Ellena dijual ibu tirinya kepada seseorang sebagai pengantin yang diperkenalkan di muka umum, agar istri sah tetap aman.
Namun, di hari pengantin ia diculik sesuai dugaan pria itu, dan disanalah awal penderitaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kinamira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Air menyentuh wajah Ellena hingga membuat wanita yang lelap dalam tidur itu tersentak dan tersedak.
"Bangun!" suara sentakan itu membuat Ellena membuka paksa matanya.
Belum sempat ia sadar sepenuhnya. Kedua pipinya diapit dengan kuat, membuat wanita itu meringis.
"Sakit," keluh Ellena menatap pria asing di depannya itu, namun ia tau pria itu adalah pria bertopeng tadi.
"Akhirnya kau bangun juga," ucapnya sembari menampakkan seringaian jahatnya.
Ellena tidak menjawab, ia menoleh kanan kiri yang dipenuhi kardus dan barang lama, ditambah suasana yang kotor dan gelap menandakan itu adalah gudang. Ia juga merasakan tubuhnya yang diikat di kursi.
Pria itu membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Ellena. Sorot matanya yang penuh dendam dan rasa benci begitu terlihat jelas.
"Aku pasti akan membalaskan dendam istriku," ucapnya dengan suara serak, pelan namun terdengar menyeramkan, membuat Ellena merinding takut.
"Tu-Tuan. Apa maksud anda, saya tidak tau," ucap Ellena dengan nafas memburu. Wanita itu tidak mampu menyembunyikan rasa takutnya sedikitpun.
Pria itu menyinggung senyumnya. Jemarinya bergerak lembut mengusap pipi Ellena, namun menjadi cengkraman kasar saat menyepit kedua pipinya.
"Kau mungkin tidak tau apa-apa. Tapi, suamimu sudah membunuh istriku!" ucapnya dengan penuh penekanan dan sorot matanya yang tajam.
Ellena membulatkan matanya, lalu menggelengkan kepala. "Tidak Tuan, tidak, anda salah orang. Seharusnya ...." Ellena tidak melanjutkan ucapannya, kala teringat akan ancaman yang diberikan Felix.
"Seharusnya apa huh?" Pria itu menatap dengan dingin.
Ellena mengatup rapat mulutnya, berusaha menahan diri. Mengingat masalahnya adalah sosok Felix yang kejam, membuatnya tidak berani mengungkapkan yang sebenarnya.
"Kenapa kau diam saja huh?!" sentak pria itu, namun tidak membuat Ellena membuka mulut. Wanita itu hanya gemetar menahan rasa takutnya.
Pria itu terkekeh melihatnya. Pria yang dikenal Maximus Harington bangkit mendudukkan tubuhnya pada kursi kayu yang berada selangkah dari depan Ellena.
"Ellena, aku sempat lihat nama itu di dekorasi pernikahan. Itu namamu kan, Nama yang sangat cantik," puji Maximus membawa tubuhnya duduk di bangku kayu.
Ia mengangkat kakinya ke atas pangkuan Ellena. Lalu menyalakan sebatang rokok di tangannya, dan menyesapnya dengan lembut.
"Kau sangat cantik dan manis. Sayangnya ..., kau salah memilih laki-laki, sehingga harus berada di sini sekarang," ucapnya kemudian terkekeh dengan arogannya.
Ellena menunduk, menatap tubuh ya yang masih menggenakan gaun pengantin. Air matanya jatuh membasahi gaun itu sungguh ia tidak menyangka akan menjadi pengganti untuk kondisi itu.
Maximus, menghembuskan asap rokok dalam mulutnya, dan tersenyum kecil yang terlihat menyeramkan.
"Tapi, sudah terlambat untuk menyesal. Melaluimu, aku akan balas dendam," ucapnya menatap dingin pada Ellena.
Ekspresi takut Ellena, terlihat sangat menyenangkan di matanya.
"Harusnya bukan aku yang di sini," batin Ellena, hanya bisa menangis dalam diam.
"Aku sangat menunggu, Felix datang menjemputmu tapi sebelum itu ...." Maximus menyeringai, mencondongkan tubuhnya dan menghembuskan asap rokok dalam mulutnya, hingga mengenai wajah Ellena.
Ellena mengerutkan wajahnya dan sedikit terbatuk. Asap rokok tercium jelas di hidungnya.
"Aku akan bermain-main dengan tubuhmu lebih dulu," ucapnya sembari menyinggung senyumnya, membuat Ellena membulatkan matanya.
Ellena menggelengkan kepala, namun ia tidak berani mengeluarkan sepatah katapun.
"Tuan, anda ...."
"Siapa yang menyuruhmu bicara!" sentak Maximus memotong ucapannya, membuat Ellena segera mengatup mulutnya.
Tubuhnya gemetar, dan cairan bening jatuh dari sudut matanya.
Maximus menyinggung senyumnya. "Sepertinya selera baj*Ngan itu sangat buruk. Dia malah mendapatkan wanita cengeng, penakut dan merepotkan sepertimu," hinanya kembali menyesap rokoknya, dan kakinya turun dari pangkuan Ellena.
