"Cinta ini tak pernah punya nama... tapi juga tak pernah benar-benar pergi."
Sora tahu sejak awal, hubungannya dengan Tama tak akan berakhir bahagia. Sebagai atasannya, Tama tak pernah menjanjikan apa-apa—kecuali hari-hari penuh gairah.
Dan segalanya semakin kacau saat Tama tiba-tiba menggandeng wanita lain—Giselle, anak baru yang bahkan belum sebulan bergabung di tim mereka. Hancur dan merasa dikhianati, Sora memutuskan menjauh... tanpa tahu bahwa semuanya hanyalah sandiwara.
Tama punya misi. Dan hanya dengan mendekati Giselle, dia bisa menemukan kunci untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman dalam bayang-bayang.
Namun di tengah kebohongan dan intrik kantor, cinta yang selama ini ditekan mulai menuntut untuk diakui. Bisakah kebenaran menyatukan mereka kembali? Atau justru menghancurkan keduanya untuk selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mima, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terabaikan.
Tidak ada perubahan yang berarti antara Tama dan Sora. Walau tadi malam laki-laki itu sempat menurunkan egonya demi menolong Sora, namun sikap dan kata-kata pedas perempuan itu kembali mengingatkan Tama akan sakitnya penolakan-penolakan yang dia terima sebelumnya. Sikapnya kembali sedingin es di Kutub Utara. Sama sekali tidak bersahabat.
“Revisi. Bahasa lo kayak anak magang. Kaku.” Barusan dia melempar map ke hadapan Sora. Di dalamnya terdapat lembar pengajuan pengembalian dana untuk customer yang kelebihan transfer.
“Baik, bos.” Tidak ada reaksi yang berlebih dari Sora. Dia sudah terbiasa.
Sebaliknya, yang geram justru anak-anak. Apalagi Kayla yang sudah tau alasan di balik uring-uringannya si Tama ini. Tapi, seperti permintaan Sora tadi malam, dia tidak ingin anak-anak ikut terpengaruh. Masalah dia dan Tama biarlah menjadi masalah mereka berdua saja. Yang lain harus netral, tidak perlu membelanya seperti yang sudah-sudah.
“Udah belum, Ra? Gue udah nungguin sepuluh menit. Gitu aja pakai acara lama.”
“Bentar, bos. Semenit lagi.”
Semenit kemudian gadis itu benaran berjalan ke meja Tama dan meletakkan map dengan lembut. “Udah berkali-kali gue bilang, bos, kasih kerjaan itu langsung ke PIC-nya. Ini kan awalnya yang buat Giselle. Bukan gue. Jangan karena gue yang tanda tangan, lo pikir gue yang bikin. Lo juga tau kalimat-kalimat itu nggak gue banget.” Sora sudah berani melawan. Oh, bodoh amatlah kalau Tama dan Giselle akan semakin membencinya.
Di balik mejanya masing-masing, Julian, Axel, Jo dan Kayla tersenyum puas. Sora sangat keren!
“Ini kamu yang buat, Sel?”
“Eh, yang mana ya, Mas?” Si anak centil pura-pura tidak tau. Sengaja berjalan ke meja Tama untuk melihat lembar yang Tama tunjukkan.
“Ehm, i-iya, Mas. Kenapa gitu, Mas?”
Mampus lo! Kayla sangat puas melihat perubahan ekspresi Tama yang sadar amarahnya ke Sora jelas tidak tepat sasaran. Sekarang jadi malu sendiri kan?
“Kamu copy yang ini. Tempelin di meja kamu. Next kalau ada pengajuan pengembalian dana lagi, bikin kata-katanya kayak gitu.” Tama memberikan lembaran baru yang sudah direvisi Sora. Meminta kekasihnya untuk menggandakan lembar tersebut sekarang juga.
“Baik, Mas.” Giselle berjalan ke meja mesin foto kopi dengan tanpa beban. Sama sekali tidak ada rasa bersalah karena sudah membuat kesalahpahaman di antara Sora dan Tama.
“Mba Sora, lain kali ajari aku dong, Mba. Biar nggak salah-salah lagi.” Dan masih berani mengajak Sora bercanda. Antara bercanda atau menyindir, supaya terkesan Sora lah yang tidak mau mengajari dirinya.
“Kamu udah berapa bulan di sini, Sel? Enam bulan ada kan? Masak gitu aja masih perlu diajarin? Beruntung kamu ponakan Pak Rahmat, jadi nggak pakai probation segala. Kalau enggak, harusnya kamu udah hengkang sih dari ruangan ini. Lagian pacar kamu kan SPV di sini. Manfaatin lah. Curi ilmu dia sebanyak-banyaknya. Gitu baru pacaran yang bener. Jangan cuma buat dipamerin doang.” Sora membalas dengan dingin, tanpa menoleh ke arah Giselle sedikitpun. Dia sibuk memberi tanda centang pada tabel pembayaran di hadapannya.
