Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengendali
"Aku... akan maju."
Suara Banxue menggema pelan, namun tegas di antara hembusan angin malam.
Matanya menatap ke depan, menembus bayangan pekat yang menggantung di udara.
"Kalian percaya padaku?"
Keempat sahabatnya saling bertatapan. Tak ada kata yang cukup kuat untuk menggambarkan keraguan dan cinta yang bersamaan hadir di dada mereka. Tapi satu demi satu, mereka mengangguk.
Fengyu melangkah setengah maju.
"Kami percaya padamu, Banxue."
Jingyan menyusul, nada suaranya cemas tapi penuh kasih.
"Jangan sakiti penduduk desa... Tetaplah sadar. Jangan terpengaruh bisikan mereka."
Banxue mengangguk pelan.
Ia menunduk, kedua telapak tangannya bersatu di depan dada.
Dari bibirnya meluncur bisikan nyaris tak terdengar—mantra lama yang dulu hanya ia ucapkan dalam hati.
Sebuah mantra untuk membangunkan sesuatu yang telah lama terkunci di dalam dirinya.
Sesuatu yang ia takuti... tapi kini dipanggil dengan penuh kesadaran.
Cahaya keemasan mulai merayap dari kakinya.
Menyelubungi tubuhnya perlahan, bergetar seolah merespons setiap helaan napasnya.
Semakin terang. Semakin hangat.
Langkah Banxue mantap.
Kakinya meninggalkan jejak bercahaya saat ia melangkah menuju pria berjubah abu di tengah pusaran energi jahat.
Tak ada keraguan di matanya. Hanya tekad... dan luka yang belum sembuh.
Ia berlari.
Serangan pertamanya seperti kilatan petir yang memecah langit.
Jubah pria itu terhambur, dan tanah bergetar saat dua kekuatan bertabrakan.
Pertarungan dimulai.
Banxue menyerang dengan gerakan mengalir—tangannya menebas udara, menciptakan gelombang cahaya yang membelah kabut.
Pria berjubah abu menangkis dengan kekuatan gelap, namun tak pernah bisa menembus perisai Banxue yang kini bersinar dengan mantra pelindung.
Setiap langkah Banxue dihitung.
Setiap pukulannya terarah.
Ia bergerak dengan satu tekad.
menyelamatkan tanpa melukai.
Penduduk desa yang masih terperangkap di sekitar medan pertempuran tak tersentuh, seolah medan cahaya Banxue melindungi mereka dari percikan kekuatan mana pun.
Angin berputar liar, daun-daun beterbangan.
Pusaran sihir hitam dan cahaya emas saling bertabrakan di langit-langit desa.
Namun Banxue... tetap berdiri tegak di pusat semua itu.
Sorot matanya tak goyah.
Kini... ia bukan hanya pelindung Banxue.
Ia adalah kobaran harapan terakhir.
Keempat temannya berdiri dalam keheningan, memandangi punggung Banxue yang kini memancarkan cahaya keemasan. Jubah putihnya berkibar saat ia melangkah keluar dari formasi pelindung.
Setelah beberapa langkah, para penduduk yang kerasukan langsung bergerak mendekat. Tapi... seolah cahaya Banxue menciptakan celah, mereka tak bisa menyentuh tubuhnya. Seperti tertolak oleh sesuatu yang lebih tinggi dari sekadar kekuatan manusia.
Sosok berjubah abu itu menengadah. Kedua matanya yang merah bersinar makin terang, lalu ia mengangkat satu tangannya perlahan ke udara.
Grrrkkkkh...
Tanah di bawah kaki Banxue retak. Kabut membubung.
Tiga sosok bayangan melesat dari tubuh para penduduk, membentuk roh-roh tanpa wajah yang menggeliat seperti asap beracun. Mereka langsung menyerang Banxue dari tiga arah—depan, kanan, dan belakang.
Banxue memutar tubuhnya.
Tangannya terbuka, lalu menepuk ke udara.
Tiga lingkaran cahaya keemasan melesat dari telapak tangannya, menabrak roh-roh itu tepat sebelum mencapai tubuhnya. Suara dentuman lembut menggema seperti lonceng kuil.
Clang... clang... clang...!
Roh-roh itu terhempas mundur, lalu mengerut dan melesat kembali ke arah sang pendeta.
Namun kali ini... Banxue tak menunggu.
Ia melompat tinggi, membalik tubuh di udara, lalu menghujam ke bawah dengan pedangnya tertuju ke tanah di depan sang pendeta, bukan tubuhnya—menciptakan tekanan spiritual besar yang melempar mundur pendeta itu beberapa langkah.
Pendeta itu tak bicara, hanya mengangkat tangan.
Sekitar dua belas bayangan keluar dari balik tubuh para penduduk, langsung mengelilingi Banxue.
Tapi Banxue... menutup matanya.
Dan saat ia membuka mata, sinar keemasannya menyebar, membentuk lambang berkelok di bawah kakinya—sebuah formasi kuno dari pusaka langit. Simbol itu berdenyut perlahan, dan aura sejuk menyebar dari tubuhnya.
Lalu dia membisikkan sesuatu.
"Sadarlah..."
Dari formasi itu, terdengar alunan suara yang bukan berasal dari dunia ini. Suara perempuan. Tenang, seperti suara ibunya dari masa kecil.
Roh-roh itu mendadak ragu. Getarannya melemah. Bahkan penduduk yang kerasukan mulai bergetar.
Cahaya emas mengembang seperti riak air.
Roh pertama meleleh. Yang kedua menghilang dengan jeritan menyakitkan. Yang ketiga meledak dalam kabut hitam. Dan sisanya mundur panik ke tubuh sang pendeta.
Banxue menyerang cepat. Dia tidak menyerang tubuh sang pendeta, tapi menebas ke udara... memotong tali roh yang tersambung dari pendeta itu ke para penduduk.
Zzzhhhkkk...!!
Setiap potongan tali roh menghasilkan suara seperti nyawa yang dilepaskan paksa. Penduduk mulai roboh satu per satu—tak sadarkan diri, tapi napas mereka kembali normal. Warna kulit perlahan kembali. Bola mata tak lagi hitam.
Pendeta itu mendengus. Lalu... dia mencabut sesuatu dari balik jubahnya—sebuah lonceng hitam kecil, berdarah di ujungnya.
“Banxue!!” seru Fengyu panik.
Tapi sebelum lonceng itu bisa dibunyikan...
Tangan Banxue mencengkeram udara.
Dan dari langit... seberkas cahaya turun. Satu petir emas.
BRAAKKK!!
Petir itu menghantam tanah di samping sang pendeta.
Gema guntur membelah kabut dan seolah memukul langit. Pendeta itu terpental ke belakang, jubahnya sobek, dan topeng kainnya terbuka setengah...
Banxue mematung.
Wajah di balik tudung itu... bukan wajah manusia.
Wajah itu... setengah busuk. Setengahnya lagi... wajah saudaranya sendiri.