju ke kejadian semalam saat pulang ke rumah. Dirinya memang mulai merasakan tubuhnya tidak nyaman semenjak keluar dari kantor. Beruntung ia bisa selamat sampai rumah. Apalagi saat melihat Haura sedang memasak di dapur. Biasanya perempuan itu akan menghabiskan waktu di kamarnya.
Banyu juga ingat betapa ia merindukan istrinya itu. Lalu tanpa banyak kata, ia segera meletakkan jas dan tas kerjanya di kursi makan, sedangkan ia melangkah mendekati Haura. Banyu tidak peduli dengan amarah Haura yang nanti akan menyambutnya. Namun, siapa sangka Haura justru membiarkan itu.
"Terima kasih, Haura." Banyu semakin mengeratkan pelukannya kepada Haura yang kini terlelap di dadanya.
Tiba-tiba saja tubuh mungil itu bergerak dan mulai menunjukkan bahwa ia akan segera bangun. Banyu yang melihat itu segera kembali memejamkan matanya dan berpura-pura tidur.
Banyu bisa merasakan Haura berusaha melepaskan tangannya dari tubuh gadis itu. Namun, tentu saja Banyu tidak akan melepaskan itu.
"Kok susah banget, ya?" keluh Haura bingung. Namun, ia kemudian menatap Banyu dengan curiga. "Apa jangan-jangan dia pura-pura tidur, ya?"
Haura beringsut ke atas. Menatap Banyu lebih dekat. Perlahan Haura kemudian memeriksa kening lelaki itu. Memastikan tubuh suaminya itu sudah lebih membaik.
"Alhamdulillah sudah lebih membaik." Haura kemudian menyentuh alis dan hidung Banyu. Bohong jika ia tidak terpesona dengan paras menawan Banyu. Meskipun dingin dan jarang tersenyum, Banyu tetap terlihat tampan.
"Kalau tidur begini, kamu lebih terlihat seperti bayi, Mas. Polos banget. Beda banget kalau lagi bangun. Tantrum terus." Tangan Haura juga merapikan rambut suaminya. "Cepat sembuh ya, Mas Air. Aku nggak bisa bayangin kalau selama sakit kamu akan semanja ini."
Tanpa sepengetahuan Haura, Banyu bisa mendengar perkataan lembut istrinya itu. Ia juga menyukai sentuhan Haura padanya barusan. Apalagi saat melihat senyuman Haura kembali begitu tulus saat menatapnya.
Saat Haura hendak bergerak menjauh, Banyu dengan cepat menarik Haura kembali dan membuat tubuh mungil itu terjatuh ke atas dadanya.
"Di sini saja. Saya merindukan kamu," lirih Banyu dengan mata terpejam.
"Ka...Kamu sejak kapan bangun?" tanya Haura menatap Banyu bingung. Lebih tepatnya ia malu kalau Banyu tahu dirinya menatap lelaki itu dengan penuh kekaguman.
"Sebelum kamu bangun saya sudah bangun. Saya juga tahu kamu tadi menyentuh wajah saya." Banyu membuka matanya dan bisa melihat jelas raut panik Haura. "Kenapa? Kamu tidak perlu sepanik itu, Ra. Kan yang disentuh wajah suami kamu sendiri," kata Banyu sembari merapikan anak rambut yang beberapa helainya jatuh di wajah Haura.
"Kamu aneh lho Mas beberapa hari ini."
"Maksudnya?"
Haura melepaskan pelukan Banyu dari tubuhnya. Namun, ia masih duduk di tempat tidur. Tempat yang menjadi saksi atas kejadian malam itu. Matanya kemudian menatap Banyu dengan serius.
"Sikap kamu tidak sedingin dulu. Aku tahu mungkin ini kamu lakukan karena perasaan bersalah dan usaha kamu mempertahan rumah tangga kita. Namun, kalau kamu melakukannya hanya karena sebatas rasa bersalah itu, sebaiknya jangan terlalu berubah seperti ini. Aku khawatir nantinya aku berharap lebih."
Banyu terdiam. Kepalanya tiba-tiba didera rasa pusing yang membuatnya sulit untuk duduk. Perlahan ia meraih tangan Haura untuk ia genggam.
"Awalnya memang karena rasa bersalah. Namun, kamu salah jika menganggap sampai sekarang saya berusaha memperbaiki semua ini hanya karena itu."
Haura tidak menyela sama sekali. Matanya masih menatap lurus suaminya. Sosok yang masih menempati ruang di hatinya.
"Saya ingin memulai semuanya dari awal dengan kamu. Namun, itu bukan karena rasa bersalah, Ra."
"Lalu?"
Banyu terkekeh. Wajah polos Haura membuat Banyu ingin tertawa. Lagi, jemari Banyu kemudian menyentil pelan kening Haura. "Saya rasa otak kamu masih bisa berpikir apa alasan yang sebenarnya."
Haura mendesis kesal sembari mengusap keningnya. "Bukan karena tiba-tiba mencintai aku, kan?"
"Kenapa bukan? Kalau iya bagaimana?"
"Memangnya iya?"
"Ya kamu pikirkan saja sendiri." Tanpa rasa bersalah, Banyu lalu menutup wajahnya dengan selimut. Hatinya berdebar karena secara tidak langsung telah mengutarakan perasaannya kepada Haura.
Namun, berbeda dengan Haura. Ia merasa Banyu tidak meluruskan apa-apa. "Sumpah, ngeselin banget."
*
*
*
Saya minta maaf karena sudah lama tidak update. Kondisi tangan saya belum sepenuhnya pulih seningga memang mengurangi untuk banyak mengetik.
Mohon dukungannya ya :)
Mending dibawa, dijaga dari gangguan cikal baka pelakoor. ..
au ah.. gak bisa aku berpikir positif kalo tentang Hania.. 😂
Awass lho, jangan macam2 Hania..
Maaf ya Han, belum sepenuhnya percaya kamu.. soalnya dari yg terakhir kamu muncul, belum ada tanda2 ikhlas-in Haura sama Banyu.. meskupun udh nikah sama Daffa..
Okelahh dia mau suka smaa siapa haknya dia, kita gak bisa ngatur..gak bisa larang dia sula sma Haura.
Tapi sebagai lelaki Gentle, harusnya lebih bisa ngendaliinlahh.. apalagi dia tau Suaminya Haura bukan orang lain. Masih saudara, dan harusnya sesama laki-laki tau kalo Banyu suka cemburu. Iseng sih iseng. tapi gak keseringan juga, apalagi kalo pas gak ada Banyu,itu mh bukan iseng, tapi emg Niat..
digantung sama aothor
ditinggu up nya kak
semangat y
moga cepet pulih lagi ka.... 🤗