Jangankan Giselle, Tama saja sampai shock mendengar sindirian sinis dari Sora. Tapi laki-laki itu tidak bisa menyanggah, karena apa yang Sora bilang barusan ada benarnya juga. Si Giselle benar-benar hanya bermodalkan power omnya. Kecerdasan yang dulu digadang-gadang ternyata hanya cover sementara. Setelah itu dia kelewat santai karena merasa Tama akan selalu berada di pihaknya.
Sial sial. Sora semakin berani unjuk taring. Apakah mereka akan jadi rival sungguhan? Tama semakin gentar.
“Kayak pas lo pacaran sama si Jul gitu ya, Ra? Pacaran sehat, olahraga bareng. Gitu kan?” timpal Axel terkekeh.
“Nggak usah bawa-bawa gue lagi. Sekarang si Fabian tuh. Gimana, Ra? Udah lo pikirin belum jawabannya?”
“Iya, Ra. Ditembak di depan kita semua loh.” Jo menambahi.
Padahal tadi malam jelas-jelas si Fabian udah nembak si Friska. Tapi mereka ini emang pengen bikin si Tama berang aja.
“Eneg nggak sih sama satu kantor? Ketemu tiap hari, liat mukanya dari pagi sampai sore. Muak nggak sih? Kalau gue sih muak ya. Kalau ada yang dari luar, gue pertimbangkan deh.”
Semuanya tertawa selain Tama dan Giselle. Kayla sampai menepuk meja lantaran tidak kuasa menahan geli. Secara tidak langsung, Sora sedang menyindir kedua orang itu kan? Udahlah satu ruangan, duduknya deketan lagi. Kemana-mana bareng. Seperti nggak punya kehidupan lain.
“Jadi selama lo pacaran sama gue, lo eneg sama gue? Gitu?” Julian pura-pura tersinggung.
“Ya lo pengecualian lah. Siapa sih yang berani eneg sama anak direktur?”
Kayla kembali tergelak, kali ini sampai menjepit paha karena takut kebelet pipis. Lagi-lagi sindiran pedasnya ke Giselle sangat tepat sasaran. Giselle yang sangat mendewakan Tama dan tidak peduli dengan orang di sekitar. ‘Yang penting Mas Tama ada di pihakku, aku nggak apa-apa’. Cuih!
Diam-diam Tama membuang napas. Tadi malam dia sudah berbicara dengan Julian, Axel dan Jo. Dengan jujur mengaku kalau hubungan dia dan Sora memang sedang genting berkat ulahnya sendiri. Tapi dia tidak berkenan menjelaskan alasan yang sebenarnya. Jelas malu kalau harus jujur. Dan ketiga temannya itu bilang kalau Tama harus memberi waktu kepada Sora. Segala bentuk pemaksaan, kekangan, tidak akan membuat gadis itu kembali kepadanya. Malah akan membuat Sora semakin menjauh.
Sebenarnya Tama sudah ingin mengibarkan bendera putih. Dia ingin akur. Dia ingin meminta maaf atas sikapnya selama satu minggu ini. Aksinya tadi malam adalah salah satu wujud nyatanya. Dia bahkan mengaku kangen saat dalam perjalanan menuju rumah sakit. Tapi respon Sora dan semua kata-kata gadis itu selama di ruang IGD membuat rasa percaya dirinya terjun bebas, digantikan amarah seperti yang sudah-sudah.
Dan sekarang semua orang seperti sengaja membahas Sora dengan pria lain. Dia cemburu? Jelas. Apalagi gadis itu terang-terangan menyindir hubungannya dan Giselle. Ingin rasanya membanting komputer yang ada di hadapannya, atau merobek semua kertas yang menumpuk di sisi meja. Sora tampaknya sangat bahagia, di saat Tama justru sedang sekarat.
“Bos? Ngelamun aja.” Entah sejak kapan Jo ada di sebelahnya.
“Eh, kenapa, Jo?” Tama dengan cepat memperbaiki posisi duduk.
“Biasa, Bos. Minta tanda tangan. Ada yang naik plafon, jadi term of payment-nya juga berubah jadi tempo satu bulan.” Jo menyodorkan kertas yang dia bawa. Membiarkan Tama membacanya sebentar, lalu mendapatkan tanda tangan kemudian.
“Selalu remind beliau tanggal jatuh temponya. Takutnya lupa, karena udah terbiasa bayar kontan di awal.”
“Siap, Bos.”
Jo kembali ke meja, Tama pun kembali fokus ke layar komputer. Kelap-kelip logo pandion di task bar membuat pria itu tergoda untuk mengirim pesan kepada Sora. Tapi mau bilang apa memangnya? Dia juga bingung.
“Sora...”
Begitu saja dulu. Syukur-syukur dibaca.
Sesekali Tama melirik ke depan. Sora memang masih sibuk dengan lembar penagihan yang dia corat-coret. Jadi sama sekali tidak sadar kalau ada pesan di pandionnya.