Ia mencengkram dagu Ellena, lalu mendekatkan wajahnya, membuat Ellena memejamkan mata dan berusaha menghindar.
Bibirnya dipaksa terbuka, dan saat itulah, bibir Maximus menyentuh bibirnya. Di sanalah Maximus menghembuskan nafas, mengeluarkan asap rokok dalam mulutnya.
Ia menjauhkan tubuhnya, bibirnya membentuk seringaian saat melihat Ellena terbatuk ringan. Terlihat mulut dan hidungnya mengeluarkan asap.
Bola mata Ellena memerah, asap yang masuk dalam tubuhnya membuat dada dan hidungnya terasa perih.
"Benar-benar payah," hina Maximus.
"Tuan, tolong jangan seperti ini," pinta Ellena memohon.
"Harusnya bukan aku yang di sini." Ellena melemaskan wajahnya, berharap mendapatkan ampun dari sosok menyeramkan itu. Namun, tatapan dingin dan angkuh itulah yang didapatkan.
"Tidak, ini memang tempatmu. Kau sudah memilihnya menjadi suamimu, dan kau harus menanggung resiko dari orang seperti suamimu," balas Maximus dengan tenang.
Ellena menggeleng. "Bukan, bulan aku," gumamnya berharap Maximus paham, dan memberinya ampun.
Maximus menatap dingin, merasa geram melihat dan mendengar, Ellina menangis. "Berhentilah menangis sialan!"
Ellena tersentak. Matanya terpejam kuat. Mau bagaimana ia tidak menangis, sedangkan ia dilanda ketakutan.
"Aku bilang berhenti menangis! Aku benci melihat orang cengeng!" sentak Maximus semakin meninggikan suaranya.
Tangis Ellena malah semakin pecah. "Lepaskan aku! Lepaskan aku! Aku harusnya tidak berada di sini!" pekik Ellena tanpa ia sadari.
Plakk ....
Maximus melayangkan tamparan kuat di wajah mulus Ellena, membuat Ellena langsung terjatuh ke lantai bersama kursi. Debu di gudang itu, langsung berterbangan, dan masuk dalam pernapasannya.
Ellena meringis, kepalanya terbentur, ditambah pipinya yang terasa perih.
Tamparan perih itu meninggalkan bekas memerah di pipi putih nan mulus itu. Namun, Maximus terlihat tak merasa bersalah. Tatapannya dingin melihat Ellena menggerang kesakitan.
Maximus menyilangkan tangan di depan dada, matanya menyipit tajam seperti elang yang mengawasi mangsanya. "Berani sekali kau meninggikan suaramu padaku."
Suaranya rendah, tapi ada ketegasan yang membuat udara di sekitarnya terasa lebih berat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah menekan lawan bicaranya, memaksa mereka untuk berpikir dua kali sebelum berucap.
Maximus kemudian membungkuk, dengan santainya menarik kursi Ellena agar kembali berdiri sempurna.
Ellena mengatup rapat mulutnya, ia tidak lagi berani mengatakan apapun. Ia berusaha sebaik mungkin agar tidak menangis, ataupun bersuarakan rasa sakitnya.
"Good, seperti ini yang ku suka," ucap Maximus mengulum senyum manis yang menyeramkan.
Tangannya bergerak lembut mengusap wajah Ellena. "Jangan menangis ya, dan menurutlah seperti anjing."
Maximus kembali berdiri tegak. Kedua tangannya menyilang di depan dada. Satu tangannya mengepal, meremas dan mematikan rokoknya, setelah itu membuangnya begitu saja.
"Selagi kau patuh, kau akan baik-baik saja. Tapi ..., aku tidak menjamin, kau akan tetap hidup setelah suamimu datang menjemputmu atau tidak," ucapnya menyeringai dengan senyuman angkuhnya.
Ellena tercekat, ia hanya terus diam, karena takut untuk membalas ucapannya. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, untuk mengalihkan rasa perih di pipinya, ditambah, cairan yang bisa ia rasakan mengalir di keningnya.
Maximus menghela nafas pelan, "maaf sudah menculikmu di hari pernikahanmu, kamu pasti sangat membayangkan malam pertama dengan suamimu. Tapi, tenang saja ...."
Maximus membungkuk, menyamai tinggi kepalanya dengan Ellena. "Aku akan mengganti suamimu, mengisi malam pertama kalian," ucapnya menatap lekat wajah Ellena yang sedang menahan rasa takut dan sakit itu.
Maximus memasukkan kedua tangannya dalam saku. Membalikkan tubuhnya membelakangi Ellena. "Bersiap-siaplah, orangku akan segera menjemputmu," ucapnya sebelum mengambil langkah pertamanya, meninggalkan Ellena di ruangan itu.
"Tidak, tidak bisa. Aku tidak bisa ada di sini. Aku harus kabur," gumam Ellena setelah Maximus hilang dalam pandangannya.