Hingga lima menit berlalu, pesan dari wanita itupun masuk. Jemari Tama sampai bergetar saat mengarahkan mouse dan menekan username Sora.
“Iya, bos? Gue ada salah lagi?”
Nyess...
Pakai ‘bos’ lagi. Sudah tidak ada ‘Tam’ lagi. Sudah semati rasa itukah dia?
“Nggak ada. Gue yang salah. Gue minta maaf,” tulis Tama dengan sepenuh hati. Andai ini adalah sebuah percakapan tatap muka, mungkin dia sudah berlutut di hadapan gadis itu sekarang.
“Oke, Bos.”
Wajah datar Sora di depan sana menunjukkan kalau pengakuan dan permintaan maaf itu sama sekali tidak mempengaruhinya. Bahkan dia langsung kembali menunduk, melihat kertas-kertas setelah selesai mengetik dua kata barusan. Entahlah dia sempat mencerna isi pesan Tama, atau hanya dianggap angin lalu.
“Sora, bisa lihat gue sebentar?”
Dan setelah Sora membaca pesan tersebut, tidak ada balasan lagi. Pun gadis itu tidak berkenan melihat ke arahnya. Persis seperti dugaan Tama. Oh Tuhan, bisakah Tama menyeretnya ke ruang meeting tanpa membuat hubungan mereka semakin renggang?
***
Malam harinya di kediaman Brama Atmaja. Terlihat ruang tamu sedikit ramai. Ada dari pihak kepolisian, ada orang bank, ada Tama juga.
Setelah enam bulan menunggu, akhirnya pihak bank dan kepolisian berhasil mengusut semua aliran dana sebesar lima triliun yang digelapkan oleh Rahmat selama lima tahun terakhir. Sebuah perjuangan panjang karena Rahmat bermain dengan sangat lihai. Dia bahkan sempat melenyapkan banyak buktinya, dengan berbagai cara.
Sejumlah nomor rekening tujuan yang menerima aliran dana sudah ada di tangan. Salah satunya adalah nomor rekening Giselle. Fix, Rahmat tidak bekerja sendiri, melainkan ada banyak orang perusahaan yang ambil andil di belakangnya.
“Jadi besok kita proses surat penangkapannya dulu ya, Pak. Kalau sudah siap, kita akan meluncur ke kantor untuk eksekusi.” Petugas kepolisian akhirnya mengkonfirmasi kalau semua bukti pelaporan sudah lengkap.
“Baik, Pak. Kita tunggu di kantor.” Brama Atmaja menjawab dengan tegas dan tenang.
Tama mengurut pelipis hingga batang hidungnya. Dia lelah. Terlalu banyak tekanan yang dia alami hanya untuk mengungkap kasus ini. Tapi tidak apa, karena semuanya membuahkan hasil. Sang ayah mengaku sangat bangga kepadanya. Namun itu tida langsung membuat keduanya dekat. Semua ini hanya demi kepentingan perusahaan.
Setelah semuanya beres, Tama kembali ke apartemen. Hari ini terlalu banyak energi yang terbuang. Sejenak mengingat Sora yang sudah semakin jauh dari jangkauannya. Apakah perempuan itu masih bersabar menunggu. Apa dia masih kuat? Tama sebentar lagi akan selesai.
Memasuki parkiran apartemen, Tama baru menyadari kalau dia pulang ke apartemen miliknya, dimana Sora berada. Ck! Ternyata dia sudah mengemudi sambil melamun. Tapi, sudah terlanjur sampai sini. Dia memutuskan untuk mengecek properti yang dia punya.
Tama turun dari mobil. Sebenarnya dia tidak tau akan memeriksa apa. Pikiranya jelas hanya tertuju kepada Sora. Tapi dia tidak akan naik ke atas. Tidak. Dia akan visit office-nya saja.
“Selamat malam, Pak Tama.” Seorang resepsionis pria menyapa saat dia datang.
“Selamat malam, Fer. Ada masalah?” tanyanya seperti biasa.
“Tidak ada, Pak. Semuanya baik-baik saja.” Ferdi membalas dengan senyuman. Tama mengangguk-angguk.
“Good. Saya mau kunjungan ke office. Manajernya ada kan?”
“Oh, ada, Pak. Tadi baru selesai ngurusin kontrak sama penyewa yang out hari ini.”
“Ada yang kontraknya sudah habis, ya?”
“Ini… kayaknya belum habis, Pak. Sisa dua bulan lagi. Tapi ibunya memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak dan keluar sore tadi.”
DEG!
“Oh ya? Si—siapa Fer? Unit nomor berapa?” Perasaan Tama berubah tidak enak tanpa alasan.
“Sebentar saya cek ulang, Pak.” Ferdi menyentuh mouse sehingga layar komputernya langsung aktif. Suara ketukan-ketukan di keyboard menandakan dia sedang mencari sesuatu yang Tama mau.
“Sudah ketemu, Pak."
Tama langsung memasang telinga.
"Ini… atas nama ibu… Sora Abigail, unit 2801.”
***